“Semangat!” seruku di sela-sela wajah-wajah yang mengerutkan dahi.“Semangat!” seru mereka bertiga, kemudian kembali berkutat dengan kertas-kertas yang terhampar di depan masing-masing.Di meja panjang yang biasanya untuk meeting, kami bekerja bersama. Kebiasaan kami untuk efektifitas untuk menghemat waktu untuk bertemu. Kami bisa langsung berdiskusi tanpa mengetuk ruang kerja.“Untung saja ini rancangan Lituhayu yang sejalan dengan yang biasanya kita kerjakan,” ucap Andre tanpa melepas pandangan dari layar komputer. Dia menilik di setiap detail rancangan.Satu persatu di cek ulang untuk memastikan hitungan mereka tidak ada yang meleset. Kalau kami tidak jeli, dan ternyata di lapangan dana membengkak, itu menjadi resiko kami si kontraktor. Makanya, sekarang sebagai kesempatan untuk memastikan dalam kondisi aman.“Hitungan awal sebenarnya tidak jauh beda, hanya karena ini hitungan satu tahun yang lalu, kita hanya menyesuaikan sepuluh persen dari perhitungan,” ucap Andre menyerahkan est
Ketika badan penat, rumah menjadi tujuan yang bisa mengurai semua itu. Matahari sudah mulai turun, menjadikan senja menyambut kedatanganku. Tempat tinggalku ini bukan apartemen mewah yang penuh dengan fasilitas modern. Masih terletak di kota, tetapi agak ke pinggir sedikit, yang menjadikan aku menjatuhkan pilihan. Mid rise apartment, model hunian dengan jumlah lantai yang tidak lebih dari sebelas lantai. Yang mengusung konsep garden. Sekeliling memiliki akses langsung ke ruang hijau terbuka. Dimana-mana taman dan itu sungguh menyejukkan mata. “Selamat sore, Bu Aida,” seru penjaga unit yang ada di bawah. “Sore. Apa melihat Daniel sudah pulang?” “Sudah, sekitar satu jam yang lalu,” jawabnya sambil tersenyum. Aku mengangguk dan tersenyum membalas senyumannya. Ini yang aku suka. Memang sesama penghuni kami mempunyai privasi, tetapi pengurus apartemen berusaha mendekatkan diri kepada kami. Mereka terlihat berusaha menghapal nama-nama kami, dan itu yang membuatku merasa aman. Hatiku pun
Berkali-kali aku memantaskan penampilanku di depan cermin. Aku harus memberi penampilan yang terbaik hari ini. Tidak hanya proposal yang semalaman aku diskusikan onlen dengan Laila. Penampilannya kami nantipun harus menunjang.Hari ini, hari bersejarah yang menandai kebangkitanku.Kata almarhum ibu, “Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono.”Ini artinya, harga diri tidak hanya bertumpu pada apa yang keluar dari mulut, tetapi juga pada yang dikenakan. Apa yang kita kenakan menunjukkan betapa kita menghargai diri kita. Hal ini merujuk, kalau seseorang menghargai dirinya, pasti dia pun menghargai apa yang disekelilingnya.Pernah dulu aku ditegur beliau. Gara-gara tidak berganti pakaian saat ada tamu datang. Saat itu aku hanya menggunakan baju tidur, walaupun dengan model masih sopan.“Kalau kamu tidak mengganti baju dengan yang pantas, itu memperlihatkan kurangnya kamu menghargai tamu itu.”“Tapi, Bu. Tamunya kan datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa kalau kamu permisi sebentar. Co
‘Tenang dan fokus!’ ucapku dalam hati sambil menegakkan dudukku.Tadi di depan ruangan meeting, kami langsung disambut karyawan dan dipersilakan masuk ke dalam. Meja oval ukuran sangat besar berbahan kayu, menyambut kami. Designnya unik, tengahnya lubang berbentuk oval dan diisi oleh tanaman hidup dominan hijau dengan beberapa bunga anggrek bulan di beberapa titik.Pertemuan ini tidak dilakukan di rumah sakit Global yang merupakan rumah sakit induk, tetapi ini dilakukan di gedung Raharja Grup. Dari sini baru aku menyadari kalau mereka tidak hanya berbisnis di bidang kesehatan.Entah apalagi, aku tidak mau menakar kekayaan orang lain yang tidak bisa dihitung dengan kalkulator.“Ibu Aida di sebelah sini. Silakan. Mohon tunggu sebentar, pimpinan kami masih di ruangannya,” ucap pegawai yang penampilannya bak model. Tinggi, langsing, dan murah senyum. Tempat dudukku di bagian ujung oval.“Terima kasih,” ucapku kemudian duduk.Di depanku tertulis namaku sebagai owner Megah Architects. Dan d
Seingatku tempat kami meeting berada di lantai dua belas, kenapa dia menekan angka tiga belas? Apa ada ruangan lagi di atas sana? Tunggu dulu! Saat tadi datang ke gedung ini, kami diantar oleh pegawai dari lantai bawah. Dia menerangkan kalau tempat meeting di lantai paling atas, an aku ingat benar di lift sebelah-lift umum-tidak terdapat angka tiga belas. Jangan-jangan …. “Ka-kamu akan bawa aku kemana?” Rasa takut tiba-tiba menyergap. Mengingat sikapnya yang berubah seperti angin, bisa jadi orang di depanku ini seorang psikopat. Kadang-kadang baik, manis, tapi bisa kumat menyebalkan. Mungkin saja dia mampu berlaku sadis. Apalagi dia seorang dokter. Di tangannya bisa menentukan orang bisa hidup atau mati. Tangannya biasa memegang pisau bedah untuk menyayat tubuh manusia. Apa hari ini aku menjadi mangsanya? Aku diseret ke ruangan rahasia seperti di film-film tentang psikopat yang biasanya mereka orang berduit, terkenal dan tampan seperti … dia. Kepalanya yang menoleh membuatku miri
Orang yang menyebalkan dan sempat membuatku takut, sedang membayar. Celetukanku tentang makan romantis seperti kakeknya, diwujudkan hanya dengan jentikan jari. Beberapa orang mengirim makanan dan menset-up di meja bulat berbalut kain putih. Ini seperti di film-film yang tidak masuk akal. “Kamu memesan ini?” “Iya. Kami biasa makan di sini, dan mereka juga tahu apa yang biasa dilakukan. Kasihan juga, layanan mereka sudah lama tidak digunakan,” ucapnya menunjuk kepada orang-orang yang berlalu setelah permisi. “Apa diperbolehkan oleh istri Pak Haris?” Pikirku ini tempat spesial mereka berdua. Kalau orang lain memakainya, bukankah akan mengusik privasi mereka? Dokter Burhan menggeleng. “Semenjak kepergian Nenek, Kakek jarang ke sini.” Aku menutup mulut dengan telapak tangan, tidak sengaja mengungkit duka. Lelaki ini menceritakan kalau istri Pak Haris meninggal karena penyakit tumor otak. Tidak mengancam jiwa, tetapi karena pertumbuhannya lambat laun membesar akan menekan syarat yang m
“Dia benar-benar tega, ya!” Tangannya mengepal keras. Geram yang dia tunjukkan memantik dahiku berkerut dalam. Kenapa dia yang orang antah berantah bereaksi sedemikian?Mungkin karena dia dekat dengan anakku. Sikap kekesalan yang dia tunjukkan wujud dari solidaritas antar penyuka bacaan komik dan teman sepermainan game. Tidak lebih.Akan tetapi, yang ditunjukkan berikutnya tidak pernah masuk dalam rencanaku. Dia memindah kursi yang sebelumnya kami berbatas meja, sekarang berjajar.“Aku janji. Kalau dia macam-macam aku akan menurunkan team pengacaraku, untuk melibas mantan suamimu,” ucapnya dengan mengangguk menyakinkan aku.“Bukankah kalau seperti itu justru proses semakin berlarut-larut?” tanyaku balik.Aku tidak pernah berhubungan dengan pengadilan dan segala keriwehan. Karenanya, proses perceraianku aku segerakan dengan meloloskan semua keinginan dia. Bagiku adu argumen dengn berbelit lidah hanya menguras tenaga saja. Meradu pengacara di meja mengadilan hanya membuang uang dan kese
Memang ada jalan yang kita lalui benar-benar bebas hambatan? Jalan yang bertarif pun, tetap memperingatkan pengemudi untuk mengatur kecepatan. Seperti dalam berbisnis, pedal gas dan rem harus dimainkan. Terlebih seperti aku yang masih melewati jalan berbatu.Setiap kaki melangkah sering mendapati batu, ini menjadi pilihan: menganggap batu itu sebagai penghalang atau untuk batu loncatan.Mega proyek ini berbeda dengan yang aku kerjakan biasanya. Sebelumnya kami hanya menggarap gedung untuk kantor, pusat perbelanjaan, atau hunian. Namun, sekarang ini kami harus menggabungkan antara design dan konsep dasar, dengan fungsional sebagai rumah sakit. Ini semua terkait dengan peralatan yang menunjang.“Kamu sekarang tahu, kan, kenapa aku menjadi penanggung jawab proyek? Dan, kamu harus banyak berhubungan denganku?” ucap Dokter Burhan setelah melihat laporan yang aku sertakan kepadanya.Baru beberapa hari setelah penandatangan, dan ini masih tahap persiapan. Ini yang memaksaku mondar-mandir me
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu