"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah."Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. "Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" "Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang da
Baca selengkapnya