"Mas … apa tidak sebaiknya kita mencari pekerjaan yang bisa memperoleh pemasukan? Kebutuhan semakin banyak, belum lagi kita harus membantu uang dapur ibu juga," ucapku dengan hati-hati.
Aku takut Mas Rendi tersinggung dan marah-marah seperti kemarin saat aku memintanya mencari pekerjaan. Dadaku berdebar tidak karuan, sungguh aku teramat ketakutan menghadapi suamiku saat ini.
Meski nada bicaraku sedikit gugup, namun, aku tahu kalau Mas Rendi masih bisa mendengarkannya dengan jelas. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak tersinggung atau sakit hati.
Namun, aku salah. Justru dia menatapku dengan nyalang seolah ingin memangsaku hidup-hidup.
"Kamu cerewet banget, ya, sekarang? Dulu kamu lembut dan penurut, kenapa? Karena aku nganggur?" tanyanya dengan menatapku.
"Mas … kita harus berubah, tinggal di sini tapi tidak pernah membantu uang dapur, aku nggak enak sama Ibu, Mas," keluhku dengan netra mengembun.
Ingin rasanya mengungkapkan segala keluh kesah di dalam hati, ingin rasanya aku bercerita dan mengadu. Namun, dengan siapa? Bapak? Tidak mungkin, karena kita sudah semakin jauh sejak kelahiran putri dari pernikahan keduanya.
Ibu Fatimah? Itu malah tidak akan mungkin. Salah satu tempat yang aku harapkan adalah Mas Rendi, suamiku. Meski aku tahu itu tidak akan pernah mungkin mau mendengarkan, namun, aku harus mencoba.
Dahulu kala, saat pertama mengenalnya, dia begitu baik, pengertian dan penyayang. Namun, setelah usai dia keluar dari pekerjaannya itu, sikapnya berubah terbalik.
"Aku juga sudah mencari pekerjaan, tapi belum dapat," ujarnya dengan melirik tajam.
"Dulu … Mas, juga lembut dan penyayang, tapi …."
"Tapi apa? Jangan suka mencari-cari kesalahan dariku, Ran. Aku juga sedang pusing, sama seperti kamu!"
Entah aku terlalu lemah atau memang sensitif, hanya ucapan seperti itu saja air mataku sudah mengembun meski aku tahan untuk jangan keluar.
Dadaku sesak, ingin rasanya berteriak dan mengeluarkan segala apa yang ada di kepala. Namun, lagi-lagi aku tidak ada nyali sebesar itu mengungkapkannya.
"Dulu saat aku masih kerja, semua juga aku cukupi. Kamu juga bahagia selalu menerima uang dariku, tapi, saat aku menjadi pengangguran seperti ini. Kamu selalu mencari celah untuk bisa menghinaku."
Deg.
Jantungku terasa berhenti, seperti tidak akan ada lagi kehidupan. Apa aku tidak salah dengar? Dia bilang aku selalu mencari celah? Ya, Tuhan, tolong sadarkan aku jika memang aku yang salah.
"Mas … aku tidak …."
"Sudah, diam!" bentaknya yang membuatku seketika mengatupkan mulutku. "Kamu pikir aku tidak mencari kerja? Memangnya aku main-main selama ini? Coba kamu pikir dulu, Ran!"
"Cari kerja kok pulang malam, memangnya kerja apa, Mas?" tanyaku penuh dengan kehati-hatian.
Mata tajam itu menembus relung hatiku, dalam, sangat dalam. Membuat netraku seketika meredup.
"Kamu sudah berani melawan, ya, Ran?" Mata itu masih tajam melihat ke arahku.
"Dulu … dulu sekali saat pertama kali kita bertemu, kamu berjanji akan selalu menyayangiku hingga aku sudah tidak menarik lagi. Dulu … kamu tidak pernah sekalipun memarahiku atau membentakku dengan suara yang melengking. Namun, sekarang semua telah berubah jauh, bagaikan bulan dan matahari. Apa salahku padamu, Mas?" Dengan sekuat hati aku memberanikan diri untuk mengeluarkan segala apa yang ada di benakku.
Apapun hasilnya nanti, aku terima dengan lapang dada. Dua tahun terakhir semenjak pemberhentiannya dari pekerjaan itu, membuat amarahnya selalu di unggulkan.
Tidak pernah sedikitpun aku mencoba untuk melawan atau membantah apa yang diucapkan. Dia mau aku diam di rumah dan menjaga buah hati kami, akupun menurut. Dia mau aku begini dan begitu aku pun diam dan melakukannya.
Memar di paha, lengan dan pundak sudah menjadi makanan sehari-hariku saat ini. Lagi-lagi aku masih diam tanpa membalas. Sekalinya melawan sedikit, aku sudah di caci maki sesukanya.
Plak.
Lagi, tamparan itu mendarat cantik di pipiku yang mulai kusam. Usiaku yang belum beranjak tiga puluh tahun terasa seperti sudah hampir kepala lima. Kusam dan kering ada dimana-mana.
"Kamu bisa diam nggak sih, Ran? Mulut kamu itu sudah kelewat batas, kurang ajar!" geramnya dengan suara yang lirih namun menusuk.
"Pukullah aku sesukamu, Mas. Maki aku seenak hatimu, tapi tolong, jangan lakukan semua ini di depan putri kecil kita," pintaku dengan memejamkan mata. "Sekuat tenaga aku mempertahankan rumah tangga ini demi putri kita, Safia. Aku tidak mau dia merasakan apa yang aku rasakan, Mas. Berubahlah!"
Mas Rendi mengendurkan cekalan tangannya yang dari tadi erat dan membekas di pergelangan tanganku. Kutatap lembut netra yang sedari tadi merah padam, kuelus lengannya supaya amarahnya mereda.
Ya Tuhan, kekuatan dari mana ini yang bisa membuatku berani bicara di depan suamiku yang berubah menjadi temperamental? Ini bukan aku yang sesungguhnya, ini bukan aku? Gumanku si dalam hati.
Tok … tok … tok …
"Ran, ada orang yang mencari suamimu, Rendi. Dia sedang menunggu di luar," ujar Ibu yang tengah membuyarkan lamunanku.
Aku menarik nafas banyak-banyak supaya udara masuk memenuhi rongga dadaku yang sedari tadi sesak.
"Iya, Bu. Sebentar."
Aku dan Mas Rendi berjalan menuju ruang tamu. Wajah pucat Mas Rendi terpancar saat melihat tamu yang datang. Dua orang lelaki dengan perawakan tinggi besar duduk saling berhadapan dengan Bapak.
Mereka yang melihat kedatangan kami, seketika membuat wajah Bapak yang berubah tenang menjadi tegang dan ada kilatan kemarahan.
"Untuk apa kamu berhutang?" tanya Bapak dengan mata membunuh.
Mas Rendi gelagapan mendengar pertanyaan dari Bapak, sedang aku terpaku dalam bisu melihat perubahan dari raut wajah suamiku. Heran.
Selama ini dia tidak pernah memberiku nafkah, lalu kalau berhutang untuk digunakan apa?
"Buat apa, Mas?" Suaraku hampir tercekat dalam kerongkongan.
Mas Rendi kelimpungan mendengar pertanyaan dariku juga pandangan membunuh dari Bapak, sedang dua orang tamu yang tengah duduk masih terdiam.
"Begini, Mas Rendi. Untuk masalah keluarga anda, kami tidak ingin ikut campur. Karena yang terpenting adalah secepatnya melunasi hutang-hutang anda pada kami, karena ini sudah lebih dari hari yang anda janjikan. Apakah akan anda melunasi hari ini?" tanya salah satu tamu dengan mimik serius.
"Maaf, Pak. Saya belum ada uangnya. Percayalah, nanti akan saya bayar. Kalau untuk hari ini, saya belum punya uangnya. Maaf, Pak."
"Kita sudah saling bermodalkan percaya, Mas. Tapi … maaf, segeralah bayar. Kalau tidak, kami akan bertindak lebih dari ini. Besok, kami akan kesini lagi. Permisi."
Tamu kedua pun pulang dengan tangan hampa karena Mas Rendi belum bisa membayarnya. Tubuhku langsung luruh ke lantai, tergugu dengan perbuatan suamiku yang aku tidak tahu menahu. Dia berutang tanpa aku tahu untuk apa? Aku bagaikan istri yang bodoh dan tak berharga sama sekali.
Pandangan Bapak masih setia melihat Mas Rendi tanpa kedip sama sekali. Bahkan lebih tajam.
"Untuk apa kamu berhutang banyak sama orang, Ren? Tiga juta kamu habiskan dalam semalam? Untuk apa?" Bapak membuka pertanyaan setelah kepergian tamu itu.
"Nggak ada, Pak."
"Jawab!" bentak Bapak dengan dada naik turun menahan amarahnya. "Untuk judi?"
Mataku membelalak mendengar kalimat terakhir Bapak. Apa? Berjudi? Jadi selama ini suamiku berjudi? Kepalaku tiba-tiba pusing bagai dihantam godam, seketika penglihatanku kabur, hitam dan ....
❤️❤️
"Besok aku mau ikut, Mas Sarif pergi ke ibukota. Katanya sih di sana banyak pekerjaan, biar kamu tidak selalu marah-marah jika melihatku tiduran saja!" ujar Mas Rendi dengan memeluk gulingnya."Bagaimana dengan hutang-hutang kamu, Mas? Apakah orang yang kemarin datang tidak akan kesini lagi? Aku takut menghadapi mereka sendirian," tanyaku lembut."Iya, nanti aku bayar. Pasti. Sudahlah, kamu diam saja!""Mas …." Tak kulanjutkan lagi kalimat yang akan aku ucapkan. Matanya menatapku penuh kebencian, membuat niatku urung untuk aku utarakan.Safia kecil yang bermain dengan bonekanya menatap sang ayah yang mulai berjalan mendekatinya. Di elus pelan rambut yang aku kuncir dua itu dengan lembut. Ah, andai, Mas Rendi akan selamanya baik dan lembut seperti ini, pasti aku akan selalu bahagia. "Safia, ayah mau kerja jauh, Safia di rumah sama ibu, ya, jangan nakal dan jangan suka jajan! Yang nurut sama, Ibu!" Lembut, Mas Rendi berpesan pada putrinya, Safia hanya mengangguk lalu memeluk ayahnya d
Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya."Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku."Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut."Mas Rendi, ada, Mbak?"Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami. "Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang. Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan."Kedatangan kami
"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah."Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. "Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" "Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang da
"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini. Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh. Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja. Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas."Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos. "Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan p
"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. "Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . Ak
Gajian kali ini lumayan banyak, karena lembur hampir sebulan penuh. Ku sisihkan sedikit uang untuk membayar hutang-hutang yang aku catat rapi di buku tulis. 'Masih banyak,' desahku dengan menghembuskan nafas kasar. Memang sisa hutang yang Mas Rendi tinggalkan masih lumayan buat diriku yang hanya sebagai seorang pekerja pabrik. Sehingga membuat otak berpikir keras untuk mencari tambahan supaya semuanya cepat lunas. Memang tidak mudah, namun, aku selalu berusaha untuk tidak dipersulit lagi jalanku agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal."Ran, ada seseorang yang mau dengan kamu. Bagaimana?" tanya Yu Likah saat melihatku sedang menjemur pakaian di samping rumah. Yu Likah, penjual bakso keliling itu tiba-tiba menghampiriku dan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan apa yang telah ia susun dari rumahnya untukku."Maksudnya, Yu?" tanyaku tidak mengerti."Begini, kemarin pelanggan setiaku meminta aku menanyakan hal ini kepadamu. Dia mau menjadikanmu istriny
Ponsel baru sudah aku dapatkan sejak dua hari yang lalu, namun, aku belum bisa untuk memakainya. Selalu menunggu Mita pulang dari sekolah untuk mengajariku berselancar di dunia maya. Yang menurut Mita adalah dunia yang penuh tipu-tipu. Wajah yang berjerawat banyak bisa semulus jalan tol saat berpose ria di depan gadget pintar itu. Yang tua bisa muda, yang muda apalagi? Bisa menjadi kinyis-kinyis, begitu Mita menjelaskan semuanya padaku. Mita mengajariku membuat akun sosial media yang mana bisa menghubungkan satu daerah ke daerah lain bahkan negara sekalipun meski tanpa harus mendatanginya langsung. Dengan cara seperti itu, kemungkinan aku bisa mengetahui kabar dari Mas Rendi yang entah di mana berada. "Kita tidak tahu, Mbak. Seandainya masih berjodoh, mungkin, Mbak Rani bisa melihat keadaan, Mas Rendi saat ini," ujar Mita saat aku bertanya apa guna dari bermain media sosial.Aku membenarkan ucapan adikku itu dengan pasti. Kita tidak tahu dengan jalan yang mana Tuhan akan mempertemu
"Coba ikhtiar ke orang pintar, Ran! Kemarin saat Pak Kandar sedang mencari anaknya yang lama tidak pulang dari rantau, dia meminta orang pintar untuk membantunya. Siapa tahu jodoh, kita hanya berusaha dan semua yang menentukan adalah sang pencipta," ujar bapak saat aku tengah memainkan ponsel.Aku hanya mengangguk mendengar ide yang diutarakan bapak barusan, mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. Kini pencarianku mulai dari teman kerja yang akhir-akhir ini sedang dekat. Mbak Yumi, namanya. Aku sudah mulai membuka pikiran supaya hatiku lega bisa berbagi kisah dengannya. Dia sahabat kecilku dulu yang kini dipertemukan dalam pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tempatku bekerja. Kita sama-sama dalam satu pengawasan. "Nanti aku antar, Ran. Hari Minggu kita kesana, bagaimana?" Aku mengangguk mengiyakan saat semua aku ceritakan apa yang akan menjadi maksud dari keinginanku saat ini.Dadaku berdebar-debar mengingat semua ini baru pertama kalinya aku lakukan. Tidak pernah terpikirkan ataup