"Besok aku mau ikut, Mas Sarif pergi ke ibukota. Katanya sih di sana banyak pekerjaan, biar kamu tidak selalu marah-marah jika melihatku tiduran saja!" ujar Mas Rendi dengan memeluk gulingnya.
"Bagaimana dengan hutang-hutang kamu, Mas? Apakah orang yang kemarin datang tidak akan kesini lagi? Aku takut menghadapi mereka sendirian," tanyaku lembut.
"Iya, nanti aku bayar. Pasti. Sudahlah, kamu diam saja!"
"Mas …." Tak kulanjutkan lagi kalimat yang akan aku ucapkan. Matanya menatapku penuh kebencian, membuat niatku urung untuk aku utarakan.
Safia kecil yang bermain dengan bonekanya menatap sang ayah yang mulai berjalan mendekatinya. Di elus pelan rambut yang aku kuncir dua itu dengan lembut.
Ah, andai, Mas Rendi akan selamanya baik dan lembut seperti ini, pasti aku akan selalu bahagia.
"Safia, ayah mau kerja jauh, Safia di rumah sama ibu, ya, jangan nakal dan jangan suka jajan! Yang nurut sama, Ibu!" Lembut, Mas Rendi berpesan pada putrinya, Safia hanya mengangguk lalu memeluk ayahnya dengan penuh kasih sayang.
"Kamu nggak usah khawatir, nanti aku akan bayar semua hutang-hutang yang ada. Kalau aku nggak kirim duit ke kamu, ya, kamu jangan bergantung juga sama aku. Cari kerja, ikut bantu-bantu juga!"
"Maksudnya, Mas?"
"Ah, kamu yang pinter dikitlah, gitu saja nggak ngerti. Makannya kamu nggak maju-maju. Belajar jadi orang yang mandiri, MANDIRI," ucapnya dengan kalimat penuh penekanan.
Aku hanya bisa mengangguk apa yang dikatakan oleh suamiku itu. Tidak mau membantah, aku takut jika di depan Safia, nanti dia akan kalap. Lalu menghajarku sesuka hatinya.
Ucapan yang ditekan dengan sorot tajam saja, aku sudah mampu mengartikan jika dia tidak ingin aku terlalu mengusik relung hatinya. Aku sudah mulai paham kemana arah yang dia bicarakan.
Terima kasih, Mas, dengan sikapmu yang seperti ini, semoga menjadikanku lebih baik. Aku bermonolog dalam hati dengan menundukkan kepala.
"Jual cincin yang kamu pakai, besok aku akan bawa uangnya untuk bekal!" titahnya dengan memegang jemariku kasar.
"Tapi … tapi ini cincin mas kawin, Mas."
"Kenapa? Bukannya malah menjadi berkah, jika akan dijadikan bekal untuk mencari nafkah. Toh, bukan buat aku sendiri, tapi, untuk semua keluarga," bisiknya di telingaku.
Aku hanya menghela nafas berat, antara ikhlas dan ragu. Sebab, aku sudah tidak mempunyai simpanan lagi. Kemarin kalung yang saat lamaran itu juga telah dijual olehnya. Kini, cincin yang masih tersemat di jari manisku juga harus menjadi korban dari jalan pintas Mas Rendi.
Ya Tuhan, kenapa aku mempunyai pikiran buruk terhadap suamiku sendiri? Bukankah benar apa yang dikatakan olehnya, jika akan menjadi berkah karena buat keluarga?
Aku menepis semua pikiran buruk yang bakalan terjadi, aku mencoba membuang segala hal-hal yang merasuki pikiran jelekku. Haruskah kali ini aku mengikuti lagi jalan pikiran Mas Rendi?
"Ran," bentaknya yang membuatku tersadar dari lamunan panjang.
"Tapi … bagaimana nanti untuk kedepannya, Mas? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi," ucapku dengan membuang pandangan darinya.
"Ran, aku ini suamimu. Jika kamu tidak menuruti kemauanku, kamu malah yang akan berdoa," desisnya dengan mencebik daguku kasar.
Aku yang merasa akan tersungkur mencoba berpegangan pada lemari pakaian. Beruntung aku tidak jatuh ke lantai, yang mana ada Safia di bawahnya.
"Cepat, kamu jual. Atau sini, biar aku saja yang menjualnya!"
Aku pun berpamitan kepada Safia, lalu gegas mengganti pakaian yang sedikit rapi. Ku sapu air mata yang sudah akan mengalir dengan sendirinya.
☀️☀️
"Ini, Mas. Dapat segini. Semoga nanti kerjanya berkah dan sukses, jangan lupa sama Safia!"
Setelah setengah jam aku pergi ke toko emas, akhirnya uang berada di tanganku. Ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya, cincin mas kawin harus berakhir seperti ini.
"Persiapkan semua pakaian yang akan aku bawa, ingat, jika ada sesuatu jangan segan beritahu aku, apapun itu. Apalagi menyangkut tentang putri kecilku, Safia!" titahnya dengan mendaratkan bobot tubuhnya di atas kasur.
Segera aku mencari tas besar supaya bisa memuat barang bawaan Mas Rendi. Ku Tata rapi, tak lupa aku belikan peralatan mandi agar nanti di sana tidak kebingungan jika harus memakainya.
"Pakai uang itu baik-baik, Mas. Kita sedang dalam masa paling di bawah. Serba tidak punya apa-apa, tidakkah kamu kasih sedikit pegangan untukku jikalau nanti Safia minta sesuatu?" Kuingat kan Mas Rendi saat sedang menghitung uang dari penjualan cincin.
"Safia tidak akan minta sesuatu, atau … kamu mau minta ini?" tanyanya dengan menepuk uang yang telah di hitungnya dengan senyum-senyum sendiri.
"Boleh, Mas. Buat pegangan saja, tidak banyak kok."
"Ran, aku disana nanti kalau makan tidak minta, tapi harus beli. Bagaimana bisa cukup jika uang segini harus aku bagi denganmu? Bukankah Safia belum mengerti tentang uang?" cebiknya yang membuatku sangat jengkel.
"Mas …."
"Sudahlah, aku capek berbicara dengan kamu. Pikiran kamu selalu uang, uang dan uang."
"Sama dengan kamu."
"Berhenti! Aku muak menghadapi kamu. Sekarang kamu sudah berani melawan dan makin hari, makin ngelunjak kalau bicara. Nggak sopan banget sama suami." Suaranya menggema di dasar hatiku, sehingga terciptalah kepingan hati yang dulunya kokoh.
Dinding-dinding rasaku telah terkikis oleh deburan kalimat yang sangat menyakitinya. Meski aku topang dengan sedikit rasa sayang terhadap putri kecilku, namun, aku takut jika tidak sanggup untuk bertahan.
Putri kecilku terlihat ketakutan mendengar suara lengkingan sang ayah, netranya memejam dengan bibir digigit. Kupeluk erat tubuh kecilnya dan ku dekap dalam pelukan agar terasa nyaman. Isakan lirihnya membuatku terluka.
"Pelankan suaramu, Mas! Lihat! Safia ketakutan melihatmu yang seperti monster, lihat wajahmu, Mas! Kamu berubah, kamu bukan seperti suamiku yang dulu. Yang penyayang dan bersikap lembut terhadap aku dan Safia," ucapku dengan deraian air mata.
Bukannya menurut apa yang telah aku katakan, Mas Rendi bertambah nyalang menatapku. Aku yang gemetaran mencoba untuk kuat dan tegak dalam menopang ragaku supaya tidak luruh. Safia yang masih dalam gendonganku pun semakin ketakutan karena pegangannya kurasakan semakin erat.
Mas Rendi menghela nafasnya kasar dengan membuang muka ke samping. Hatiku terasa lega, kuhirup udara yang mulai pengap dengan sebanyak-banyaknya. Supaya otakku tidak beku untuk menghadapi suamiku.
"Kenapa kita harus selalu bersitegang seperti ini terus, Mas? Bukankah kamu bisa berbicara dengan lembut? Ayolah, Mas. Jika kamu ingin bekerja di ibu kota, setidaknya tinggalkan kesan bahagia buatku juga putri kita!" bujukku dengan membelai punggung suamiku yang sudah mulai reda amarahnya.
Seketika aku tersentak kaget karena tiba-tiba, Mas Rendi memelukku sambil berpikir maaf berkali-kali. Aku yang merasa terharu, ikut menangis sesenggukan dalam pelukannya. Begitu pula Safia, tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh anak sekecil itu, dia pun ikut menangis.
"Maafkan aku, ya, Ran. Aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu, aku khilaf," ucapnya yang membuatku semakin tergugu.
Baru pertama kali ini saya melihat ada butiran bening yang jatuh di belakang pipi dari netra Mas Rendi. Dalam hati beribu kali saya memikirkan kata 'Alhamdulillah' dengan perubahan sikap yang dia ambil. Hatiku pun rasanya terharu melihat pujaan hatiku telah kembali menjadi orang yang penyayang.
'Semoga selamanya engkau menjadi lembut seperti ini, Mas,' batinku dalam hati.
❤️❤️
Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya."Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku."Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut."Mas Rendi, ada, Mbak?"Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami. "Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang. Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan."Kedatangan kami
"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah."Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. "Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" "Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang da
"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini. Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh. Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja. Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas."Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos. "Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan p
"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. "Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . Ak
Gajian kali ini lumayan banyak, karena lembur hampir sebulan penuh. Ku sisihkan sedikit uang untuk membayar hutang-hutang yang aku catat rapi di buku tulis. 'Masih banyak,' desahku dengan menghembuskan nafas kasar. Memang sisa hutang yang Mas Rendi tinggalkan masih lumayan buat diriku yang hanya sebagai seorang pekerja pabrik. Sehingga membuat otak berpikir keras untuk mencari tambahan supaya semuanya cepat lunas. Memang tidak mudah, namun, aku selalu berusaha untuk tidak dipersulit lagi jalanku agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal."Ran, ada seseorang yang mau dengan kamu. Bagaimana?" tanya Yu Likah saat melihatku sedang menjemur pakaian di samping rumah. Yu Likah, penjual bakso keliling itu tiba-tiba menghampiriku dan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan apa yang telah ia susun dari rumahnya untukku."Maksudnya, Yu?" tanyaku tidak mengerti."Begini, kemarin pelanggan setiaku meminta aku menanyakan hal ini kepadamu. Dia mau menjadikanmu istriny
Ponsel baru sudah aku dapatkan sejak dua hari yang lalu, namun, aku belum bisa untuk memakainya. Selalu menunggu Mita pulang dari sekolah untuk mengajariku berselancar di dunia maya. Yang menurut Mita adalah dunia yang penuh tipu-tipu. Wajah yang berjerawat banyak bisa semulus jalan tol saat berpose ria di depan gadget pintar itu. Yang tua bisa muda, yang muda apalagi? Bisa menjadi kinyis-kinyis, begitu Mita menjelaskan semuanya padaku. Mita mengajariku membuat akun sosial media yang mana bisa menghubungkan satu daerah ke daerah lain bahkan negara sekalipun meski tanpa harus mendatanginya langsung. Dengan cara seperti itu, kemungkinan aku bisa mengetahui kabar dari Mas Rendi yang entah di mana berada. "Kita tidak tahu, Mbak. Seandainya masih berjodoh, mungkin, Mbak Rani bisa melihat keadaan, Mas Rendi saat ini," ujar Mita saat aku bertanya apa guna dari bermain media sosial.Aku membenarkan ucapan adikku itu dengan pasti. Kita tidak tahu dengan jalan yang mana Tuhan akan mempertemu
"Coba ikhtiar ke orang pintar, Ran! Kemarin saat Pak Kandar sedang mencari anaknya yang lama tidak pulang dari rantau, dia meminta orang pintar untuk membantunya. Siapa tahu jodoh, kita hanya berusaha dan semua yang menentukan adalah sang pencipta," ujar bapak saat aku tengah memainkan ponsel.Aku hanya mengangguk mendengar ide yang diutarakan bapak barusan, mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. Kini pencarianku mulai dari teman kerja yang akhir-akhir ini sedang dekat. Mbak Yumi, namanya. Aku sudah mulai membuka pikiran supaya hatiku lega bisa berbagi kisah dengannya. Dia sahabat kecilku dulu yang kini dipertemukan dalam pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tempatku bekerja. Kita sama-sama dalam satu pengawasan. "Nanti aku antar, Ran. Hari Minggu kita kesana, bagaimana?" Aku mengangguk mengiyakan saat semua aku ceritakan apa yang akan menjadi maksud dari keinginanku saat ini.Dadaku berdebar-debar mengingat semua ini baru pertama kalinya aku lakukan. Tidak pernah terpikirkan ataup
"Pak, bangun, Pak. Tolong bangun sebentar!" ucapku sedikit teriak kencang memanggil bapak yang berada di kamarnya.Aku panik, Safia tiba-tiba menggigil dengan nafas memburu. Bibirnya biru serta dengan suara gigi kecilnya yang bergemeletuk. Keadaan Safia semakin memburuk saat hampir pukul dua pagi, membuatku semakin panik dan gemetaran. Bayangan buruk terlintas dalam benakku, hingga tak kuasa aku menahan air mata ini untuk keluar tanpa permisi. "Pak," Ku ketuk pintu kamar bapak dengan keras, lebih tepatnya menggedor. Aku kalut, tidak bisa berpikir secara jernih untuk saat seperti ini. Tidak menunggu lama, pintu terbuka dengan raut wajah yang bingung. Bapak melihatku yang sudah berderai air mata dengan menggendong Safia. "Kenapa?" tanya bapak panik lalu mengambil alih menggendong Safia. "Panas sekali.""Bu, aku ngantar Rani dulu ke Rumah Sakit!'' pamit bapak dengan tergesa-gesa. Aku mengikuti langkah bapak masih dengan berderaian air mata."Pak, bawa jaket. Jaga kesehatan kalian. Jan