Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
"Suami kamu itu, Ran, kerjaannya makan, tidur, lalu main. Apa kamu nggak bosen melihatnya?" tanya Bapak yang menatapku dengan tanpa kedip sama sekali. Tatapan mata bapak yang seolah menguliti raga membuatku tidak sanggup melihat kilatan amarah dari Bapak dan mencoba menunduk, memandangi kaki meja yang ditumpu dengan secuil pecahan genteng. Supaya tidak goyang serta oleng.Mas Rendi akhir-akhir ini begitu sangat tidak bersemangat menikmati hidup. Saat aku memintanya mencari pekerjaan untuk jajan anaknya yang sedang mulai suka dengan yang namanya es krim dan kawan-kawannya itu, selalu marah-marah tak jelas. Hingga akhirnya akulah yang menjadi pelampiasan terakhirnya.Terkadang pipi ini juga yang menjadi sasaran akan kemarahannya itu, jika sudah memuncak sampai ubun-ubun. Aku hanya bisa pasrah dan menangis dengan perlakuannya akhir-akhir ini. Karena aku tak mampu membalas serta melawan. Mungkin aku terlalu lemah.Iya, aku tidak ada keberanian serta tenaga yang bisa aku keluarkan untuk m
"Mas … apa tidak sebaiknya kita mencari pekerjaan yang bisa memperoleh pemasukan? Kebutuhan semakin banyak, belum lagi kita harus membantu uang dapur ibu juga," ucapku dengan hati-hati. Aku takut Mas Rendi tersinggung dan marah-marah seperti kemarin saat aku memintanya mencari pekerjaan. Dadaku berdebar tidak karuan, sungguh aku teramat ketakutan menghadapi suamiku saat ini. Meski nada bicaraku sedikit gugup, namun, aku tahu kalau Mas Rendi masih bisa mendengarkannya dengan jelas. Dalam hati aku berharap semoga dia tidak tersinggung atau sakit hati.Namun, aku salah. Justru dia menatapku dengan nyalang seolah ingin memangsaku hidup-hidup."Kamu cerewet banget, ya, sekarang? Dulu kamu lembut dan penurut, kenapa? Karena aku nganggur?" tanyanya dengan menatapku."Mas … kita harus berubah, tinggal di sini tapi tidak pernah membantu uang dapur, aku nggak enak sama Ibu, Mas," keluhku dengan netra mengembun.Ingin rasanya mengungkapkan segala keluh kesah di dalam hati, ingin rasanya aku be
"Besok aku mau ikut, Mas Sarif pergi ke ibukota. Katanya sih di sana banyak pekerjaan, biar kamu tidak selalu marah-marah jika melihatku tiduran saja!" ujar Mas Rendi dengan memeluk gulingnya."Bagaimana dengan hutang-hutang kamu, Mas? Apakah orang yang kemarin datang tidak akan kesini lagi? Aku takut menghadapi mereka sendirian," tanyaku lembut."Iya, nanti aku bayar. Pasti. Sudahlah, kamu diam saja!""Mas …." Tak kulanjutkan lagi kalimat yang akan aku ucapkan. Matanya menatapku penuh kebencian, membuat niatku urung untuk aku utarakan.Safia kecil yang bermain dengan bonekanya menatap sang ayah yang mulai berjalan mendekatinya. Di elus pelan rambut yang aku kuncir dua itu dengan lembut. Ah, andai, Mas Rendi akan selamanya baik dan lembut seperti ini, pasti aku akan selalu bahagia. "Safia, ayah mau kerja jauh, Safia di rumah sama ibu, ya, jangan nakal dan jangan suka jajan! Yang nurut sama, Ibu!" Lembut, Mas Rendi berpesan pada putrinya, Safia hanya mengangguk lalu memeluk ayahnya d
Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya."Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku."Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut."Mas Rendi, ada, Mbak?"Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami. "Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang. Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan."Kedatangan kami
"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah."Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. "Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" "Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang da
"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini. Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh. Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja. Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas."Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos. "Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan p
"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. "Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . Ak