"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya.
Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.
Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah.
"Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku.
"Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?"
"Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang dahulu jika kadang telah sengaja menyakiti hatimu karena tidak bekerja, itu karena …."
"Aku tahu, Bu. Tidak apa, aku sudah melupakan semuanya. Maafkan aku yang telah menyusahkan ibu dari dulu, apalagi saat, Mas Rendi menjadi pengangguran."
Aku menggenggam erat tangan Bu Fatimah, mataku mengembun. Tak terbayangkan jika aku mengambil jalan yang buruk atas apa yang menimpaku dulu. Mungkin aku akan terlunta-lunta.
Kini, aku harus menatap masa depan untuk diriku sendiri juga Safia yang telah tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat ceria. Meski sesekali selalu bertanya kemana sang Ayah pergi dan aku masih tetap berbohong saat menjawabnya.
☀️☀️
Setelah melewati banyak perjalanan, akhirnya aku menjadi karyawan di sebuah pabrik garmen. Keseharianku selalu bekerja dengan semangat yang membara.
Safia, di rawat sama Bu Fatimah dan bapak. Sedang aku bekerja di pabrik yang mana gaji nya cukup untuk kebutuhan rumah juga putri kecilku.
Safia kini sudah beranjak lima tahun, itu artinya Mas Rendi meninggalkan kami sudah hampir satu tahun lamanya. Tidak ada kabar atau apapun tentangnya. Aku Pun lelah mencari tahu apa dan dimana dia sekarang.
Uang dari gaji aku sebagai karyawan sebagian aku sisihkan untuk melunasi semua hutang-hutang yang Mas Rendi tinggalkan untukku. Meski masih banyak, namun, aku berusaha untuk membayarnya.
Entah untung atau buntung, pihak yang memberi hutang Mas Rendi mau bersabar meski aku membayarnya dengan mencicil sedikit demi sedikit.
"Hutang, Rendi masih banyak, Ran?" Bapak membuka percakapan saat kami sedang menonton televisi.
"Masih, Pak."
"Kenapa kamu tidak meminta tolong saja sama orang tuanya, supaya beban kamu sedikit berkurang!" ucap Bapak yang membuatku merubah posisi dengan menatapnya sempurna.
"Nggak, Pak. Biar, Rani saja yang membayarnya. Aku takut nanti kalau malah menjadi masalah besar, sudahlah, Pak."
Aku malu andaikan harus tiba-tiba datang ke rumah mertua dan bercerita kalau Mas Rendi mempunyai hutang lumayan banyak. Serta meninggalkan aku yang tanpa pamit pergi ke luar negeri menjadi seorang TKI.
Apalagi kondisi kesehatan ibu mertuaku yang saat ini sedang tidak dalam keadaan yang baik. Sejak, mendengar kalau Mas Rendi pergi bekerja jauh itu, ibu mertua menjadi uring-uringan dan akhirnya terserang stroke ringan. Begitu kabar terakhir yang aku dengar.
Mungkin benar, aku harus berkunjung ke sana tapi tidak akan bercerita ini itu supaya tidak menambah beban pikirannya mereka sekeluarga.
"Kamu sanggup?" tanya Bapak lagi dengan menatapku nanar.
"Pasti sanggup, kenapa tidak? Aku percaya suatu saat nanti, pasti Mas Rendi akan pulang."
Aku hanya mendengar desahan nafas bapak terdengar berat, enggan lagi berbicara kepadaku. Mungkin bapak merasa kecewa dengan jawabanku.
"Masih saja kamu berharap akan kepulangannya, Ran?" tanya Bapak lagi.
"Iya, Pak. Aku yakin Mas Rendi masih juga mencintai kami, apalagi Safia yang sudah hampir sekolah. Dulu sekali, dia begitu menginginkan untuk mengantar jemput anaknya jika sudah sekolah, dulu juga kita sudah mempunyai cita-cita yang akan menyekolahkan Safia sampai jenjang tinggi. Nggak mungkin, Mas Rendi akan lupa hal itu, Pak."
☀️☀️
Hari ini Minggu, aku libur kerja. Rencananya akan pergi ke ruang mertua untuk menjenguknya karena sudah lama aku dan Safia tidak pernah kesana semenjak aku bertanya tentang uang saat Mas Rendi masih di rumah.
Mungkin aku terkesan menjadi menantu yang durhaka, namun, apalah daya jika jarak yang membentang membuatku tidak bisa datang kesana tanpa membawa oleh-oleh juga ongkos untuk kendaraan.
Kini, saat aku sudah bekerja, aku bisa bertandang ke rumah mertua karena telah mendapatkan uang sendiri. Tanpa harus meminjam bapak atau Ibu Fatimah.
Kurang lebih hampir satu jam perjalanan dengan menaiki bus, aku dan Safia telah sampai di terminal. Lalu menyambung lagi dengan ojek sampai rumah beliau.
Ibu mertua menangis saat melihatku dan Safia berdiri dan memberi salam di depan pintu. Hendak berjalan dan dirangkul olehnya, namun, keadaannya sulit untuk bergerak.
"Ya Allah, Rani, apa kabarmu?" tanya Mbak Indah, kakak iparku.
Dia memelukku erat dan menciumku penuh kerinduan. Sedang Safia, masih terdiam melihatku yang tengah sesenggukan bersama Mbak Indah.
"Safia, beri salam sama bu de, nak. Itu, Mbah, beri salam juga!" pintaku pada putri kecilku yang terdiam.
Safia menurut, betapa pintarnya anakmu, Mas, batinku dalam hati hingga menangis lagi.
"Apa benar kalau Rendi pergi menjadi buruh di luar negeri, Ran?" tanya Mbak Indah dengan tangan menyuapi ibu mertua.
Aku mengangguk, lalu melihat ke arah Ibu, ada butiran bening yang meleleh dari netranya. Mbak Indah yang melihat ibu menangis, seketika menyekanya dengan tisu.
"Apa benar dia punya hutang banyak?"
Mataku membelalak sempurna mendengar Mbak indah bertanya tanpa tedeng aling-aling. Naasnya, sikap gusarku terbaca oleh Mbak indah.
"Nggak usah ditutup-tutupi, Ran. Meski kamu nggak pernah kesini dan juga jarak rumah kita jauh, namun, aku tahu semuanya."
"Dari siapa, Mbak?"
"Sepupumu, Syarif. Sebulan yang lalu, dia kesini, katanya sih ada kerjaan disini. Aku suruh dia mampir dan … bercerita semua tentang, Rendi."
"Mbak …."
"Tinggalkan lelaki seperti itu, Ran. Suami tidak tanggap jawab saja masih kamu pertahankan. Menikahlah kembali dengan lelaki yang jauh lebih baik dari dia, kami semua sepakat untuk menyetujui jika kamu melepaskan Rendi," Kini Bapak mertua datang dan langsung berbicara tentang semuanya.
Aku masih membisu, entah apa yang harus aku katakan pada mereka. Jika aku masih berharap kalau Mas Rendi akan kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Maaf, Pak. Untuk meninggalkan, Mas Rendi, sepertinya saya tidak bisa. Sebab, diantara kami belum ada kalimat putus. Biarlah saya menunggunya sampai suatu saat akan pulang ke rumah," ujarku dengan memandangi Safia.
Benih cinta aku dan Mas Rendi yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang riang, sehat dan pintar. Hatiku masih yakin kalau kelak Mas Rendi akan sadar akan jalan yang telah ditempuhnya ini.
Jika memang aku dan suamiku harus berpisah, aku ingin perpisahan yang baik-baik saja tanpa ada permusuhan antara kedua belah pihak. Biar bisa sama-sama melihat tumbuh kembang putri kecil Safia menjadi orang yang sukses.
Air mata ibu luruh saat aku memberi alasan atas usulan bapak. Begitu pula Mbak Indah, dia beringsut mendekat dan memelukku sambil sesenggukan. Entah menangisi apa, suaranya hingga parau.
"Apa benar, Rendi juga meninggalkan hutang untuk kamu?"
Deg.
Bapak mulai bertanya lagi saat semua terdiam dengan pikirannya masing-masing. Aku terkejut mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir bapak mertua.
Ingin aku menjawab, namun, saat melihat netra ibu mertua mengeluarkan butiran air mata, suaraku terasa berhenti di tengah-tengah tenggorokan.
"Entah apa yang dipikirkan oleh anak itu, padahal dulu tidak pernah sekalipun dia ikut berjudi atau bermain kartu lainnya. Bapak benar-benar malu sama orang tua kamu, Ran."
"Sudahlah Pak. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan satu sama lain, berdoa saja supaya Mas Rendi secepatnya sadar dan pulang untuk kita semua," hiburku dengan netra mengembun.
"Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk memberitahu kami, ya, Ran. Kami semua selalu ada buat kamu dan Safia. Safia akan tetap menjadi bagian dari kami," Bapak menggendongnya Safia dengan penuh kasih sayang.
Andai, Mas Rendi tahu kalau keluarganya begitu akrab dengan kami dan juga dia, apakah masih mungkin menyakiti aku dan Safia? Entahlah, aku hanya berharap suatu saat suamiku kembali lagi menjadi lebih baik.
Amin.
"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini. Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh. Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja. Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas."Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos. "Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan p
"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. "Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . Ak
Gajian kali ini lumayan banyak, karena lembur hampir sebulan penuh. Ku sisihkan sedikit uang untuk membayar hutang-hutang yang aku catat rapi di buku tulis. 'Masih banyak,' desahku dengan menghembuskan nafas kasar. Memang sisa hutang yang Mas Rendi tinggalkan masih lumayan buat diriku yang hanya sebagai seorang pekerja pabrik. Sehingga membuat otak berpikir keras untuk mencari tambahan supaya semuanya cepat lunas. Memang tidak mudah, namun, aku selalu berusaha untuk tidak dipersulit lagi jalanku agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal."Ran, ada seseorang yang mau dengan kamu. Bagaimana?" tanya Yu Likah saat melihatku sedang menjemur pakaian di samping rumah. Yu Likah, penjual bakso keliling itu tiba-tiba menghampiriku dan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan apa yang telah ia susun dari rumahnya untukku."Maksudnya, Yu?" tanyaku tidak mengerti."Begini, kemarin pelanggan setiaku meminta aku menanyakan hal ini kepadamu. Dia mau menjadikanmu istriny
Ponsel baru sudah aku dapatkan sejak dua hari yang lalu, namun, aku belum bisa untuk memakainya. Selalu menunggu Mita pulang dari sekolah untuk mengajariku berselancar di dunia maya. Yang menurut Mita adalah dunia yang penuh tipu-tipu. Wajah yang berjerawat banyak bisa semulus jalan tol saat berpose ria di depan gadget pintar itu. Yang tua bisa muda, yang muda apalagi? Bisa menjadi kinyis-kinyis, begitu Mita menjelaskan semuanya padaku. Mita mengajariku membuat akun sosial media yang mana bisa menghubungkan satu daerah ke daerah lain bahkan negara sekalipun meski tanpa harus mendatanginya langsung. Dengan cara seperti itu, kemungkinan aku bisa mengetahui kabar dari Mas Rendi yang entah di mana berada. "Kita tidak tahu, Mbak. Seandainya masih berjodoh, mungkin, Mbak Rani bisa melihat keadaan, Mas Rendi saat ini," ujar Mita saat aku bertanya apa guna dari bermain media sosial.Aku membenarkan ucapan adikku itu dengan pasti. Kita tidak tahu dengan jalan yang mana Tuhan akan mempertemu
"Coba ikhtiar ke orang pintar, Ran! Kemarin saat Pak Kandar sedang mencari anaknya yang lama tidak pulang dari rantau, dia meminta orang pintar untuk membantunya. Siapa tahu jodoh, kita hanya berusaha dan semua yang menentukan adalah sang pencipta," ujar bapak saat aku tengah memainkan ponsel.Aku hanya mengangguk mendengar ide yang diutarakan bapak barusan, mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. Kini pencarianku mulai dari teman kerja yang akhir-akhir ini sedang dekat. Mbak Yumi, namanya. Aku sudah mulai membuka pikiran supaya hatiku lega bisa berbagi kisah dengannya. Dia sahabat kecilku dulu yang kini dipertemukan dalam pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tempatku bekerja. Kita sama-sama dalam satu pengawasan. "Nanti aku antar, Ran. Hari Minggu kita kesana, bagaimana?" Aku mengangguk mengiyakan saat semua aku ceritakan apa yang akan menjadi maksud dari keinginanku saat ini.Dadaku berdebar-debar mengingat semua ini baru pertama kalinya aku lakukan. Tidak pernah terpikirkan ataup
"Pak, bangun, Pak. Tolong bangun sebentar!" ucapku sedikit teriak kencang memanggil bapak yang berada di kamarnya.Aku panik, Safia tiba-tiba menggigil dengan nafas memburu. Bibirnya biru serta dengan suara gigi kecilnya yang bergemeletuk. Keadaan Safia semakin memburuk saat hampir pukul dua pagi, membuatku semakin panik dan gemetaran. Bayangan buruk terlintas dalam benakku, hingga tak kuasa aku menahan air mata ini untuk keluar tanpa permisi. "Pak," Ku ketuk pintu kamar bapak dengan keras, lebih tepatnya menggedor. Aku kalut, tidak bisa berpikir secara jernih untuk saat seperti ini. Tidak menunggu lama, pintu terbuka dengan raut wajah yang bingung. Bapak melihatku yang sudah berderai air mata dengan menggendong Safia. "Kenapa?" tanya bapak panik lalu mengambil alih menggendong Safia. "Panas sekali.""Bu, aku ngantar Rani dulu ke Rumah Sakit!'' pamit bapak dengan tergesa-gesa. Aku mengikuti langkah bapak masih dengan berderaian air mata."Pak, bawa jaket. Jaga kesehatan kalian. Jan
Sepekan setelah kehilangan Safia untuk selamanya, aku enggan bergerak kemanapun. Bekerja pun aku sudah tidak ada gairah dan semangat. Meski bapak dan semua keluarga yang datang selalu menghiburku dengan kalimat-kalimat yang semuanya terdengar sama, menghiburku."Kamu harus melanjutkan hidupmu, Ran. Biar Safia bahagia dan tenang di sana. Jangan bersedih lagi, kamu juga harus kerja dan kembali lagi seperti sedia kala!" Tak ku hiraukan suara bapak yang setiap kali melihatku terdiam dalam bisu sendirian di kamar. Berkali-kali bapak memberikanku nasehat-nasehat supaya aku tegar, namun, aku sama sekali tidak bergeming. Aku masih belum ikhlas kehilangan Safia dari hidupku. Aku juga masih merasa kalau dia ada disini menemaniku setiap detik. Aroma khas tubuhnya Safia saat aku mandikan lalu ku taburi bedak, minyak sebagai penghangat tubuhnya ketika cuaca sedang berganti dingin.Celotehannya yang membuat seisi rumah saling melempar canda yang berakhir jeritan marah yang membuat pipinya memerah
Setelah melewati perjalanan yang panjang menuju pulau seberang, aku dan Mas Bima akhirnya bisa sampai di tujuan dengan selamat. Ibu yang memang dalam keadaan sakit keras hanya bisa tergolek lemas di atas ranjangnya. Ku tatap wajah ayu itu dengan seksama, sebab, saat perpisahan itu aku masih kecil dan tidak begitu paham akan wajahnya. Ada gurat-gurat kelelahan saat ku lihat dadanya yang naik turun.Rumah dengan keadaan yang sangat bersih dan besar menyambut kedatanganku dengan perasaan takjub. Keadaan ekonomi ibu dengan ayah berbeda jauh, namun, aku berusaha tidak membeda-bedakannya di depan Mas Bima. Selama Mas Bima menginap di rumah bapak dari raut wajahnya tidak menampakkan senang atau leluasa. Dia seperti enggan berlama-lama untuk tinggal. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif untuk saat ini. "Ibu turut berduka cita, ya, Ran. Atas musibah yang telah menimpamu. Yang sabar dan kuat, kamu pasti bisa menghadapi segala cobaan ini," ucap ibu dengan mengelus len
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak