"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.
Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.
Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.
Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat.
"Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni .
Aku tidak ingin ibu tahu lebih dalam apa yang aku rasakan saat ini. Jika ibu tahu, kemungkinan bapak juga akan mengetahuinya. Lalu akan merembet kemana-mana, jalan terbaik adalah tidak membahasnya lagi.
Bu Fatimah mendesah pelan, masih kudengar nafasnya yang seperti kecewa saat aku mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
''Bapakmu pasti setuju saja, kenapa kamu mau berhenti kerja disana?
"Sebentar lagi Safia akan sekolah, aku ingin mengantar dan menjemputnya sendiri, bu. Cukuplah selama ini kami menyusahkan kalian semua …."
"Siapa yang menyusahkan? Safia? Tidak pernah dia menyusahkan aku dan ibumu. Dia cucuku, kamu anakku. Kalau kamu menyusahkan aku, kenapa dulu aku meminta sama ibumu untuk meninggalkan kamu untukku? Jangan pernah punya pikiran buruk terhadap kami, Ran!" sela bapak yang tiba-tiba datang dari belakang.
Seketika menunduk lagi, tak ada keberanian untuk menatap manik berwarna hitam itu.
Seketika menunduk lagi, tak ada keberanian untuk menatap manik berwarna hitam itu. Meski tidak marah, namun, saya takut melihat ke arah bapak. Begitu pula Mita, dia juga tidak akan berani membantah apa yang sudah di ucapkan oleh bapak. Meski begitu, aku dan Mita sama-sama dengan lelaki pertama yang kami cintai itu.
"Bapak sama ibu marah waktu itu bukan karena benci sama kalian, tapi bapak ingin melihat kalian bahagia bukannya terus menerus setiap hari. Percayalah, semarah apapun bapak terhadapmu, bapak tidak akan pernah rela hidup kamu sengsara," jelas Bapak yang membuatku terdiam.
Sejenak kami semua membisu, berselancar dengan pikiran masing-masing.
"Pak, Rani mau bikin warung sayur di depan sana, boleh 'kan?" tanya Bu Fatimah mengawali pembicaraan dari suasana yang tadi senyap.
"Boleh, kapan?"
"Nanti, Pak. Kalau Safia sudah sekolah. Biar bisa menjaga sepanjang hari, aku nggak mau melewatkan masa-masa dia seperti ini, Pak."
"Kapanpun kamu akan membuat warung, bicara saja sama bapak. Biar nanti bapak yang membuatnya, ya, meski sederhana saja. Ibu kamu nanti juga bisa membantu kamu berjualan di sana. Iya, 'kan, bu?" ucap Bapak dengan menggebu.
Bu Fatimah mengangguk dengan tersenyum padanya, wajah cantik yang mulai keriput itu begitu baik selama ini. Saya tidak ingin menyusahkan mereka saat usianya tidak lagi muda.
Aku tidak mau menjadikan diriku ini beban bagi mereka. Cukuplah sekali saat Mas Rendi masih berada di rumah saat itu. Sekarang, saatnya aku membalas dan membahagiakan orang tuaku.
☀️☀️
"Harusnya, Mbak Rani berani membantah omongannya Mbak Eni tempo hari. Jangan terlalu banyak diam, Mbak. Justru itu akan membuat Mbak Rani semakin di injak-injak orang," ucap Bu Endang saat kami sama-sama menikmati pemandangan sore hari di alun-alun.
Malam Minggu ini aku dan Mita sedang menikmati indahnya gemerlap lampu di kota. Mengantar Safia bermain aneka permainan di alun-alun. Tanpa sengaja aku melihat Bu Endang dan sekedar menyapanya.
Sebenarnya aku enggan membahas sesuatu yang sudah lalu. Terlalu menyakitkan buatku jika harus mengorek sesuatu yang telah kupendam lalu di buka dan menyelesaikan isinya. Akan jauh lebih baik di biarkan saja tanpa menyentuh.
Namun, Bu Endang justru membukanya. Mungkin beliau tidak tega yang melihatku terasa seperti pojokkan tanpa ada yang membela. Ah, entahlah.
"Buat apa, Bu?"
“Jangan menolak lemah di hadapan orang lain, Mbak. saya lebih baik tidak bertegur sapa saja daripada harus di hina secara terus menerus. Tuman." Bu Endang menggenggam erat dengan senyumannya yang tampak sejuk dan bisa menenangkan jiwa.
Raut wajah yang sudah berumur namun, masih terlihat cantik dan berwibawa itu terpancar dengan berseri. Bu Endang, yang aku tahu adalah seorang istri dari kepala sekolah ini mencoba untuk membuat hatiku semakin kuat.
"Jangan malu dan takut menghadapi dunia, nak. Karena, dunia harus ditaklukkan dengan keberanian dan keberhasilan. Jika kamu terus-terusan menunduk dan memalingkan muka dengan apa yang di depan, maka kamu tidak akan pernah maju dan sukses!" ucap Bu Endang yang membuatku berkaca-kaca. "Hutang-hutang suamimu itu memang aib, namun, kamu nggak usah berkecil hati. Berusahalah untuk menutupi aib itu dengan kesuksesan, kamu pasti bisa!"
Kupeluk tubuh Bu Endang dengan pundakku yang berguncang menahan tangis yang seakan-akan ingin meledak dimanapun berada. Tak ku hiraukan juga lalu lalang pejalan kaki yang melihatku penuh dengan raut yang keheranan.
Bu Endang, tetangga yang tidak pernah aku tahu isi hatinya, tiba-tiba menasehatiku dengan kalimat bijaknya layaknya seorang ibu.
"Bagaimana pekerjaan kamu di pabrik? Enak bukan? Apalagi bisa saling bercanda dengan banyak kawan. Itu akan sedikit bisa melepaskan beban pikiran yang menghimpit."
Aku menggeleng cepat, lalu tersenyum tipis menghias bibirku yang tampak kering. Kutatap jauh ke depan, sambil dengan tarikan nafas yang pelan tapi pasti.
"Saya tidak pernah berbaur dengan yang lain, Bu. Seharian penuh saya selalu berkutat dengan pekerjaan, jika istirahat maka saya akan gunakan untuk tidur. Tidak lebih," ucapku dengan pandangan menerawang.
"Kenapa? Seharusnya kamu membuka hati juga pikiranmu untuk bisa melepaskan segala beban pikiran yang mulai mengendap. Bicara sama orang yang kamu percaya, buka semua beban hati kamu. Pasti nanti kamu akan bahagia dan merasa lega."
Sekali lagi aku menggeleng cepat, ku seka air mata yang jatuh membasahi pipi. Serta berharap supaya angin menerpa wajah yang kusut ini agar air mata membeku dan tersimpan rapi di dalamnya.
Namun, naas, bukannya membeku. Justru air mata itu mengucur deras bak air terjun yang memperlihatkan keindahannya kepada yang melihatnya. Terus, hingga hidungku terasa susah untuk menarik udara segar. Buntu.
Bayangan tentang Mas Rendi yang mana telah berjanji akan memberikan kabar terbaiknya saat mencari nafkah. Bercerita tentang tumbuhnya buah cinta kami, serta mimpi indah masa depan, terlintas tanpa aku minta. Ah, mungkin semua itu hanya bualan suamiku saja yang berhasil menghipnotisku.
"Maaf, bukannya Ibu ingin membuka lukamu, tapi percayalah jika akan ada pelangi setelah badai datang menerpamu. Bukalah hatimu, Rani. Masih banyak orang-orang yang menerimamu. Sehingga kamu memang pantas bahagia!" ucap Bu Endang yang membuatku semakin tergugu.
Dari kejauhan aku melihat Mita dan Safia hendak menghampiri kami. Sesegera mungkin kuseka tangisku dengan cepat. Aku tidak mau mereka melihat kesedihan yang telah memporak-porandakan kebahagiaan yang telah aku ciptakan untuk putri kecilku.
Aku ingin Safia tahu kalau ibunya selalu baik-baik saja, kuat dan tegar. Supaya dia pun tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan kokoh.
❤️❤️
Gajian kali ini lumayan banyak, karena lembur hampir sebulan penuh. Ku sisihkan sedikit uang untuk membayar hutang-hutang yang aku catat rapi di buku tulis. 'Masih banyak,' desahku dengan menghembuskan nafas kasar. Memang sisa hutang yang Mas Rendi tinggalkan masih lumayan buat diriku yang hanya sebagai seorang pekerja pabrik. Sehingga membuat otak berpikir keras untuk mencari tambahan supaya semuanya cepat lunas. Memang tidak mudah, namun, aku selalu berusaha untuk tidak dipersulit lagi jalanku agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal."Ran, ada seseorang yang mau dengan kamu. Bagaimana?" tanya Yu Likah saat melihatku sedang menjemur pakaian di samping rumah. Yu Likah, penjual bakso keliling itu tiba-tiba menghampiriku dan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan apa yang telah ia susun dari rumahnya untukku."Maksudnya, Yu?" tanyaku tidak mengerti."Begini, kemarin pelanggan setiaku meminta aku menanyakan hal ini kepadamu. Dia mau menjadikanmu istriny
Ponsel baru sudah aku dapatkan sejak dua hari yang lalu, namun, aku belum bisa untuk memakainya. Selalu menunggu Mita pulang dari sekolah untuk mengajariku berselancar di dunia maya. Yang menurut Mita adalah dunia yang penuh tipu-tipu. Wajah yang berjerawat banyak bisa semulus jalan tol saat berpose ria di depan gadget pintar itu. Yang tua bisa muda, yang muda apalagi? Bisa menjadi kinyis-kinyis, begitu Mita menjelaskan semuanya padaku. Mita mengajariku membuat akun sosial media yang mana bisa menghubungkan satu daerah ke daerah lain bahkan negara sekalipun meski tanpa harus mendatanginya langsung. Dengan cara seperti itu, kemungkinan aku bisa mengetahui kabar dari Mas Rendi yang entah di mana berada. "Kita tidak tahu, Mbak. Seandainya masih berjodoh, mungkin, Mbak Rani bisa melihat keadaan, Mas Rendi saat ini," ujar Mita saat aku bertanya apa guna dari bermain media sosial.Aku membenarkan ucapan adikku itu dengan pasti. Kita tidak tahu dengan jalan yang mana Tuhan akan mempertemu
"Coba ikhtiar ke orang pintar, Ran! Kemarin saat Pak Kandar sedang mencari anaknya yang lama tidak pulang dari rantau, dia meminta orang pintar untuk membantunya. Siapa tahu jodoh, kita hanya berusaha dan semua yang menentukan adalah sang pencipta," ujar bapak saat aku tengah memainkan ponsel.Aku hanya mengangguk mendengar ide yang diutarakan bapak barusan, mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. Kini pencarianku mulai dari teman kerja yang akhir-akhir ini sedang dekat. Mbak Yumi, namanya. Aku sudah mulai membuka pikiran supaya hatiku lega bisa berbagi kisah dengannya. Dia sahabat kecilku dulu yang kini dipertemukan dalam pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tempatku bekerja. Kita sama-sama dalam satu pengawasan. "Nanti aku antar, Ran. Hari Minggu kita kesana, bagaimana?" Aku mengangguk mengiyakan saat semua aku ceritakan apa yang akan menjadi maksud dari keinginanku saat ini.Dadaku berdebar-debar mengingat semua ini baru pertama kalinya aku lakukan. Tidak pernah terpikirkan ataup
"Pak, bangun, Pak. Tolong bangun sebentar!" ucapku sedikit teriak kencang memanggil bapak yang berada di kamarnya.Aku panik, Safia tiba-tiba menggigil dengan nafas memburu. Bibirnya biru serta dengan suara gigi kecilnya yang bergemeletuk. Keadaan Safia semakin memburuk saat hampir pukul dua pagi, membuatku semakin panik dan gemetaran. Bayangan buruk terlintas dalam benakku, hingga tak kuasa aku menahan air mata ini untuk keluar tanpa permisi. "Pak," Ku ketuk pintu kamar bapak dengan keras, lebih tepatnya menggedor. Aku kalut, tidak bisa berpikir secara jernih untuk saat seperti ini. Tidak menunggu lama, pintu terbuka dengan raut wajah yang bingung. Bapak melihatku yang sudah berderai air mata dengan menggendong Safia. "Kenapa?" tanya bapak panik lalu mengambil alih menggendong Safia. "Panas sekali.""Bu, aku ngantar Rani dulu ke Rumah Sakit!'' pamit bapak dengan tergesa-gesa. Aku mengikuti langkah bapak masih dengan berderaian air mata."Pak, bawa jaket. Jaga kesehatan kalian. Jan
Sepekan setelah kehilangan Safia untuk selamanya, aku enggan bergerak kemanapun. Bekerja pun aku sudah tidak ada gairah dan semangat. Meski bapak dan semua keluarga yang datang selalu menghiburku dengan kalimat-kalimat yang semuanya terdengar sama, menghiburku."Kamu harus melanjutkan hidupmu, Ran. Biar Safia bahagia dan tenang di sana. Jangan bersedih lagi, kamu juga harus kerja dan kembali lagi seperti sedia kala!" Tak ku hiraukan suara bapak yang setiap kali melihatku terdiam dalam bisu sendirian di kamar. Berkali-kali bapak memberikanku nasehat-nasehat supaya aku tegar, namun, aku sama sekali tidak bergeming. Aku masih belum ikhlas kehilangan Safia dari hidupku. Aku juga masih merasa kalau dia ada disini menemaniku setiap detik. Aroma khas tubuhnya Safia saat aku mandikan lalu ku taburi bedak, minyak sebagai penghangat tubuhnya ketika cuaca sedang berganti dingin.Celotehannya yang membuat seisi rumah saling melempar canda yang berakhir jeritan marah yang membuat pipinya memerah
Setelah melewati perjalanan yang panjang menuju pulau seberang, aku dan Mas Bima akhirnya bisa sampai di tujuan dengan selamat. Ibu yang memang dalam keadaan sakit keras hanya bisa tergolek lemas di atas ranjangnya. Ku tatap wajah ayu itu dengan seksama, sebab, saat perpisahan itu aku masih kecil dan tidak begitu paham akan wajahnya. Ada gurat-gurat kelelahan saat ku lihat dadanya yang naik turun.Rumah dengan keadaan yang sangat bersih dan besar menyambut kedatanganku dengan perasaan takjub. Keadaan ekonomi ibu dengan ayah berbeda jauh, namun, aku berusaha tidak membeda-bedakannya di depan Mas Bima. Selama Mas Bima menginap di rumah bapak dari raut wajahnya tidak menampakkan senang atau leluasa. Dia seperti enggan berlama-lama untuk tinggal. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif untuk saat ini. "Ibu turut berduka cita, ya, Ran. Atas musibah yang telah menimpamu. Yang sabar dan kuat, kamu pasti bisa menghadapi segala cobaan ini," ucap ibu dengan mengelus len
"Mas, aku rasa ibu dan Mbak Lilik sedang ada kesalahpahaman, maaf kalau saya lancang, bagaimana kalau …" ucapku saat melihat Mas Bima tengah bersantai di teras depan. "Jangan sok tahu kamu, baru juga dua hari di sini sudah bisa menilai orang lain nggak bener." Mataku membulat sempurna mendengar jawaban dari mulut Mas Bima. Mas Bima tidak selembut yang aku pikirkan, waktu pertama kali dia begitu seperti seorang kakak yang penyayang, cara bicaranya saat membujukku untuk segera ikut dengannya ke rumah ini begitu lembut. Akan tetapi, saat aku telah hidup di tengah-tengah keluarga ini, justru sikap yang acuh aku dapatkan. "Bukannya aku ingin mengadu, Mas ….""Sudahlah, Ran. Jangan suka berpikir buruk akan orang lain yang belum kamu kenal sebelumnya. Buang pikiran buruk kamu untuk hidup berdampingan dengan orang lain, jangan nilai Lilik akan seperti tetangga-tetangga kamu di kampung sana!" ucap Mas Bima dengan memainkan ponselnya. Berkali-kali ku sibakkan rambutku kebelakang telinga, mu
"Mas, Mas Bima!" teriakku kencang. Ibu tergolek lemas di atas kasur sendirian dengan gelas yang pecah di lantai. Semua obat-obatan tercecer entah berantah tanpa kutahu sebabnya. Mataku membulat sempurna tatkala melihat ibu yang hampir saja jatuh dari kasur.Bi Inah dan Mas Bima tergopoh-gopoh berlarian mendekati kamar ibu yang mana aku mendapatinya dalam keadaan tidak sadar diri. Air mataku seketika luruh melihat keadaan ini."Ada apa? Ibu?" Mas Bima berteriak saat melihat ibu yang terkulai lemas tak berdaya. Lalu dengan sigap, Mas Bima membawa ibu keluar dan memasukkannya dalam mobil. Aku dan Bi Inah memangku ibu untuk menuju ke rumah sakit mencari pertolongan. Dalam hati, aku berharap ibu segera sadar dan sehat Kembali. Air mata mengalir di pipi saat kulihat wajah ibu terlihat pucat dengan bibir kering. Nafasnya naik turun seakan berat untuk dihirupnya udara yang singgah di rongga-rongga dadanya. Telapak tangan dan kaki terasa dingin, membuatku terus mengusap-usapnya supaya teras