"Mas, Mas Bima!" teriakku kencang. Ibu tergolek lemas di atas kasur sendirian dengan gelas yang pecah di lantai. Semua obat-obatan tercecer entah berantah tanpa kutahu sebabnya. Mataku membulat sempurna tatkala melihat ibu yang hampir saja jatuh dari kasur.Bi Inah dan Mas Bima tergopoh-gopoh berlarian mendekati kamar ibu yang mana aku mendapatinya dalam keadaan tidak sadar diri. Air mataku seketika luruh melihat keadaan ini."Ada apa? Ibu?" Mas Bima berteriak saat melihat ibu yang terkulai lemas tak berdaya. Lalu dengan sigap, Mas Bima membawa ibu keluar dan memasukkannya dalam mobil. Aku dan Bi Inah memangku ibu untuk menuju ke rumah sakit mencari pertolongan. Dalam hati, aku berharap ibu segera sadar dan sehat Kembali. Air mata mengalir di pipi saat kulihat wajah ibu terlihat pucat dengan bibir kering. Nafasnya naik turun seakan berat untuk dihirupnya udara yang singgah di rongga-rongga dadanya. Telapak tangan dan kaki terasa dingin, membuatku terus mengusap-usapnya supaya teras
"Hari ini aku menggantikan posisi Mas Bima menjaga ibu, kamu bisa pulang sana!" ujar Mbak Lilik dengan intonasi ketus saat melihatku masih mengelus-elus lengan ibu yang masih tertidur pulas.Sebuah senyuman tersungging manis di bibirku saat suara pelan namun, terdengar tegas. Mbak Lilik membuang muka saat aku menoleh melihatnya yang masih dalam posisi berdiri di samping ranjang ibu. "Mbak, aku ingin bicara, boleh?" tanyaku hati-hati. Yang aku tahu saat ini Mbak Lilik sedang dalam masa trauma karena masa lalunya yang begitu pahit karena saudaranya yang telah menyakiti hati kecilnya. Dengan langkah panjang, bobot tubuh kakak iparku itu didaratkan di atas kursi yang tersedia di ruangan ini. Tanpa pikir panjang aku pun gegas mendekatinya yang masih memasang wajah tidak suka akan hadirku di tempat ini. Rona merah di pipinya membuat wajah mulusnya terlihat semakin cantik dan anggun. Sangat cocok dengan Mas Bima yang gagah dan tampan, mereka memang pasangan yang sangat serasi."Mbak, maaf
Ibu telah berpulang dengan tenang, banyak sahabat dan kerabat beliau yang datang untuk sekedar mengucapkan belasungkawa. Juga dari sanak famili Mbak Lilik pun turut datang. Kekeluargaan disini hampir sama halnya di kampung. Bergotong royong saling membantu dalam hal apapun. Apalagi saat kesusahan seperti ini, tanpa meminta pun para warga sekitar akan berdatangan membantu atau sekedar duduk sejenak bersama yang lainnya.Acara tahlilan di gelar dalam tujuh hari ke depan, para tetangga saling membantu saat masih berkabung. Tak lupa aku kabari bapak yang berada di kampung, beliau pun ikut mengucapkan belasungkawa kepada aku dan Mas Bima. Rencana untuk selanjutnya, aku belum memikirkan. Kemungkinan untuk sementara waktu akan tinggal di sini dulu bersama Mas Bima dan Mbak Lilik. Sebab, biaya untuk kepulanganku ke kampung tidaklah sedikit. Aku harus mencari pekerjaan dahulu untuk mencukupi segala kebutuhan selama di sini. Tidak enak rasanya jika harus berpangku tangan dan meminta kepada k
Aku membantu Mbak Lilik bekerja berjualan pakaian di pasar. Setiap pagi pergi ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor berdua dengan kakak iparku itu. Kami bersama-sama bekerja berbarengan dalam memajukan usaha pribadinya.Membuatku menambah pengalaman baru, karena jiwa berdagang tidak pernah terlintas dalam benakku saat itu. Apalagi tentang modal yang begitu banyaknya, aku pun belum mampu untuk memulai. Disini bersama Mbak Lilik, banyak sekali ilmu tentang berdagang yang aku miliki meski secara instan. Mbak Lilik pun tak segan untuk berbagi ilmunya kepadaku, membuat semangat yang hampir redup kini semakin membara.Usaha yang di tekuni Mbak Lilik turun dari Ibu, sambil bercerita tentang masa lalunya. Pertama kali Mbak Lilik menjadi istri dari Mas Bima selalu diajak oleh ibu untuk membantunya berjualan pakaian di pasar. Sehingga setiap hari tangan lentik dari wanita cantik yang dinikahi Mas Bima selama hampir sepuluh tahun itu sudah lihai dalam menjajakan barang jualannya. Pelanggan
"Kita percaya sama kamu kok, Ran. Ratih sama Didik memang seperti itu. Semua orang sudah tahu sifat mereka, kamu jangan ambil pusing! Mana ada kamu menggoda lelaki sint*ng seperti dia," kata Mas Bima saat kami menikmati makan malam bersama. Mungkin Mbak Lilik sudah bercerita kejadian tadi sore, bagaimana sepasang suami istri itu tega berbicara kasar terhadapku. Aku yang tidak tahu menahu menjadi terdiam, seolah aku ini memang yang salah dan bukan korban. Kelemahanku adalah selalu diam tanpa bisa membalas perlakuan buruk orang lain. Membuat mereka berpikir aku memang pantas untuk dihina dan dicaci-maki sepuasnya. Meski banyak orang yang mengajariku untuk melawan, namun, apa daya jika aku tidak ada kekuatan untuk membalasnya."Dulu sekali, pas kita baru jadi pengantin baru juga mereka membuat ulah. Hingga kakak iparmu itu ngamuk-ngamuk nggak jelas!" ejek Mas Bima dengan tersipu. "Eh, enak saja kalau ngomong. Sudah ah, malu sama Rani!" elak Mbak Lilik dengan melirikku, pipinya merona
Hampir selama tiga hari dua malam aku dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dengan perjalanan darat. Menaiki kapal laut membuatku mual berulang kali hingga badan terasa lemas tak karuan. Perjalanan darat aku pilih karena untuk biaya jauh lebih murah daripada udara. Sedang tabungan yang rencananya akan aku jadikan modal usaha di kampung nanti masih utuh. Sebab, perjalananku masih panjang dan berliku membuatku harus pintar-pintar dalam mengaturnya. Siang hari aku sudah sampai di terminal kotaku, sejenak beristirahat melepaskan penat. Aku mencoba menghubungi Mita yang mana akan menjemput kepulanganku. Suasana kampung berubah drastis setelah aku tinggal kurang lebih tiga tahunan di pulau seberang. Jalanan semakin mulus dengan kanan kiri bangunan rumah yang semakin merapat antara satu dengan yang lainnya.Pasar yang dekat dengan tempat tinggalku pun semakin maju dan ramai, banyak kios-kios baru yang di bangun dengan rapi layaknya pertokoan di kota besar. Ketika Mita menghampiri, a
"Lho, kamu sudah pulang, Ran? Kirain mau tinggal lama-lama disana, saya turut berduka cita, ya. Semoga kamu bisa sabar dan kuat," kata Bu Endang saat kami sedang berpapasan hendak pergi ke acara arisan. "Bagaimana rasanya hidup disana? Enak?""Alhamdulillah, terima kasih, bu. Mau hidup di manapun sepertinya enak-enak saja kalau kita bisa membawa diri ke masyarakat, benar tidak, bu?" tanyaku balik yang dijawab anggukan oleh Bu Endang.Setiap hari Minggu diadakan arisan di rumah bu RT, para warga yang hendak ikut tidak di wajibkan, semua sukarela dan tidak ada paksaan. Sebenarnya ibu yabg ikut arisan, namun, saking sibuknya ibu membuat pesanan bolu untuk pelanggan jadinya akulah yang di minta untuk keluar membayarkannya. Sudah sekian lama aku tidak berjumpa dengan para tetangga, yang aku pikir mereka akan lebih maju cara berpikirnya. Lagi-lagi aku salah, justru mereka semakin menjadi dalam hal bergosip ria. Kasak-kusuk yang ku dengar, mereka membicarakan tentang kepulanganku yang ada
"Bu, bagaimana kalau kita membuat toko kue dan toko sayur di depan rumah, nanti masalah dana jangan di pikirkan. Biar, Rani yang bantu. Bapak sama ibu bantu doa saja, ya," ucapku saat melihat Bapak dan ibu sedang berdua di teras depan. Kedua orang tua di depanku saling melempar pandang, ada raut kebingungan di sana. "Dapat uang dari mana?" tanya Bapak."Aku ikut sama Mas Bima dahulu itu sambil kerja, jadi … ada tabungan sedikit, bisa kita manfaatkan untuk membuat toko meski kecil, bagaimana?" tanyaku lagi dengan memandangi mereka berdua. "Jangan khawatir tentang hutang-piutang itu, semua sudah lunas, alhamdulilah."Tak ku hiraukan rasa bingung di hati bapak dan juga Bu Fatimah, sekarang aku bisa bernafas dengan lega. Hutang yang menjadi beban dalam akhir-akhir ini, sudah pergi selamanya dari pundakku.Memang, kemarin aku pergi ke luar tidak mengatakan jujur kepada bapak dan Bu Fatimah, akan kemana. Hanya pamit kalau mau main ke tempat teman, namun, aku pergi kepada orang yang telah m