Aku membantu Mbak Lilik bekerja berjualan pakaian di pasar. Setiap pagi pergi ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor berdua dengan kakak iparku itu. Kami bersama-sama bekerja berbarengan dalam memajukan usaha pribadinya.Membuatku menambah pengalaman baru, karena jiwa berdagang tidak pernah terlintas dalam benakku saat itu. Apalagi tentang modal yang begitu banyaknya, aku pun belum mampu untuk memulai. Disini bersama Mbak Lilik, banyak sekali ilmu tentang berdagang yang aku miliki meski secara instan. Mbak Lilik pun tak segan untuk berbagi ilmunya kepadaku, membuat semangat yang hampir redup kini semakin membara.Usaha yang di tekuni Mbak Lilik turun dari Ibu, sambil bercerita tentang masa lalunya. Pertama kali Mbak Lilik menjadi istri dari Mas Bima selalu diajak oleh ibu untuk membantunya berjualan pakaian di pasar. Sehingga setiap hari tangan lentik dari wanita cantik yang dinikahi Mas Bima selama hampir sepuluh tahun itu sudah lihai dalam menjajakan barang jualannya. Pelanggan
"Kita percaya sama kamu kok, Ran. Ratih sama Didik memang seperti itu. Semua orang sudah tahu sifat mereka, kamu jangan ambil pusing! Mana ada kamu menggoda lelaki sint*ng seperti dia," kata Mas Bima saat kami menikmati makan malam bersama. Mungkin Mbak Lilik sudah bercerita kejadian tadi sore, bagaimana sepasang suami istri itu tega berbicara kasar terhadapku. Aku yang tidak tahu menahu menjadi terdiam, seolah aku ini memang yang salah dan bukan korban. Kelemahanku adalah selalu diam tanpa bisa membalas perlakuan buruk orang lain. Membuat mereka berpikir aku memang pantas untuk dihina dan dicaci-maki sepuasnya. Meski banyak orang yang mengajariku untuk melawan, namun, apa daya jika aku tidak ada kekuatan untuk membalasnya."Dulu sekali, pas kita baru jadi pengantin baru juga mereka membuat ulah. Hingga kakak iparmu itu ngamuk-ngamuk nggak jelas!" ejek Mas Bima dengan tersipu. "Eh, enak saja kalau ngomong. Sudah ah, malu sama Rani!" elak Mbak Lilik dengan melirikku, pipinya merona
Hampir selama tiga hari dua malam aku dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dengan perjalanan darat. Menaiki kapal laut membuatku mual berulang kali hingga badan terasa lemas tak karuan. Perjalanan darat aku pilih karena untuk biaya jauh lebih murah daripada udara. Sedang tabungan yang rencananya akan aku jadikan modal usaha di kampung nanti masih utuh. Sebab, perjalananku masih panjang dan berliku membuatku harus pintar-pintar dalam mengaturnya. Siang hari aku sudah sampai di terminal kotaku, sejenak beristirahat melepaskan penat. Aku mencoba menghubungi Mita yang mana akan menjemput kepulanganku. Suasana kampung berubah drastis setelah aku tinggal kurang lebih tiga tahunan di pulau seberang. Jalanan semakin mulus dengan kanan kiri bangunan rumah yang semakin merapat antara satu dengan yang lainnya.Pasar yang dekat dengan tempat tinggalku pun semakin maju dan ramai, banyak kios-kios baru yang di bangun dengan rapi layaknya pertokoan di kota besar. Ketika Mita menghampiri, a
"Lho, kamu sudah pulang, Ran? Kirain mau tinggal lama-lama disana, saya turut berduka cita, ya. Semoga kamu bisa sabar dan kuat," kata Bu Endang saat kami sedang berpapasan hendak pergi ke acara arisan. "Bagaimana rasanya hidup disana? Enak?""Alhamdulillah, terima kasih, bu. Mau hidup di manapun sepertinya enak-enak saja kalau kita bisa membawa diri ke masyarakat, benar tidak, bu?" tanyaku balik yang dijawab anggukan oleh Bu Endang.Setiap hari Minggu diadakan arisan di rumah bu RT, para warga yang hendak ikut tidak di wajibkan, semua sukarela dan tidak ada paksaan. Sebenarnya ibu yabg ikut arisan, namun, saking sibuknya ibu membuat pesanan bolu untuk pelanggan jadinya akulah yang di minta untuk keluar membayarkannya. Sudah sekian lama aku tidak berjumpa dengan para tetangga, yang aku pikir mereka akan lebih maju cara berpikirnya. Lagi-lagi aku salah, justru mereka semakin menjadi dalam hal bergosip ria. Kasak-kusuk yang ku dengar, mereka membicarakan tentang kepulanganku yang ada
"Bu, bagaimana kalau kita membuat toko kue dan toko sayur di depan rumah, nanti masalah dana jangan di pikirkan. Biar, Rani yang bantu. Bapak sama ibu bantu doa saja, ya," ucapku saat melihat Bapak dan ibu sedang berdua di teras depan. Kedua orang tua di depanku saling melempar pandang, ada raut kebingungan di sana. "Dapat uang dari mana?" tanya Bapak."Aku ikut sama Mas Bima dahulu itu sambil kerja, jadi … ada tabungan sedikit, bisa kita manfaatkan untuk membuat toko meski kecil, bagaimana?" tanyaku lagi dengan memandangi mereka berdua. "Jangan khawatir tentang hutang-piutang itu, semua sudah lunas, alhamdulilah."Tak ku hiraukan rasa bingung di hati bapak dan juga Bu Fatimah, sekarang aku bisa bernafas dengan lega. Hutang yang menjadi beban dalam akhir-akhir ini, sudah pergi selamanya dari pundakku.Memang, kemarin aku pergi ke luar tidak mengatakan jujur kepada bapak dan Bu Fatimah, akan kemana. Hanya pamit kalau mau main ke tempat teman, namun, aku pergi kepada orang yang telah m
"Lancar, Mbak Rani?" tanya Bu Endang dengan senyum ramahnya.Aku hanya mengangguk membalas pertanyaan tetanggaku yang satu itu. Saking banyaknya melayani pembeli yang saling minta dilayani, membuatku hanya menjawabnya dengan bahasa tubuh saja. Kebanyakan ungkapan dari para pembeli senang bisa belanja di warung sayurku ini, mereka terbantu dengan tidak terlalu menunggu lama para penjual sayur keliling yang datangnya memang siang hari. "Kamu belum dengar, Mbak Rani?" tanya Bu Endang lagi saat para pembeli telah pulang ke rumah masing-masing.Aku memicingkan mata, tidak tahu apa yang dimaksud oleh Bu Endang. Hendak bertanya lebih jelas namun, urung karena ada Yu Srinah yang datang dengan lari tergopoh-gopoh. Peluh membanjiri dahinya Yu Srinah, seketika aku memberikannya minuman supaya tenang."Suaminya Mirna, pu-pulang, Ran." Yu Srinah berbicara masih dengan terbata-bata. Mungkin karena saat datang kemari dia berlarian lalu membuat nafasnya tersengal-sengal. Dadanya naik turun mengikut
Sepulang dari rumah Mas Agus, aku mengurung diri di dalam kamar sampai malam. Hingga waktu makan malam terlewatkan meski perut terasa perih melilit. Semua aktivitas terasa tidak bersemangat sama sekali. Ibu dan Mita yang menyadari akan sikapku seketika mengetuk pintu yang memang aku kunci rapat untuk menyembunyikan luka yang menganga ini. Luka yang awalnya hanya bagaikan tersayat belati kini menjadi menganga bak robekan yang besar.Langkah sayu serasa tidak ada tenaga mulai menjalari tubuh lemahku. Mata sembab dengan hidung yang kembang kempis menahan ingus yang keluar sebab menangis membuatku buntu untuk menghirup udara segar malam ini. Tanpa kedip. Pandangan nanar dari Ibu serta Mita membuatku seolah mereka tengah menguliti tubuh yang penuh luka ini. "Kamu kenapa? Ada berita apa tentang suami kamu?" tanya Bu Fatimah lembut. "Mbak, kita keluarga. Ingat, 'kan apa kata bapak? Saling bantu, akur, saling menghormati dan saling menyayangi, itulah yang namanya saudara," ucap Mita mengu
Pagi ini aku belanja ke pasar sendirian tanpa Mita, dia sibuk membantu ibu menyelesaikan pesanan pelanggan untuk hajat pernikahan. Mengendarai sepeda motor di pagi buta membuatku menggigil kedinginan meski sudah memakai jaket.Saat barang diturunkan dari mobil para pemasok sayuran, aku mencoba mencari apa yang akan aku beli. Kegiatan seperti ini aku lakukan setiap hari, namun, dengan bantuan Mita. Maka akan terasa cepat untuk mendapatkan, karena kami membagi tugas. Sedang saat ini aku sedikit kepayahan karena harus mondar-mandir sendirian mencari bahan-bahan untuk dijual kembali nanti. Meski sudah aku catat dalam selembar kertas, namun, ada tempat yang aku tidak tahu. Sedikit mengulur waktu memang, karena harus bertanya pada yang lainnya."Lho, biasanya berdua, kok sekarang sendirian, Mbak?" tanya seseorang dengan melihat ke arah belakangku. "Adik lagi sibuk membuat kue pesanan, Pak. Mari!" jawabku hendak berlalu."Tunggu, rumah Mbak dimana? Kalau jauh, bisa hubungi nomor saya supay