"Lho, kamu sudah pulang, Ran? Kirain mau tinggal lama-lama disana, saya turut berduka cita, ya. Semoga kamu bisa sabar dan kuat," kata Bu Endang saat kami sedang berpapasan hendak pergi ke acara arisan. "Bagaimana rasanya hidup disana? Enak?""Alhamdulillah, terima kasih, bu. Mau hidup di manapun sepertinya enak-enak saja kalau kita bisa membawa diri ke masyarakat, benar tidak, bu?" tanyaku balik yang dijawab anggukan oleh Bu Endang.Setiap hari Minggu diadakan arisan di rumah bu RT, para warga yang hendak ikut tidak di wajibkan, semua sukarela dan tidak ada paksaan. Sebenarnya ibu yabg ikut arisan, namun, saking sibuknya ibu membuat pesanan bolu untuk pelanggan jadinya akulah yang di minta untuk keluar membayarkannya. Sudah sekian lama aku tidak berjumpa dengan para tetangga, yang aku pikir mereka akan lebih maju cara berpikirnya. Lagi-lagi aku salah, justru mereka semakin menjadi dalam hal bergosip ria. Kasak-kusuk yang ku dengar, mereka membicarakan tentang kepulanganku yang ada
"Bu, bagaimana kalau kita membuat toko kue dan toko sayur di depan rumah, nanti masalah dana jangan di pikirkan. Biar, Rani yang bantu. Bapak sama ibu bantu doa saja, ya," ucapku saat melihat Bapak dan ibu sedang berdua di teras depan. Kedua orang tua di depanku saling melempar pandang, ada raut kebingungan di sana. "Dapat uang dari mana?" tanya Bapak."Aku ikut sama Mas Bima dahulu itu sambil kerja, jadi … ada tabungan sedikit, bisa kita manfaatkan untuk membuat toko meski kecil, bagaimana?" tanyaku lagi dengan memandangi mereka berdua. "Jangan khawatir tentang hutang-piutang itu, semua sudah lunas, alhamdulilah."Tak ku hiraukan rasa bingung di hati bapak dan juga Bu Fatimah, sekarang aku bisa bernafas dengan lega. Hutang yang menjadi beban dalam akhir-akhir ini, sudah pergi selamanya dari pundakku.Memang, kemarin aku pergi ke luar tidak mengatakan jujur kepada bapak dan Bu Fatimah, akan kemana. Hanya pamit kalau mau main ke tempat teman, namun, aku pergi kepada orang yang telah m
"Lancar, Mbak Rani?" tanya Bu Endang dengan senyum ramahnya.Aku hanya mengangguk membalas pertanyaan tetanggaku yang satu itu. Saking banyaknya melayani pembeli yang saling minta dilayani, membuatku hanya menjawabnya dengan bahasa tubuh saja. Kebanyakan ungkapan dari para pembeli senang bisa belanja di warung sayurku ini, mereka terbantu dengan tidak terlalu menunggu lama para penjual sayur keliling yang datangnya memang siang hari. "Kamu belum dengar, Mbak Rani?" tanya Bu Endang lagi saat para pembeli telah pulang ke rumah masing-masing.Aku memicingkan mata, tidak tahu apa yang dimaksud oleh Bu Endang. Hendak bertanya lebih jelas namun, urung karena ada Yu Srinah yang datang dengan lari tergopoh-gopoh. Peluh membanjiri dahinya Yu Srinah, seketika aku memberikannya minuman supaya tenang."Suaminya Mirna, pu-pulang, Ran." Yu Srinah berbicara masih dengan terbata-bata. Mungkin karena saat datang kemari dia berlarian lalu membuat nafasnya tersengal-sengal. Dadanya naik turun mengikut
Sepulang dari rumah Mas Agus, aku mengurung diri di dalam kamar sampai malam. Hingga waktu makan malam terlewatkan meski perut terasa perih melilit. Semua aktivitas terasa tidak bersemangat sama sekali. Ibu dan Mita yang menyadari akan sikapku seketika mengetuk pintu yang memang aku kunci rapat untuk menyembunyikan luka yang menganga ini. Luka yang awalnya hanya bagaikan tersayat belati kini menjadi menganga bak robekan yang besar.Langkah sayu serasa tidak ada tenaga mulai menjalari tubuh lemahku. Mata sembab dengan hidung yang kembang kempis menahan ingus yang keluar sebab menangis membuatku buntu untuk menghirup udara segar malam ini. Tanpa kedip. Pandangan nanar dari Ibu serta Mita membuatku seolah mereka tengah menguliti tubuh yang penuh luka ini. "Kamu kenapa? Ada berita apa tentang suami kamu?" tanya Bu Fatimah lembut. "Mbak, kita keluarga. Ingat, 'kan apa kata bapak? Saling bantu, akur, saling menghormati dan saling menyayangi, itulah yang namanya saudara," ucap Mita mengu
Pagi ini aku belanja ke pasar sendirian tanpa Mita, dia sibuk membantu ibu menyelesaikan pesanan pelanggan untuk hajat pernikahan. Mengendarai sepeda motor di pagi buta membuatku menggigil kedinginan meski sudah memakai jaket.Saat barang diturunkan dari mobil para pemasok sayuran, aku mencoba mencari apa yang akan aku beli. Kegiatan seperti ini aku lakukan setiap hari, namun, dengan bantuan Mita. Maka akan terasa cepat untuk mendapatkan, karena kami membagi tugas. Sedang saat ini aku sedikit kepayahan karena harus mondar-mandir sendirian mencari bahan-bahan untuk dijual kembali nanti. Meski sudah aku catat dalam selembar kertas, namun, ada tempat yang aku tidak tahu. Sedikit mengulur waktu memang, karena harus bertanya pada yang lainnya."Lho, biasanya berdua, kok sekarang sendirian, Mbak?" tanya seseorang dengan melihat ke arah belakangku. "Adik lagi sibuk membuat kue pesanan, Pak. Mari!" jawabku hendak berlalu."Tunggu, rumah Mbak dimana? Kalau jauh, bisa hubungi nomor saya supay
"Apa yang bapak dengar itu benar, Ran?" tanya bapak dengan pandangan tajam."Tentang apa, Pak?" tanyaku balik. "Rendi yang menikah dengan Nabila.""Kurang tahu, Pak. Mungkin hanya kabar burung saja. Soalnya aku tidak mendengar sendiri dari, Mas Agus." Kuhela nafas panjang, tidak tahu harus menjawab apa, karena memang aku tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Takut nantinya akan menjadi fitnah jika ikut-ikutan menebar isu yang sedang hangat-hangatnya itu.Sejak berkunjung ke rumah Mas Agus saat itu, semenjak itu pula aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Untuk menanyakan berita yang beredar pun, rasanya aku enggan. Entah enggan untuk menerima kenyataan atau apa, akupun tidak tahu.Seandainya memang kenyataannya seperti itu mau bagaimana lagi? Toh, semua sudah terjadi. Saat ini waktunya merajut masa depan indah bukan lagi mengingat masa lalu yang tiada berarti. Mata bapak masih memandang tanpa kedip, entah apa yang dirasakan cinta pertamaku itu saat melihat jalan hidup yang aku temp
"Mbak …." Mita mengagetkanku hingga tersentak. Ponsel yang dari tadi berdering nyaring berkali-kali tak menyadarkanku dari lamunan. Aku terlalu larut dalam kenangan hingga tak menyadari akan kehadiran adik perempuanku itu. "Tolong, Mit, angkat teleponnya!" pintaku pada Mita yang memandangku dengan alis berkerut.Bergegas dia langsung mengangguk dan meraih ponsel yang terletak di dalam laci. Entah siapa yang menelepon, Mita seolah begitu dekat dan mengenalnya. Sesaat kukirik adikku itu yang tertawa sumringah sambil mengangguk-angguk. "Kenapa menangis?" tanyanya yang membuatku salah tingkah."Siapa juga yang menangis?" "Ih, kalau mau bohong, tuh, sama ibu-ibu yang datang kesini. Namun, kalau sama aku nggak akan bisa bohong."Mata Mita masih memandang lekat dan penuh selidik, meski berulang kali aku membuang muka untuk menghindari tatapan matanya yang menghujamku. Mita tetap saja enggan bergeming dan masih menatap seolah ingin aku berkata jujur. "Siapa tadi yang menelepon?" tanyaku m
Sejak kepulangan Nabila, Mbak Eni bahkan ibunya tidak pernah belanja di warung. Padahal aku sama sekali tidak pernah menyinggung ataupun bertanya tentangnya, justru aku berpura-pura tidak tahu-menahu akan hal tersebut. Begitupun ibu, bapak juga Mita, aku meminta kepada keluargaku untuk tidak menyinggung sama sekali akan apa yang tengah terjadi sebelum ada salah satu dari Nabila atau Mas Rendi yang menjelaskan semua ini.Pagi ini aku mendapati keponakan dari Nabila yang tak lain adalah anak dari Mbak Eni yang berbelanja di warung. Berbekal tulisan di secarik kertas, gadis kecil mungil berusia sekitar tujuh tahun membawa selembar uang dengan kertas berisikan bahan yang akan dibeli. Aku melayaninya seperti para pembeli lainnya, tidak membeda-bedakan. Saat semua sudah aku hitung dan hendak pulang, datanglah Mbak Putri untuk belanja. Melihat anak dari Mbak Eni itu, kedua alis Mbak Putri bertautan lalu melempar pandang ke arahku. Meski aku tahu akan rasa penasarannya, namun aku hanya mena