"Mbak …." Mita mengagetkanku hingga tersentak. Ponsel yang dari tadi berdering nyaring berkali-kali tak menyadarkanku dari lamunan. Aku terlalu larut dalam kenangan hingga tak menyadari akan kehadiran adik perempuanku itu. "Tolong, Mit, angkat teleponnya!" pintaku pada Mita yang memandangku dengan alis berkerut.Bergegas dia langsung mengangguk dan meraih ponsel yang terletak di dalam laci. Entah siapa yang menelepon, Mita seolah begitu dekat dan mengenalnya. Sesaat kukirik adikku itu yang tertawa sumringah sambil mengangguk-angguk. "Kenapa menangis?" tanyanya yang membuatku salah tingkah."Siapa juga yang menangis?" "Ih, kalau mau bohong, tuh, sama ibu-ibu yang datang kesini. Namun, kalau sama aku nggak akan bisa bohong."Mata Mita masih memandang lekat dan penuh selidik, meski berulang kali aku membuang muka untuk menghindari tatapan matanya yang menghujamku. Mita tetap saja enggan bergeming dan masih menatap seolah ingin aku berkata jujur. "Siapa tadi yang menelepon?" tanyaku m
Sejak kepulangan Nabila, Mbak Eni bahkan ibunya tidak pernah belanja di warung. Padahal aku sama sekali tidak pernah menyinggung ataupun bertanya tentangnya, justru aku berpura-pura tidak tahu-menahu akan hal tersebut. Begitupun ibu, bapak juga Mita, aku meminta kepada keluargaku untuk tidak menyinggung sama sekali akan apa yang tengah terjadi sebelum ada salah satu dari Nabila atau Mas Rendi yang menjelaskan semua ini.Pagi ini aku mendapati keponakan dari Nabila yang tak lain adalah anak dari Mbak Eni yang berbelanja di warung. Berbekal tulisan di secarik kertas, gadis kecil mungil berusia sekitar tujuh tahun membawa selembar uang dengan kertas berisikan bahan yang akan dibeli. Aku melayaninya seperti para pembeli lainnya, tidak membeda-bedakan. Saat semua sudah aku hitung dan hendak pulang, datanglah Mbak Putri untuk belanja. Melihat anak dari Mbak Eni itu, kedua alis Mbak Putri bertautan lalu melempar pandang ke arahku. Meski aku tahu akan rasa penasarannya, namun aku hanya mena
Saat kami semua menikmati malam dengan berkumpul bersama di depan televisi, ada suara ketukan di pintu yang mengagetkan karena malam telah beranjak larut ada tamu yang tengah mengetuk dengan tergesa-gesa. Sebelum membuka pintu, kami saling berpandangan satu sama yang lain. Bergegas, Mita menuju pintu dan membuka setelah sebelumnya dia melihat dari jendela siapa yang bertamu saat malam tiba. Sekilas Mita memandangku dengan membuka mulut seperti memberikan kode yang aku tidak tahu apa artinya. Pintu dibuka, wajah yang manis disertai senyum simpul merekah di bibir mungil dari tamu yang membuat kami semua sedikit terperanjat. Seseorang yang dikabarkan menjadi belahan hati dari Mas Rendi itu menjadi tamu keagungan kami. Langkah kakinya yang jenjang menuju kursi yang mana kami menyuruhnya masuk. Meski senyumannya bertambah getir saat menjejakkan ruang tamu, namun, ada sesuatu yang menjadikan hati semakin bertanya-tanya tentang kedatangan Nabila ini. "Mbak … Pak, bu," sapa Nabila dengan
Pagi ini udaranya begitu sejuk, membuatku mengucapkan syukur berkali-kali terhadap Tuhan sang pencipta yang masih memberikanku nafas hingga saat ini untuk menikmati indahnya alam yang begitu asri. Rezeki yang lancar serta keluarga yang hangat dan bahagia. Bapak tengah menikmati sarapannya di teras depan, rebusan singkong dan segelas kopi membuatnya enggan beranjak dari kursi kesayangan. Sehingga Bu Fatimah pun ikutan duduk manis, menemani sang pujaan hati menikmati hari-harinya. Saat Yoga hadir di keluarga kami, bapak sudah tidak bekerja lagi. Selain aku yang memintanya berhenti, Yoga pun mengharapkan Bapak menikmati masa tuanya di rumah saja. Sungguh Yoga adalah menantu yang memang pantas untuk dijadikan pemimpin, semoga kelak rumah tangga Mita akan selamanya langgeng dan bahagia. Masih terduduk sepi menunggu para pembeli datang, aku menikmati sarapan pagi dengan mendengarkan sebuah radio yang selalu setia saat aku sedang di warung menunggu para ibu-ibu yang hendak belanja sayur.
"Bapak sudah tahu semuanya dari Pak RT yang waktu itu memberi tahu kalau Bapaknya Rendi datang kesana menengok Bapaknya Nabila, berawal dari situ Bapak berpikir kalau keluarga Rendi memang tahu semuanya, Ran. Sungguh Bapak kecewa, seperti di permalukan saja harga diri ini." Bapak mendesah pelan dengan mata menatap langit-langit rumah. Malam yang seharusnya menjadi suatu momen dimana kami saling bercengkrama dan bergurau malah berbanding terbalik. Menjadi malam yang begitu sunyi dan sepi, bahkan candaan yang keluar dari mulut Mita tak terdengar semenjak Bapak mertua dan Mbak Indah datang kemarin."Ran, ibu bukannya mau ikut campur urusan kamu, nak. Namun, alangkah lebih baik sudahi saja semuanya. Sakit hati Ibu, Ran, melihat kamu diperlakukan seperti ini. Akan tetapi, jika kamu memang masih mengharapkan semua akan baik-baik saja, Ibu sudah nggak mau menenangkan kamu lagi. Capek. Lelah"Dadaku sesak mendengar Bu Fatimah mengeluh, ada guratan kekecewaan dalam wajah sepuhnya. Bahkan air
"Ngomong yang jelas, Mbak Putri!" Bu Lilis mengelus lembut punggung Mbak Putri."Dia main ke rumah Nabila," jawab Mbak Putri dengan nafas masih terengah-engah. Keringat membanjiri pelipis Mbak Putri, wajahnya pun memerah. "Siapa yang main ke rumahnya Nabila? Yang jelas kalau ngomong Mbak Putri!" Ibu Fatimah akhirnya bersuara saat Mbak Putri sudah tenang. "Rendi, Bu, Rendi datang ke rumahnya Nabila."Mendadak dunia seketika runtuh dan berhenti saat suara Mbak Putri keluar dari mulutnya. Sedang aku lihat dari ekor mataku, Bu Fatimah dan Bu Lilis saling pandang. Kuhela nafas lembut, selembut sutra yang tengah dibelai oleh pemiliknya. Selembut kapas yang terbang terbawa angin dan mengelilingi angkasa yang cerah akan suasananya. Senyum yang aku sembunyikan akhirnya muncul tanpa beban lagi. Lepas. "Mbak Rani?" panggil Bu Lilis dengan suara yang sedikit melemah."Nggak apa-apa, Bu. Mereka, 'kan sudah ada hubungan, jadi apa salahnya kalau Mas Rendi pulang ke sana. Oh, ya, Bu Lilis mau bel
Setelah semua proses perpisahan dengan Mas Rendi, aku menjadi lebih tenang dalam menjalani hidup. Usahaku pun semakin maju dan lancar. Kami sekeluarga semakin bahagia tanpa ada lagi beban-beban yang mengganjal.Meski hutang-hutang yang ditinggal Mas Rendi untukku belum dibayar sepeserpun, tapi, aku berusaha diam saja tanpa menagihnya lagi, karena aku tetap mengharapkan semua akan selesai dengan baik. Apalagi saat aku dengar kalau Nabila sedang mengandung buah cinta mereka, semoga kebahagiaan pun datang kepada pasangan itu. Berita-berita dari para ibu-ibu yang datang berbelanja di warung membuatku tahu akan segalanya meski aku tidak menanggapi jika ada yang bersuara di depanku. Hari ini setelah hampir tiga bulan lamanya aku hidup sendiri dalam arti menyandang status baru. Kebahagiaan justru datang bertubi-tubi, hingga membuatku selalu mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga. Mita yang tengah hamil lalu rencanaku yang ingin menaikkan haji Ibu Fatimah dan Bapak akhirnya tercapai. Me
Sekian waktu telah berlalu, Mita akhirnya melahirkan bayi mungil nan cantik. Sahira namanya, kami semua begitu merasakan kebahagiaan yang mendalam. Bapak sangat mencintai cucunya itu, bahkan air mata Bu Fatimah selalu mengalir saat melihat bayi mungil yang berada dalam gendonganku. "Ibu teringat, Safia," ujarnya dengan mata sembab. "Bu, Safia telah berada di surga, kita doakan bersama saja, ya," hiburku meski hati kecil merasakan hal yang sama.Kebohongan kecil aku ciptakan sendiri, luka ini terasa masih saja basah meskipun tahun mulai berganti. Wajah mungil yang namanya setiap aku berdoa selalu tersematkan itu kini tiba-tiba melintasi lagi. Senyumnya, tangisannya serta rengekan yang selalu menghiasi rumah ini kala itu.Tangis bayi yang setiap hendak menyusu itu membuat suatu keindahan yang tercipta di dalam keluarga kami. Bahkan Bapak tak jarang ikut begadang demi cucu tercintanya. Kami semua menghujaninya dengan penuh kasih sayang yang tiada tara. Seperti saat pertama kali Safia