Sepulang dari rumah Mas Agus, aku mengurung diri di dalam kamar sampai malam. Hingga waktu makan malam terlewatkan meski perut terasa perih melilit. Semua aktivitas terasa tidak bersemangat sama sekali. Ibu dan Mita yang menyadari akan sikapku seketika mengetuk pintu yang memang aku kunci rapat untuk menyembunyikan luka yang menganga ini. Luka yang awalnya hanya bagaikan tersayat belati kini menjadi menganga bak robekan yang besar.Langkah sayu serasa tidak ada tenaga mulai menjalari tubuh lemahku. Mata sembab dengan hidung yang kembang kempis menahan ingus yang keluar sebab menangis membuatku buntu untuk menghirup udara segar malam ini. Tanpa kedip. Pandangan nanar dari Ibu serta Mita membuatku seolah mereka tengah menguliti tubuh yang penuh luka ini. "Kamu kenapa? Ada berita apa tentang suami kamu?" tanya Bu Fatimah lembut. "Mbak, kita keluarga. Ingat, 'kan apa kata bapak? Saling bantu, akur, saling menghormati dan saling menyayangi, itulah yang namanya saudara," ucap Mita mengu
Pagi ini aku belanja ke pasar sendirian tanpa Mita, dia sibuk membantu ibu menyelesaikan pesanan pelanggan untuk hajat pernikahan. Mengendarai sepeda motor di pagi buta membuatku menggigil kedinginan meski sudah memakai jaket.Saat barang diturunkan dari mobil para pemasok sayuran, aku mencoba mencari apa yang akan aku beli. Kegiatan seperti ini aku lakukan setiap hari, namun, dengan bantuan Mita. Maka akan terasa cepat untuk mendapatkan, karena kami membagi tugas. Sedang saat ini aku sedikit kepayahan karena harus mondar-mandir sendirian mencari bahan-bahan untuk dijual kembali nanti. Meski sudah aku catat dalam selembar kertas, namun, ada tempat yang aku tidak tahu. Sedikit mengulur waktu memang, karena harus bertanya pada yang lainnya."Lho, biasanya berdua, kok sekarang sendirian, Mbak?" tanya seseorang dengan melihat ke arah belakangku. "Adik lagi sibuk membuat kue pesanan, Pak. Mari!" jawabku hendak berlalu."Tunggu, rumah Mbak dimana? Kalau jauh, bisa hubungi nomor saya supay
"Apa yang bapak dengar itu benar, Ran?" tanya bapak dengan pandangan tajam."Tentang apa, Pak?" tanyaku balik. "Rendi yang menikah dengan Nabila.""Kurang tahu, Pak. Mungkin hanya kabar burung saja. Soalnya aku tidak mendengar sendiri dari, Mas Agus." Kuhela nafas panjang, tidak tahu harus menjawab apa, karena memang aku tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Takut nantinya akan menjadi fitnah jika ikut-ikutan menebar isu yang sedang hangat-hangatnya itu.Sejak berkunjung ke rumah Mas Agus saat itu, semenjak itu pula aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Untuk menanyakan berita yang beredar pun, rasanya aku enggan. Entah enggan untuk menerima kenyataan atau apa, akupun tidak tahu.Seandainya memang kenyataannya seperti itu mau bagaimana lagi? Toh, semua sudah terjadi. Saat ini waktunya merajut masa depan indah bukan lagi mengingat masa lalu yang tiada berarti. Mata bapak masih memandang tanpa kedip, entah apa yang dirasakan cinta pertamaku itu saat melihat jalan hidup yang aku temp
"Mbak …." Mita mengagetkanku hingga tersentak. Ponsel yang dari tadi berdering nyaring berkali-kali tak menyadarkanku dari lamunan. Aku terlalu larut dalam kenangan hingga tak menyadari akan kehadiran adik perempuanku itu. "Tolong, Mit, angkat teleponnya!" pintaku pada Mita yang memandangku dengan alis berkerut.Bergegas dia langsung mengangguk dan meraih ponsel yang terletak di dalam laci. Entah siapa yang menelepon, Mita seolah begitu dekat dan mengenalnya. Sesaat kukirik adikku itu yang tertawa sumringah sambil mengangguk-angguk. "Kenapa menangis?" tanyanya yang membuatku salah tingkah."Siapa juga yang menangis?" "Ih, kalau mau bohong, tuh, sama ibu-ibu yang datang kesini. Namun, kalau sama aku nggak akan bisa bohong."Mata Mita masih memandang lekat dan penuh selidik, meski berulang kali aku membuang muka untuk menghindari tatapan matanya yang menghujamku. Mita tetap saja enggan bergeming dan masih menatap seolah ingin aku berkata jujur. "Siapa tadi yang menelepon?" tanyaku m
Sejak kepulangan Nabila, Mbak Eni bahkan ibunya tidak pernah belanja di warung. Padahal aku sama sekali tidak pernah menyinggung ataupun bertanya tentangnya, justru aku berpura-pura tidak tahu-menahu akan hal tersebut. Begitupun ibu, bapak juga Mita, aku meminta kepada keluargaku untuk tidak menyinggung sama sekali akan apa yang tengah terjadi sebelum ada salah satu dari Nabila atau Mas Rendi yang menjelaskan semua ini.Pagi ini aku mendapati keponakan dari Nabila yang tak lain adalah anak dari Mbak Eni yang berbelanja di warung. Berbekal tulisan di secarik kertas, gadis kecil mungil berusia sekitar tujuh tahun membawa selembar uang dengan kertas berisikan bahan yang akan dibeli. Aku melayaninya seperti para pembeli lainnya, tidak membeda-bedakan. Saat semua sudah aku hitung dan hendak pulang, datanglah Mbak Putri untuk belanja. Melihat anak dari Mbak Eni itu, kedua alis Mbak Putri bertautan lalu melempar pandang ke arahku. Meski aku tahu akan rasa penasarannya, namun aku hanya mena
Saat kami semua menikmati malam dengan berkumpul bersama di depan televisi, ada suara ketukan di pintu yang mengagetkan karena malam telah beranjak larut ada tamu yang tengah mengetuk dengan tergesa-gesa. Sebelum membuka pintu, kami saling berpandangan satu sama yang lain. Bergegas, Mita menuju pintu dan membuka setelah sebelumnya dia melihat dari jendela siapa yang bertamu saat malam tiba. Sekilas Mita memandangku dengan membuka mulut seperti memberikan kode yang aku tidak tahu apa artinya. Pintu dibuka, wajah yang manis disertai senyum simpul merekah di bibir mungil dari tamu yang membuat kami semua sedikit terperanjat. Seseorang yang dikabarkan menjadi belahan hati dari Mas Rendi itu menjadi tamu keagungan kami. Langkah kakinya yang jenjang menuju kursi yang mana kami menyuruhnya masuk. Meski senyumannya bertambah getir saat menjejakkan ruang tamu, namun, ada sesuatu yang menjadikan hati semakin bertanya-tanya tentang kedatangan Nabila ini. "Mbak … Pak, bu," sapa Nabila dengan
Pagi ini udaranya begitu sejuk, membuatku mengucapkan syukur berkali-kali terhadap Tuhan sang pencipta yang masih memberikanku nafas hingga saat ini untuk menikmati indahnya alam yang begitu asri. Rezeki yang lancar serta keluarga yang hangat dan bahagia. Bapak tengah menikmati sarapannya di teras depan, rebusan singkong dan segelas kopi membuatnya enggan beranjak dari kursi kesayangan. Sehingga Bu Fatimah pun ikutan duduk manis, menemani sang pujaan hati menikmati hari-harinya. Saat Yoga hadir di keluarga kami, bapak sudah tidak bekerja lagi. Selain aku yang memintanya berhenti, Yoga pun mengharapkan Bapak menikmati masa tuanya di rumah saja. Sungguh Yoga adalah menantu yang memang pantas untuk dijadikan pemimpin, semoga kelak rumah tangga Mita akan selamanya langgeng dan bahagia. Masih terduduk sepi menunggu para pembeli datang, aku menikmati sarapan pagi dengan mendengarkan sebuah radio yang selalu setia saat aku sedang di warung menunggu para ibu-ibu yang hendak belanja sayur.
"Bapak sudah tahu semuanya dari Pak RT yang waktu itu memberi tahu kalau Bapaknya Rendi datang kesana menengok Bapaknya Nabila, berawal dari situ Bapak berpikir kalau keluarga Rendi memang tahu semuanya, Ran. Sungguh Bapak kecewa, seperti di permalukan saja harga diri ini." Bapak mendesah pelan dengan mata menatap langit-langit rumah. Malam yang seharusnya menjadi suatu momen dimana kami saling bercengkrama dan bergurau malah berbanding terbalik. Menjadi malam yang begitu sunyi dan sepi, bahkan candaan yang keluar dari mulut Mita tak terdengar semenjak Bapak mertua dan Mbak Indah datang kemarin."Ran, ibu bukannya mau ikut campur urusan kamu, nak. Namun, alangkah lebih baik sudahi saja semuanya. Sakit hati Ibu, Ran, melihat kamu diperlakukan seperti ini. Akan tetapi, jika kamu memang masih mengharapkan semua akan baik-baik saja, Ibu sudah nggak mau menenangkan kamu lagi. Capek. Lelah"Dadaku sesak mendengar Bu Fatimah mengeluh, ada guratan kekecewaan dalam wajah sepuhnya. Bahkan air