"Mas, aku rasa ibu dan Mbak Lilik sedang ada kesalahpahaman, maaf kalau saya lancang, bagaimana kalau …" ucapku saat melihat Mas Bima tengah bersantai di teras depan. "Jangan sok tahu kamu, baru juga dua hari di sini sudah bisa menilai orang lain nggak bener." Mataku membulat sempurna mendengar jawaban dari mulut Mas Bima. Mas Bima tidak selembut yang aku pikirkan, waktu pertama kali dia begitu seperti seorang kakak yang penyayang, cara bicaranya saat membujukku untuk segera ikut dengannya ke rumah ini begitu lembut. Akan tetapi, saat aku telah hidup di tengah-tengah keluarga ini, justru sikap yang acuh aku dapatkan. "Bukannya aku ingin mengadu, Mas ….""Sudahlah, Ran. Jangan suka berpikir buruk akan orang lain yang belum kamu kenal sebelumnya. Buang pikiran buruk kamu untuk hidup berdampingan dengan orang lain, jangan nilai Lilik akan seperti tetangga-tetangga kamu di kampung sana!" ucap Mas Bima dengan memainkan ponselnya. Berkali-kali ku sibakkan rambutku kebelakang telinga, mu
"Mas, Mas Bima!" teriakku kencang. Ibu tergolek lemas di atas kasur sendirian dengan gelas yang pecah di lantai. Semua obat-obatan tercecer entah berantah tanpa kutahu sebabnya. Mataku membulat sempurna tatkala melihat ibu yang hampir saja jatuh dari kasur.Bi Inah dan Mas Bima tergopoh-gopoh berlarian mendekati kamar ibu yang mana aku mendapatinya dalam keadaan tidak sadar diri. Air mataku seketika luruh melihat keadaan ini."Ada apa? Ibu?" Mas Bima berteriak saat melihat ibu yang terkulai lemas tak berdaya. Lalu dengan sigap, Mas Bima membawa ibu keluar dan memasukkannya dalam mobil. Aku dan Bi Inah memangku ibu untuk menuju ke rumah sakit mencari pertolongan. Dalam hati, aku berharap ibu segera sadar dan sehat Kembali. Air mata mengalir di pipi saat kulihat wajah ibu terlihat pucat dengan bibir kering. Nafasnya naik turun seakan berat untuk dihirupnya udara yang singgah di rongga-rongga dadanya. Telapak tangan dan kaki terasa dingin, membuatku terus mengusap-usapnya supaya teras
"Hari ini aku menggantikan posisi Mas Bima menjaga ibu, kamu bisa pulang sana!" ujar Mbak Lilik dengan intonasi ketus saat melihatku masih mengelus-elus lengan ibu yang masih tertidur pulas.Sebuah senyuman tersungging manis di bibirku saat suara pelan namun, terdengar tegas. Mbak Lilik membuang muka saat aku menoleh melihatnya yang masih dalam posisi berdiri di samping ranjang ibu. "Mbak, aku ingin bicara, boleh?" tanyaku hati-hati. Yang aku tahu saat ini Mbak Lilik sedang dalam masa trauma karena masa lalunya yang begitu pahit karena saudaranya yang telah menyakiti hati kecilnya. Dengan langkah panjang, bobot tubuh kakak iparku itu didaratkan di atas kursi yang tersedia di ruangan ini. Tanpa pikir panjang aku pun gegas mendekatinya yang masih memasang wajah tidak suka akan hadirku di tempat ini. Rona merah di pipinya membuat wajah mulusnya terlihat semakin cantik dan anggun. Sangat cocok dengan Mas Bima yang gagah dan tampan, mereka memang pasangan yang sangat serasi."Mbak, maaf
Ibu telah berpulang dengan tenang, banyak sahabat dan kerabat beliau yang datang untuk sekedar mengucapkan belasungkawa. Juga dari sanak famili Mbak Lilik pun turut datang. Kekeluargaan disini hampir sama halnya di kampung. Bergotong royong saling membantu dalam hal apapun. Apalagi saat kesusahan seperti ini, tanpa meminta pun para warga sekitar akan berdatangan membantu atau sekedar duduk sejenak bersama yang lainnya.Acara tahlilan di gelar dalam tujuh hari ke depan, para tetangga saling membantu saat masih berkabung. Tak lupa aku kabari bapak yang berada di kampung, beliau pun ikut mengucapkan belasungkawa kepada aku dan Mas Bima. Rencana untuk selanjutnya, aku belum memikirkan. Kemungkinan untuk sementara waktu akan tinggal di sini dulu bersama Mas Bima dan Mbak Lilik. Sebab, biaya untuk kepulanganku ke kampung tidaklah sedikit. Aku harus mencari pekerjaan dahulu untuk mencukupi segala kebutuhan selama di sini. Tidak enak rasanya jika harus berpangku tangan dan meminta kepada k
Aku membantu Mbak Lilik bekerja berjualan pakaian di pasar. Setiap pagi pergi ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor berdua dengan kakak iparku itu. Kami bersama-sama bekerja berbarengan dalam memajukan usaha pribadinya.Membuatku menambah pengalaman baru, karena jiwa berdagang tidak pernah terlintas dalam benakku saat itu. Apalagi tentang modal yang begitu banyaknya, aku pun belum mampu untuk memulai. Disini bersama Mbak Lilik, banyak sekali ilmu tentang berdagang yang aku miliki meski secara instan. Mbak Lilik pun tak segan untuk berbagi ilmunya kepadaku, membuat semangat yang hampir redup kini semakin membara.Usaha yang di tekuni Mbak Lilik turun dari Ibu, sambil bercerita tentang masa lalunya. Pertama kali Mbak Lilik menjadi istri dari Mas Bima selalu diajak oleh ibu untuk membantunya berjualan pakaian di pasar. Sehingga setiap hari tangan lentik dari wanita cantik yang dinikahi Mas Bima selama hampir sepuluh tahun itu sudah lihai dalam menjajakan barang jualannya. Pelanggan
"Kita percaya sama kamu kok, Ran. Ratih sama Didik memang seperti itu. Semua orang sudah tahu sifat mereka, kamu jangan ambil pusing! Mana ada kamu menggoda lelaki sint*ng seperti dia," kata Mas Bima saat kami menikmati makan malam bersama. Mungkin Mbak Lilik sudah bercerita kejadian tadi sore, bagaimana sepasang suami istri itu tega berbicara kasar terhadapku. Aku yang tidak tahu menahu menjadi terdiam, seolah aku ini memang yang salah dan bukan korban. Kelemahanku adalah selalu diam tanpa bisa membalas perlakuan buruk orang lain. Membuat mereka berpikir aku memang pantas untuk dihina dan dicaci-maki sepuasnya. Meski banyak orang yang mengajariku untuk melawan, namun, apa daya jika aku tidak ada kekuatan untuk membalasnya."Dulu sekali, pas kita baru jadi pengantin baru juga mereka membuat ulah. Hingga kakak iparmu itu ngamuk-ngamuk nggak jelas!" ejek Mas Bima dengan tersipu. "Eh, enak saja kalau ngomong. Sudah ah, malu sama Rani!" elak Mbak Lilik dengan melirikku, pipinya merona
Hampir selama tiga hari dua malam aku dalam perjalanan pulang ke kampung halaman dengan perjalanan darat. Menaiki kapal laut membuatku mual berulang kali hingga badan terasa lemas tak karuan. Perjalanan darat aku pilih karena untuk biaya jauh lebih murah daripada udara. Sedang tabungan yang rencananya akan aku jadikan modal usaha di kampung nanti masih utuh. Sebab, perjalananku masih panjang dan berliku membuatku harus pintar-pintar dalam mengaturnya. Siang hari aku sudah sampai di terminal kotaku, sejenak beristirahat melepaskan penat. Aku mencoba menghubungi Mita yang mana akan menjemput kepulanganku. Suasana kampung berubah drastis setelah aku tinggal kurang lebih tiga tahunan di pulau seberang. Jalanan semakin mulus dengan kanan kiri bangunan rumah yang semakin merapat antara satu dengan yang lainnya.Pasar yang dekat dengan tempat tinggalku pun semakin maju dan ramai, banyak kios-kios baru yang di bangun dengan rapi layaknya pertokoan di kota besar. Ketika Mita menghampiri, a
"Lho, kamu sudah pulang, Ran? Kirain mau tinggal lama-lama disana, saya turut berduka cita, ya. Semoga kamu bisa sabar dan kuat," kata Bu Endang saat kami sedang berpapasan hendak pergi ke acara arisan. "Bagaimana rasanya hidup disana? Enak?""Alhamdulillah, terima kasih, bu. Mau hidup di manapun sepertinya enak-enak saja kalau kita bisa membawa diri ke masyarakat, benar tidak, bu?" tanyaku balik yang dijawab anggukan oleh Bu Endang.Setiap hari Minggu diadakan arisan di rumah bu RT, para warga yang hendak ikut tidak di wajibkan, semua sukarela dan tidak ada paksaan. Sebenarnya ibu yabg ikut arisan, namun, saking sibuknya ibu membuat pesanan bolu untuk pelanggan jadinya akulah yang di minta untuk keluar membayarkannya. Sudah sekian lama aku tidak berjumpa dengan para tetangga, yang aku pikir mereka akan lebih maju cara berpikirnya. Lagi-lagi aku salah, justru mereka semakin menjadi dalam hal bergosip ria. Kasak-kusuk yang ku dengar, mereka membicarakan tentang kepulanganku yang ada
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak