Sepekan setelah kehilangan Safia untuk selamanya, aku enggan bergerak kemanapun. Bekerja pun aku sudah tidak ada gairah dan semangat. Meski bapak dan semua keluarga yang datang selalu menghiburku dengan kalimat-kalimat yang semuanya terdengar sama, menghiburku."Kamu harus melanjutkan hidupmu, Ran. Biar Safia bahagia dan tenang di sana. Jangan bersedih lagi, kamu juga harus kerja dan kembali lagi seperti sedia kala!" Tak ku hiraukan suara bapak yang setiap kali melihatku terdiam dalam bisu sendirian di kamar. Berkali-kali bapak memberikanku nasehat-nasehat supaya aku tegar, namun, aku sama sekali tidak bergeming. Aku masih belum ikhlas kehilangan Safia dari hidupku. Aku juga masih merasa kalau dia ada disini menemaniku setiap detik. Aroma khas tubuhnya Safia saat aku mandikan lalu ku taburi bedak, minyak sebagai penghangat tubuhnya ketika cuaca sedang berganti dingin.Celotehannya yang membuat seisi rumah saling melempar canda yang berakhir jeritan marah yang membuat pipinya memerah
Setelah melewati perjalanan yang panjang menuju pulau seberang, aku dan Mas Bima akhirnya bisa sampai di tujuan dengan selamat. Ibu yang memang dalam keadaan sakit keras hanya bisa tergolek lemas di atas ranjangnya. Ku tatap wajah ayu itu dengan seksama, sebab, saat perpisahan itu aku masih kecil dan tidak begitu paham akan wajahnya. Ada gurat-gurat kelelahan saat ku lihat dadanya yang naik turun.Rumah dengan keadaan yang sangat bersih dan besar menyambut kedatanganku dengan perasaan takjub. Keadaan ekonomi ibu dengan ayah berbeda jauh, namun, aku berusaha tidak membeda-bedakannya di depan Mas Bima. Selama Mas Bima menginap di rumah bapak dari raut wajahnya tidak menampakkan senang atau leluasa. Dia seperti enggan berlama-lama untuk tinggal. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu sensitif untuk saat ini. "Ibu turut berduka cita, ya, Ran. Atas musibah yang telah menimpamu. Yang sabar dan kuat, kamu pasti bisa menghadapi segala cobaan ini," ucap ibu dengan mengelus len
"Mas, aku rasa ibu dan Mbak Lilik sedang ada kesalahpahaman, maaf kalau saya lancang, bagaimana kalau …" ucapku saat melihat Mas Bima tengah bersantai di teras depan. "Jangan sok tahu kamu, baru juga dua hari di sini sudah bisa menilai orang lain nggak bener." Mataku membulat sempurna mendengar jawaban dari mulut Mas Bima. Mas Bima tidak selembut yang aku pikirkan, waktu pertama kali dia begitu seperti seorang kakak yang penyayang, cara bicaranya saat membujukku untuk segera ikut dengannya ke rumah ini begitu lembut. Akan tetapi, saat aku telah hidup di tengah-tengah keluarga ini, justru sikap yang acuh aku dapatkan. "Bukannya aku ingin mengadu, Mas ….""Sudahlah, Ran. Jangan suka berpikir buruk akan orang lain yang belum kamu kenal sebelumnya. Buang pikiran buruk kamu untuk hidup berdampingan dengan orang lain, jangan nilai Lilik akan seperti tetangga-tetangga kamu di kampung sana!" ucap Mas Bima dengan memainkan ponselnya. Berkali-kali ku sibakkan rambutku kebelakang telinga, mu
"Mas, Mas Bima!" teriakku kencang. Ibu tergolek lemas di atas kasur sendirian dengan gelas yang pecah di lantai. Semua obat-obatan tercecer entah berantah tanpa kutahu sebabnya. Mataku membulat sempurna tatkala melihat ibu yang hampir saja jatuh dari kasur.Bi Inah dan Mas Bima tergopoh-gopoh berlarian mendekati kamar ibu yang mana aku mendapatinya dalam keadaan tidak sadar diri. Air mataku seketika luruh melihat keadaan ini."Ada apa? Ibu?" Mas Bima berteriak saat melihat ibu yang terkulai lemas tak berdaya. Lalu dengan sigap, Mas Bima membawa ibu keluar dan memasukkannya dalam mobil. Aku dan Bi Inah memangku ibu untuk menuju ke rumah sakit mencari pertolongan. Dalam hati, aku berharap ibu segera sadar dan sehat Kembali. Air mata mengalir di pipi saat kulihat wajah ibu terlihat pucat dengan bibir kering. Nafasnya naik turun seakan berat untuk dihirupnya udara yang singgah di rongga-rongga dadanya. Telapak tangan dan kaki terasa dingin, membuatku terus mengusap-usapnya supaya teras
"Hari ini aku menggantikan posisi Mas Bima menjaga ibu, kamu bisa pulang sana!" ujar Mbak Lilik dengan intonasi ketus saat melihatku masih mengelus-elus lengan ibu yang masih tertidur pulas.Sebuah senyuman tersungging manis di bibirku saat suara pelan namun, terdengar tegas. Mbak Lilik membuang muka saat aku menoleh melihatnya yang masih dalam posisi berdiri di samping ranjang ibu. "Mbak, aku ingin bicara, boleh?" tanyaku hati-hati. Yang aku tahu saat ini Mbak Lilik sedang dalam masa trauma karena masa lalunya yang begitu pahit karena saudaranya yang telah menyakiti hati kecilnya. Dengan langkah panjang, bobot tubuh kakak iparku itu didaratkan di atas kursi yang tersedia di ruangan ini. Tanpa pikir panjang aku pun gegas mendekatinya yang masih memasang wajah tidak suka akan hadirku di tempat ini. Rona merah di pipinya membuat wajah mulusnya terlihat semakin cantik dan anggun. Sangat cocok dengan Mas Bima yang gagah dan tampan, mereka memang pasangan yang sangat serasi."Mbak, maaf
Ibu telah berpulang dengan tenang, banyak sahabat dan kerabat beliau yang datang untuk sekedar mengucapkan belasungkawa. Juga dari sanak famili Mbak Lilik pun turut datang. Kekeluargaan disini hampir sama halnya di kampung. Bergotong royong saling membantu dalam hal apapun. Apalagi saat kesusahan seperti ini, tanpa meminta pun para warga sekitar akan berdatangan membantu atau sekedar duduk sejenak bersama yang lainnya.Acara tahlilan di gelar dalam tujuh hari ke depan, para tetangga saling membantu saat masih berkabung. Tak lupa aku kabari bapak yang berada di kampung, beliau pun ikut mengucapkan belasungkawa kepada aku dan Mas Bima. Rencana untuk selanjutnya, aku belum memikirkan. Kemungkinan untuk sementara waktu akan tinggal di sini dulu bersama Mas Bima dan Mbak Lilik. Sebab, biaya untuk kepulanganku ke kampung tidaklah sedikit. Aku harus mencari pekerjaan dahulu untuk mencukupi segala kebutuhan selama di sini. Tidak enak rasanya jika harus berpangku tangan dan meminta kepada k
Aku membantu Mbak Lilik bekerja berjualan pakaian di pasar. Setiap pagi pergi ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor berdua dengan kakak iparku itu. Kami bersama-sama bekerja berbarengan dalam memajukan usaha pribadinya.Membuatku menambah pengalaman baru, karena jiwa berdagang tidak pernah terlintas dalam benakku saat itu. Apalagi tentang modal yang begitu banyaknya, aku pun belum mampu untuk memulai. Disini bersama Mbak Lilik, banyak sekali ilmu tentang berdagang yang aku miliki meski secara instan. Mbak Lilik pun tak segan untuk berbagi ilmunya kepadaku, membuat semangat yang hampir redup kini semakin membara.Usaha yang di tekuni Mbak Lilik turun dari Ibu, sambil bercerita tentang masa lalunya. Pertama kali Mbak Lilik menjadi istri dari Mas Bima selalu diajak oleh ibu untuk membantunya berjualan pakaian di pasar. Sehingga setiap hari tangan lentik dari wanita cantik yang dinikahi Mas Bima selama hampir sepuluh tahun itu sudah lihai dalam menjajakan barang jualannya. Pelanggan
"Kita percaya sama kamu kok, Ran. Ratih sama Didik memang seperti itu. Semua orang sudah tahu sifat mereka, kamu jangan ambil pusing! Mana ada kamu menggoda lelaki sint*ng seperti dia," kata Mas Bima saat kami menikmati makan malam bersama. Mungkin Mbak Lilik sudah bercerita kejadian tadi sore, bagaimana sepasang suami istri itu tega berbicara kasar terhadapku. Aku yang tidak tahu menahu menjadi terdiam, seolah aku ini memang yang salah dan bukan korban. Kelemahanku adalah selalu diam tanpa bisa membalas perlakuan buruk orang lain. Membuat mereka berpikir aku memang pantas untuk dihina dan dicaci-maki sepuasnya. Meski banyak orang yang mengajariku untuk melawan, namun, apa daya jika aku tidak ada kekuatan untuk membalasnya."Dulu sekali, pas kita baru jadi pengantin baru juga mereka membuat ulah. Hingga kakak iparmu itu ngamuk-ngamuk nggak jelas!" ejek Mas Bima dengan tersipu. "Eh, enak saja kalau ngomong. Sudah ah, malu sama Rani!" elak Mbak Lilik dengan melirikku, pipinya merona