Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
"Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku.
"Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut.
"Mas Rendi, ada, Mbak?"
Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami.
"Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang.
Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan.
"Kedatangan kami kesini mau menagih hutang kepada Mas Rendi. Dia hutang ke saya belum dibayar, katanya akan segera dilunasi sebulan lagi. Dan, ini sudah waktunya membayar," ucap salah satu tamu dengan menatapku tajam.
"Be-berapa hutangnya, Pak?" tanyaku gugup.
"Tiga juta, Mbak."
Seketika wajahku berubah pucat pasi, aku menoleh ke arah Bapak yang mengelus lembut lututku yang terus-menerus gemetar sejak berbicara dengan tamuku. Ku coba mengerjapkan mata berulang kali agar tidak ada tetesan air yang keluar darinya.
Sudah sekian bulan sejak kepergian Mas Rendi yang katanya akan ikut bekerja dengan saudara sepupuku itu tanpa memberikan kabar sedikitpun untukku.
"Pak … begini, maaf biar saya yang menjawabnya. Rendi menantu saya, ini putri saya adalah istri dari Rendi. Dia sudah hampir empat bulan ini pergi bekerja ke ibu kota ikut dengan keponakan saya, belum sekalipun memberi kabar kepada istrinya. Jadi, kami mohon atas pengertiannya untuk hal ini … ehm, bagaimana kalau diselesaikan nanti kalau Rendi pulang saja!" ucap Bapak dengan berhati-hati.
Aku tahu Bapak pun sama kagetnya denganku mendengar kalau Mas Rendi mempunyai hutang lagi tanpa sepengetahuanku. Ibu Fatimah yang datang lalu mengambil alih menggendong Safia dari pangkuanku.
"Buat apa Rendi berhutang sebanyak itu, Pak?" tanya Bapak dengan mimik serius.
"Bapak tidak tahu beneran?" Bukannya menjawab pertanyaan Bapak, tamu itu malah bertanya balik sama Bapak.
Aku, Bapak serta bu Fatimah hanya menggeleng pertanda kami benar-benar tidak tahu menahu.
"Judi."
"APA?" Serempak kami bertiga kaget bukan kepalang.
Judi? Mas Rendi bermain judi tanpa aku tahu selama ini? Bagaimana bisa aku yang notabene menjadi seorang istri yang tak pernah keluar tidak tahu menahu akan hal ini? Aku memang istri yang bo-doh.
Aku merutuki diri sendiri, aku seolah-olah menjadi manusia dan istri yang tidak berguna. Bagaimana mungkin satu pasangan yang saling menyayangi dan mencintai tetapi tidak mengetahui hal sangat intens seperti ini.
Kupukul bertubi-tubi dada yang terasa sesak, aku kehilangan udara yang keluar masuk untuk mencukupi perputaran dalam diriku. Ayah dan bu Fatimah memegangi tanganku yang semakin kencang dan keras dalam memukul segumpal daging yang aku sembunyikan di balik pakaian yang aku kenakan.
"Kalau begitu kami pulang dulu, Pak, Bu. Saya berik keringanan untuk membayarnya, jika nanti ada uangnya segera bayar, ya, nama saya, Pak Haris dari desa Pucang. Permisi," samar-samar aku dengar tamuku meminta ijin untuk pulang.
Otakku yang kacau tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan tamuku barusan.
☀️☀️
"Suami kamu sungguh keterlaluan, pergi meninggalkan hutang banyak. Yang lalu saja belum di bayar, ini … sudah ada lagi yang menagihnya," murka Bapak. "Kamu tanya saja sama Syarif, minta tolong sama dia untuk bilang ke Rendi kalau ada yang datang ke sini lagi!"
"Iya, Pak. Sekarang juga aku akan pergi ke rumah, Mas Syarif. Bu, tolong nanti kalau Safia bangun tidur jaga, ya, aku permisi dulu."
☀️☀️
"Lho, kamu tidak tahu, dek?" tanya Mas Syarif dengan wajah kagetnya. "Rendi, 'kan sedang kerja di luar negeri."
Aku termangu mendengar kekagetan Mas Syarif, apalagi suamiku yang saat hendak pergi berpamitan kalau mau ke ibu kota kerja disana. Tapi, nyatanya dia malah ke luar negeri.
Aku terkulai lemas tak berdaya mendengar semua penjelasan dari kakak sepupuku itu. Tidak tahu juga harus berbuat apa dengan semua ini. Pikiranku kacau, otakku beku tidak dapat mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Mas Syarif.
"Sebenarnya … awalnya dia memang ikut bekerja sama saya, dik. Tapi, saat seminggu berlalu dia pergi entah kemana tanpa pamit. Tahu-tahu dia menelponku mengabarkan kalau dia sudah berada di luar negeri, dia bahkan minta tolong untuk menyampaikan semua ini kepadamu. Tapi, 'kan aku baru pulang dan belum sempat main. Maaf, ya,'' Mas Syarif menangkupkan kedua tangannya di dada dengan melihat wajahku yang mulai sayu.
"Ja-ja-jadi di-dia ke-keluar negeri, M-Mas?" tanyaku terbata-bata.
Mas Syarif mengangguk pelan, seketika air mataku luruh lagi dan membanjiri pipi. Meski sudah kuseka berulang kali, namun, masih saja bercucuran dan enggan berhembus.
Organ tubuhku yang berwarna kemerahan bernama hati semakin terluka. Dalam, hingga menusuk yang paling dasar. Sebebal inikah diriku?
"Apa dia tidak menitipkan sesuatu untuk, Safia, Mas?" tanyaku lagi dengan sisa tenaga yang hampir terkuras habis.
Samar, aku lihat Mas Syarif menggelengkan kepalanya pelan. Membuat hatiku seketika runtuh dan berkeping-keping tak berbentuk. Netra ini berkali-kali aku kerjapkan supaya butiran bening yang sudah mengembun tidak keluar dari tempatnya.
"Ini, ini nomornya jika kamu ingin berbicara dengan Rendi, semoga ada dia mau bercerita sejujurnya sama kamu. Sabar, ya, Ran. Kamu harus kuat, ada Safia yang masih membutuhkan kamu, ibunya," saran Mas Syarif dengan menggenggam tanganku.
Menguatkan hatiku yang telah koyak, memberiku semangat supaya bisa bertahan dalam keadaan apapun. Mbak Rita istri Mas Syarif pun mengelus pundakku dengan lembut, aku tahu mereka menyayangiku seperti adiknya sendiri.
"Kamu harus kuat, ya, Ran! Harus! Ada, Mbak Rita disini untukmu jika ingin berkeluh kesah, jangan malu sama, Mbak, ya," ujarnya dengan bercucuran air mata yang membuatku ikutan pula.
"Bagaimana aku bisa kuat, Mbak. Kalau dia pergi meninggalkan hutang banyak untukku. Hutang yang dipakai olehnya untuk berjudi, bukankah itu sama saja menggali kuburan untukku?"
Seketika pasangan suami istri itu merenggangkan pelukan dan genggaman tangannya, mungkin terkejut, terkejut atau entahlah. Aku sudah tidak bisa berpikir logis lagi. Mataku sudah tidak jelas melihat raut wajah mereka karena terhalang oleh air mata yang mengembun.
"Rendi judi, Ran?" tanya Mas Syarif sayup-sayup.
Mulutku tercekat, ingin rasanya berteriak keras mengeluarkan segala gerombolan amarah yang bersemayam dalam kalbu, otak juga kepala. Gigiku bergemeletuk ingin meluapkan segalanya seketika.
Namun, semuanya hanyalah angan-angan semata. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya.
"Sudah dua kali ada orang yang berbeda datang ke rumah untuk menagih utangnya, Mas. Selama ini dia selalu pulang tengah malam, aku tidak pernah berpikir buruk saat dia keluar. Aku kira, untuk mengurangi rasa jenuh karena telah di PHK, dia nongkrong biasa bersama teman-temannya. Tapi, nyatanya dia malah berjudi," ucapku dengan terisak.
Mbak Rita mengelus-elus punggungku memberi kekuatan supaya aku tegar dalam menghadapi ujian hidup ini. Kalimat pelannya mengajakku terus memikirkan istighfar, yang membuatku semakin bercucuran air mata.
"Ran, kuat ya, kamu harus kuat. Yuk, pulang! Biar, Mbak yang antar kamu pulang!" Aku menurut ajakan Mbak Rita karena tak bisa kutolak tawarannya yang akan mengantarkanku, mengingat aku begitu lemas saat ini.
❤️❤️
"Sudah, jangan ditangisi lagi. Sekarang kamu harus fokus dengan kehidupan kamu dan Safia. Safia harus sekolah, kamu harus bangkit, ya," Bu Fatimah begitu menyayangiku, meski hanya sebagai ibu sambung. Namun, aku sangat mencintainya. Dia selalu memberiku semangat, melindungiku meski kadang juga memarahiku. Namun, aku tidak pernah sakit hati, karena aku tahu dia pasti mengkhawatirkan diri ini.Sudah sekian lama aku menjadi ibu juga ayah bagi Safia, kini waktunya dia sekolah. Aku harus bekerja, agar tidak terus-menerus bertumpu pada bapak dan Bu Fatimah."Kemarin ada lowongan kerja di pabrik, Mbak. Kalau mau nanti tak tanyakan dulu sama temenku, soalnya kakak dia juga kerja disana," ujar Mita, adik tiriku. "Boleh, nanti aku akan mencobanya. Tapi … apa ibu mau menjaga Safia?" "Mau, kenapa tidak? Biar nanti Safia sama ibu di rumah, kamu fokus saja sama kerjaan kamu kalau nanti di terima. Nggak usah pikirkan yang aneh-aneh, ya," Bu Fatimah mengelus punggungku lembut. "Maafkan ibu yang da
"Bu, ibu ... ayah kemana?" tanya Safia saat saya sedang memasak pagi ini. Hari minggu ini, aku sengaja membuat makanan kesukaannya. Setelah itu saya akan mengajak Safia pergi jalan-jalan, meski hanya ke pelabuhan melihat kapal-kapal besar yang sedang berlabuh. Safia akan bahagia dan bercerita dengan antusias kepada Bapak dan Bu Fatimah. Usia Safia, memang sedang cerewet-cerewetnya. Setiap hari selalu ada dialog panjang yang ditanyakan saat saya pulang kerja. Begitupun dengan bapak dan ibu, tanya ini dan itu. Lalu bercerita sesuai dengan imajinasinya sendiri. Membuat siapapun yang melihatnya akan begitu gemas."Kenapa kita tidak jalan-jalan sama ayah juga, bu?" tanyanya lagi dengan sorot mata yang polos. "Safia putri ibu yang paling cantik, paling pintar, dengerin ibu, ya, nak. Ayah sedang bekerja jauh sekali, nanti, kalau sudah banyak uang, ayah pasti pulang dan kita bisa jalan-jalan bersama," Ku sembahkan senyum manis buat Safia, aku harap dia mengerti akan apa yang aku katakan p
"Kemarin kamu saat rewang di rumahnya Putri disindir sama Eni dan Tijah, ya, Ran?" tanya Bu Fatimah saat kami tengah bersantai duduk di teras menikmati senja berganti malam.Aku hanya mengiyakan dengan menunduk, tanpa bersuara. Aku memang terlalu takut menghadapi dunia yang kejam. Saya tidak punya keberanian untuk menegakkan kepala memandang ke depan.Saat di pabrik tempatku bekerja pun, aku memilih menyendiri. Mungkin akan lebih baik daripada aku harus berbaur dengan yang lain. Aku takut jika mereka mengetahui masalah rumah tanggaku lalu mulai membicarakannya. Itu akan membuatku semakin terluka lagi.Mungkin keputusanku sangatlah tidak masuk akal, namun, aku merasa kalau itu adalah jalan yang tepat. "Bu, mungkin nanti setelah setahun saya bekerja akan berhenti saja dari pabrik. Saya ingin membuat warung sayur saja di depan rumah, itupun nanti bapak izinkan saya memakai izinnya," selaku dengan ide yang terlintas, saya ingin mengalihkan pembicaraan tentang sindiran dari Mbak Eni . Ak
Gajian kali ini lumayan banyak, karena lembur hampir sebulan penuh. Ku sisihkan sedikit uang untuk membayar hutang-hutang yang aku catat rapi di buku tulis. 'Masih banyak,' desahku dengan menghembuskan nafas kasar. Memang sisa hutang yang Mas Rendi tinggalkan masih lumayan buat diriku yang hanya sebagai seorang pekerja pabrik. Sehingga membuat otak berpikir keras untuk mencari tambahan supaya semuanya cepat lunas. Memang tidak mudah, namun, aku selalu berusaha untuk tidak dipersulit lagi jalanku agar dimudahkan dalam mencari rezeki yang halal."Ran, ada seseorang yang mau dengan kamu. Bagaimana?" tanya Yu Likah saat melihatku sedang menjemur pakaian di samping rumah. Yu Likah, penjual bakso keliling itu tiba-tiba menghampiriku dan tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Dia langsung mengutarakan apa yang telah ia susun dari rumahnya untukku."Maksudnya, Yu?" tanyaku tidak mengerti."Begini, kemarin pelanggan setiaku meminta aku menanyakan hal ini kepadamu. Dia mau menjadikanmu istriny
Ponsel baru sudah aku dapatkan sejak dua hari yang lalu, namun, aku belum bisa untuk memakainya. Selalu menunggu Mita pulang dari sekolah untuk mengajariku berselancar di dunia maya. Yang menurut Mita adalah dunia yang penuh tipu-tipu. Wajah yang berjerawat banyak bisa semulus jalan tol saat berpose ria di depan gadget pintar itu. Yang tua bisa muda, yang muda apalagi? Bisa menjadi kinyis-kinyis, begitu Mita menjelaskan semuanya padaku. Mita mengajariku membuat akun sosial media yang mana bisa menghubungkan satu daerah ke daerah lain bahkan negara sekalipun meski tanpa harus mendatanginya langsung. Dengan cara seperti itu, kemungkinan aku bisa mengetahui kabar dari Mas Rendi yang entah di mana berada. "Kita tidak tahu, Mbak. Seandainya masih berjodoh, mungkin, Mbak Rani bisa melihat keadaan, Mas Rendi saat ini," ujar Mita saat aku bertanya apa guna dari bermain media sosial.Aku membenarkan ucapan adikku itu dengan pasti. Kita tidak tahu dengan jalan yang mana Tuhan akan mempertemu
"Coba ikhtiar ke orang pintar, Ran! Kemarin saat Pak Kandar sedang mencari anaknya yang lama tidak pulang dari rantau, dia meminta orang pintar untuk membantunya. Siapa tahu jodoh, kita hanya berusaha dan semua yang menentukan adalah sang pencipta," ujar bapak saat aku tengah memainkan ponsel.Aku hanya mengangguk mendengar ide yang diutarakan bapak barusan, mungkin tidak ada salahnya aku mencoba. Kini pencarianku mulai dari teman kerja yang akhir-akhir ini sedang dekat. Mbak Yumi, namanya. Aku sudah mulai membuka pikiran supaya hatiku lega bisa berbagi kisah dengannya. Dia sahabat kecilku dulu yang kini dipertemukan dalam pekerjaan sebagai karyawan di pabrik tempatku bekerja. Kita sama-sama dalam satu pengawasan. "Nanti aku antar, Ran. Hari Minggu kita kesana, bagaimana?" Aku mengangguk mengiyakan saat semua aku ceritakan apa yang akan menjadi maksud dari keinginanku saat ini.Dadaku berdebar-debar mengingat semua ini baru pertama kalinya aku lakukan. Tidak pernah terpikirkan ataup
"Pak, bangun, Pak. Tolong bangun sebentar!" ucapku sedikit teriak kencang memanggil bapak yang berada di kamarnya.Aku panik, Safia tiba-tiba menggigil dengan nafas memburu. Bibirnya biru serta dengan suara gigi kecilnya yang bergemeletuk. Keadaan Safia semakin memburuk saat hampir pukul dua pagi, membuatku semakin panik dan gemetaran. Bayangan buruk terlintas dalam benakku, hingga tak kuasa aku menahan air mata ini untuk keluar tanpa permisi. "Pak," Ku ketuk pintu kamar bapak dengan keras, lebih tepatnya menggedor. Aku kalut, tidak bisa berpikir secara jernih untuk saat seperti ini. Tidak menunggu lama, pintu terbuka dengan raut wajah yang bingung. Bapak melihatku yang sudah berderai air mata dengan menggendong Safia. "Kenapa?" tanya bapak panik lalu mengambil alih menggendong Safia. "Panas sekali.""Bu, aku ngantar Rani dulu ke Rumah Sakit!'' pamit bapak dengan tergesa-gesa. Aku mengikuti langkah bapak masih dengan berderaian air mata."Pak, bawa jaket. Jaga kesehatan kalian. Jan
Sepekan setelah kehilangan Safia untuk selamanya, aku enggan bergerak kemanapun. Bekerja pun aku sudah tidak ada gairah dan semangat. Meski bapak dan semua keluarga yang datang selalu menghiburku dengan kalimat-kalimat yang semuanya terdengar sama, menghiburku."Kamu harus melanjutkan hidupmu, Ran. Biar Safia bahagia dan tenang di sana. Jangan bersedih lagi, kamu juga harus kerja dan kembali lagi seperti sedia kala!" Tak ku hiraukan suara bapak yang setiap kali melihatku terdiam dalam bisu sendirian di kamar. Berkali-kali bapak memberikanku nasehat-nasehat supaya aku tegar, namun, aku sama sekali tidak bergeming. Aku masih belum ikhlas kehilangan Safia dari hidupku. Aku juga masih merasa kalau dia ada disini menemaniku setiap detik. Aroma khas tubuhnya Safia saat aku mandikan lalu ku taburi bedak, minyak sebagai penghangat tubuhnya ketika cuaca sedang berganti dingin.Celotehannya yang membuat seisi rumah saling melempar canda yang berakhir jeritan marah yang membuat pipinya memerah