Semua Bab I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu: Bab 71 - Bab 80

87 Bab

#71. Perkumpulan Ibu-Ibu

Hanya karena sepintas darah mereka bersikukuh menitahku untuk diam dan tak menyentuh dapur. Apalagi Kamala yang terlihat sibuk, bertekad untuk bantu memasak walaupun Bella dan Jeanne sudah ngomel-ngomel agar tidak menyentuh sesenti barang-barang yang telah jadi. Padahal aku sudah bilang, kalau rasanya tak sedikitpun menyakitkan. Aku bahkan mempraktekan memukul meja hanya untuk memberi paham, bahwa aku tidak terluka. Namun kedua manusia itu tak membuka telinganya, yang berakhir mereka selesaikan seperempat aktivitas memasakku.Di meja makan, aku memandangi kelincahan Jeanne bergulat dengan kemampuan Bella. Kalau soal masak-memasak, Jeanne adalah partner terbaikku. Jika dengannya, aku selalu bisa menciptakan makanan-makanan dengan rasa yang telah tercatat di ekspetasi. Beda hal bila dengan Kamala. Tahu-tahu makanan gosong dan kami berakhir gofood. Heran, bagaimana Abi bisa tahan dengan kelakuan wanita yang jika masak, satu dapur hancur.Dimulai dari pangsit ayam, kentang goreng, dimsum,
Baca selengkapnya

#72. Untuk Pemuda Yang Berada Di Pelukanku

Sampai pukul 4 mereka memutuskan untuk pulang. Katanya, Bella dan Jeanne punya acara lain di kantor. Sedangkan Kamala hanya ikut-ikutan pulang, sebab tidak enak jika Orick pulang nantinya. Padahal sudah kuberi tahu itu bukan masalah yang besar. Barangkali Orick sendiri rindu dengan sahabat kentalnya.Walaupun ketiganya itu manusia-manusia terbilang gesrek, tapi sisi warasnya tetap ada untuk membantu merapikan kembali dapur tanpa mengeluh. Dan sebelum dibereskan, sesuai permintaan Kamala yang ingin membawa pulang pangsit ayam, aku dan Jeanne kembali memproduksinya. Dan seakan-akan dia adalah ratu, kerjanya hanya topang kaki. Bella dibiarkan mencuci piring sendiri.Setelah mereka pulang, tidak lama berselang mobil Orick tiba di depan garasi. Tiba memasuki rumah, dia spontan menjatuhkan diri padaku yang sedang tenang menonton telivisi bersama Zero. Aku jelas terperanjat dan nyaris memukul kepalanya dengan remote tv. Sudah tahu istrinya mudah kaget, tapi kelakuannya selalu mengejutkan."A
Baca selengkapnya

#73. Hitam Putih Jalanan

Perjalanan yang semula mengandrungiku dengan warna-warni, kini tiba dimana aku merasakan khalayak umum tidak lagi menyentuh relungku. Semua yang mereka lakukan, apapun kegiatan, dan seramai apa girang tawanya, tidak lagi berfungsi pada keadaanku. Berjalan di tengah-tengah keramaian, macam berjalan di jalanan sepi yang panjang dan berwarna hitam. Mataku berkabut. Yang kutangkap bukan lagi matahari kuning, melainkan layar hitam putih bagai telivisi masa lalu--seolah-olah aku berada di dalam kamera.Kian hari berlalu, kian hari juga stamina tubuhku menurun drastis. Pasokan emosi yang terlalu kuat tidak seimbang dengan asupan yang aku makan. Keseimbanganku tentang kesehatan dan kesibukan nyaris kontras. Aku kembali merasakan repotnya menjadi mahasiswa. Seringkali tidur larut, diam-diam menangis karena beban kepalaku, serta nyeri dari ulu hatiku terus menyembul. Orick tidak akan tahu. Dan Orick takkan pernah kuberita tahu alasannya. Aku tidak mau menghancurkan hari bahagianya. Apalagi sete
Baca selengkapnya

#74. Jangan Menyerah

Hft... dasar kehidupan. Lucu sekali. Ketika aku berpikir semuanya hanya tipu belaka, aku masih melihat celah-celah cahaya dari sisi lain. Dan akan kupahami hari ini, bahwa--tak perduli segelap apapun jalan dan tempat yang mencekam-mu. Tak perduli sejauh dan serumit apa isi di dalamnya. Kamu akan selalu temukan hal-hal mengejutkan yang telah Tuhan kirimkan untukmu. Kamu akan selalu temukan matahari bagaimanapun caranya sinar itu masuk. Kamu akan selalu temukan bahagia versimu sendiri.Senyumku yang semula tidur. Jalanan yang semula hitam dan putih, kembali berwarna dengan langit yang membentang senyum tulus padaku. Kelopak-kelopak burung yang mengepak gerah di atas udara serempak menoleh pada saat mobilku berjalan lurus. Aku ikut tersentak ketika menakjubkannya mereka membentuk barisan seakan mengawalku untuk membelah jalanan.Dentingan musik yang damai dengan tenangnya klakson menyatu menjadi instrumen yang mengupahi lelahku. Dulu, aku lebih suka awan ungu ketimbang merah muda. Tapi m
Baca selengkapnya

#75. Bersedia Untuk Mendekapmu

Aku pulang seperti anak kecil yang telah dimusuhi rekan-rekan dekatku. Dengan jejak air mata sembari menenteng belanjaan yakni mulut tak bisa tersenyum. Aku lelah jika terus-menerus dihantam pikiran-pikiran buruk dan kenyataan yang menyakitkan. Aku enggan melihatnya. Harus bagaimana lagi aku memalingkan muka dari semua kejadian itu? Apa sampai di titik ini perjuanganku masih kurang hebat? Apa aku harus kembali meneteskan darah untuk kehidupan ini?Barusan, Kamala sempat bersikukuh untuk mengawal mobilku sampai rumah. Katanya dia khawatir dan tidak mau ada kejadian yang membuatnya kaget. Konyolnya ketika dia menyeletuk apakah aku hamil? Well, pertanyaan macam apa itu? Apakah emosional yang kacau tercatat pada ibu hamil? Tetapi kutolak sebab terlalu kekanak-kanakan jika mereka hanya mengantarku pulang. Memangnya aku ini anak 7 tahun?Berlanjut saat aku mendorong pintu rumah, dari depan aku langsung dihadang oleh dua majikan. Orick yang tengah menggendong Zero melempar senyum padaku."Tu
Baca selengkapnya

#76. Takut Gelap

Selepas adzan maghrib dikumandangkan, aku dan Orick praktis beranjak yang membuat Zero juga melompat sembari mengeong karena belum satupun lampu dinyalakan. Ketika Orick sepakat untuk memesan grabfood, aku menekan-nekan saklar lampu sebab tidak ada yang mau menyala."Rick, token listriknya habis?"Dia yang sedang mengetikan sesuatu di atas layar ponselnya menoleh padaku. "Mati? Kalau mau mati biasanya bunyi dulu nggak sih? Padam listrik kali?"Aku yang sedikit bingung berjalan keluar rumah untuk memastikan suasana di sana. Dan ternyata benar, pemadaman listrik sedang terjadi membuat sekawasan menjadi gelap-gulita. Orang-orang yang berada di seberang warung bahkan terdengar umpatannya. Langit yang tidak bercahaya membuat bumi betulan seperti dicekam suasana menyeramkan. Tetapi untungnya, suara-suara macam kendaraan, geramah para bapak-bapak yang sedang menuju masjid, serta anak-anak yang masih berkeliaran sekitar jalanan memulihkan atmosfer."Iya ih, padam listrik." Aku kembali masuk s
Baca selengkapnya

#77. Nyanyian Untuk Arina

Tempo makan yang berbeda, membuatku bergeleng-geleng kepala. Ketika aku menghabiskan setengah piring, dia sudah menguyah menu yang lain. Dan ketika piringku kandas, dia sudah meraup mcflurry lebih dulu. Bahkan satu porsi hokben dengan kerak telor seakan-akan tak mempan pada cacing perutnya, dia mencampurkan donat dengan ice cream itu. Jujur, melihatnya saja sudah membuatku begah."Nar, di atas yuk.""Aku beresin dulu.""Nggak usah, udah biarin aja dulu. Santai dulu lah." katanya sembari menyeret aku yang masih menegak air putih.Terpaksa aku mengikuti keinginannya ketimbang duduk sendiri di bawah, mana padam. Bahkan Zero sendiri ikut berlarian ketika kami menaiki anak tangga. Modal senter handphone saja, dia membuka pintu balkon yang diyakini cahaya malam lebih baik ketimbang gelapnya dalam rumah."Mau kemana?" Aku dilepaskan di balkon, sedangkan dia berlarian lagi ke belakang."Sebentar!""Zero, kamu nggak dingin? Anginnya kenceng loh." ujarku memeluk diriku sendiri. Sedangkan kucing
Baca selengkapnya

#78. Secret Diary

Pukul 10 malam, ketika Orick dan Zero sudah berlalu ke arah bunga tidur masing-masing, mereka tidak tahu jika aliran listrik sudah menyala. Tadinya, aku nyaris ikut tertidur ketika Orick memelukku begitu erat. Keadaan setelah makan mantap, lalu gelap-gulita, apalagi yang harus kami lakukan? Beristirahat bersama dari lelahnya pekerjaan adalah pilihan yang tepat.Tetapi mengingat pakaianku belum salin sedari tadi siang, bersih-bersih wajah-pun tidak sempat, serta kepikiran piring-piring kotor yang berada di dapur, aku mengendap-endap meninggalkannya di kamar. Lampu kamar sengaja tidak aku nyalakan, sebab jika tidur kami memutuskan untuk menjaga kesehatan mata. Namun lampu-lampu ruangan dan luar teras praktis kunyalakan, dan terhapuslah gelap.Pertama, aku jelas bersalin terlebih dahulu dengan piyama. Untuk kemudian berlalu ke arah ruang tengah, dimana sampah-sampah dan sisa makanan masih berserakan. Kubawa ke arah dapur, lalu kutaruh ke dalam lemari. Begitu melihat ke arah lain, tumpuka
Baca selengkapnya

#79. Cause I'm Your Home

Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid
Baca selengkapnya

#80. Ada Begitu Banyak Pilihan Dalam Hidup

Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status