Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab 51 - Bab 60

Semua Bab Kutunggu Jandamu: Bab 51 - Bab 60

75 Bab

Bab. 51. Sarapan Istimewa

Mataku mulai terbuka pelan. Tanganku meraba tempat tidur. Kosong. Aku terlonjak dengan mata melebar. Berlian, di mana?Segera aku bangkit menyibak selimut dan bergegas ke kamar mandi. Kosong juga. Ia kemana, ya? Aku benar-benar terlelap hingga lupa jika matahari sudah meninggi. Apa mungkin ia ke rumah melihat Ahmad? Bisa jadi. Aku mandi terlebih dahulu. Lantas memakai pakaian yang sudah menyampir rapi di sandaran kursi. Ini pasti Berlian yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan ia? Baju kaos santai tanpa kerah dengan celana panjang hitam berbahan semi jeans langsung kukenakan. Bahkan minyak rambut dan parfum pun sudah ia sediakan. Ehm, aku sungguh tersanjung.Pintu berderit pelan sontak membuatku menoleh. "Assalamu alaikum, sudah bangun?""Waalaikum salam. Iya. Sudah mandi malahan. Dari mana, Sayang?""Dari pantry nyiapin makanan." Ia meletakkan sajian di atas meja."Kan, bisa meminta karyawan buat nganter ke sini. Tadi sempat kaget tiba-tiba meraba ke samping, kamu sudah tidak ada."
Baca selengkapnya

Bab. 52. Apa Aku Ganteng?

"Ia mau ziarah ke makam ayah ibunya.""Owh.""Bolehkan, Sayang?" Berlian menatapku serius "Tentu saja boleh, Sayang. Ahmad anakku juga, kan?""Alhamdulillah." Kulihat ia menarik napas lega.Aku tahu mungkin di hati Berlian ada sedikit kekhawatiran terhadapku atas penerimaan Ahmad sebagai anak sambung. Padahal, dari awal aku sudah berusaha meyakinkan kalau Ahmad itu anakku juga. Dengan adanya pernikahan ini berarti aku bertanggung jawab atas semua penghuni rumahku. Kepada pasien saja aku begitu peduli apalagi kepada Ahmad, ia permata hati istriku walau tidak lahir dari rahimnya. Meski aku hanya ayah sambung, tetapi tidak akan mempengaruhi kasih sayangku terhadapnya.***Setelah sarapan kami langsung berkemas kembali ke rumah. Ya, cuma satu malam menginap di penginapan selanjutnya di rumah Berlian sampai masa cutiku hampir habis.Ahmad dan ayah mertua sudah siap. Kami berangkat bersama ke pemakaman. Jaraknya juga tidak begitu jauh. Dua kuburan berdampingan. Satu ibunya Ahmad dan satun
Baca selengkapnya

Bab. 53. Meninggalkan Pulau Tanakeke

Ayah ikut kami saja ke kota. Sekali sepekan datang ke Pulau cek penginapan dan taman baca, bagaimana?" Berlian mencoba membujuk ayah mertua agar mau ikut bersama kami. "Saya setuju dengan Lian, Yah. Kalau Lian ikut saya ke kota otomatis Ayah sendiri di sini. Bagusnya ikut saja bersama kami." Aku pun melakukan hal yang sama. Membujuk ayah mertua untuk tinggal di kota."Tidak apa-apa, Nak. Justeru di sini Ayah banyak kesibukan. Setiap hari bisa ke taman baca, memantau karyawan di penginapan juga tamu-tamu yang datang."Ayah mertua menolak dengan halus."Tapi, siapa yang akan mengurus Ayah? Selama ini kita selalu sama-sama. Sekarang, aku harus ikut suami. Maunya ayah juga ikutlah. Please!" Berlian memohon sembari memeluk ayahnya."Kan ayah sudah bilang, di sini ada karyawan yang bisa diandalkan apalagi cuma soal makanan, semuanya tersedia. Kamu jangan khawatir, Nak." Ayah mertua berusaha meyakinkan Berlian bahwa ia baik-baik saja meskipun ditinggal pergi oleh puterinya."Tapi, kan tidak
Baca selengkapnya

Bab. 54. Terima Kasih Sudah Mencintaiku

Mamak sontak tertawa. Berlian menutup wajah karena malu. Selanjutnya mereka berdua kompak mencubit lenganku dengan gemas. Aduuuuh! Sakiiiit!"Astaghfirullah ini anak, berubah jadi aneh begini." Mamak geleng-geleng kepala"Semua karena mantu baru Mamak, nih." Aku melirik ke arah Berlian yang sejak tadi wajahnya bersemu."Sudah, sekarang kita makan dulu." Mamak menggandeng tangan Berlian. Aku pun mengikut di belakang mereka.Bapak sudah lebih dulu duduk di meja. Menu sederhana olahan tangan Mamak terlihat menggugah selera. Kata orang, masakan ibu tidak ada duanya. Benar. Aku sudah membuktikannya sepanjang usia. Sejak dulu Mamak beternak bebek, telurnya dibuat telur asin kemudian dijual. Hasilnya itulah yang dipakai buat biaya sekolahku dan adik-adik. Bapak menggarap lahan orang untuk produksi garam kasar. Hasilnya tak seberapa, tetapi jika digabung dengan jualan Mamak, cukup lumayan untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya."Silakan, Nak." Mamak meletakkan telur asin rebus di depa
Baca selengkapnya

Bab. 55. Pergi ke Optik

"Iya. Aku pernah saking tidak sabarnya, berdoa kepada Allah dengan nada memaksa." Aku menatapnya sembari mencium jemarinya."Memaksa?""Iya, Sayang. Saking rindunya sama kamu, aku berdoa begini. 'Ya Allah, jika Berlian ditakdirkan menjadi milikku, segerakanlah. Namun, jika tidak, jauhkan ia dari hati dan pikiranku. Aku tersiksa dengan rasa ini. Atau satu hal lagi ya, Allah. Jika tidak bisa bersatu sekarang, saat ia jadi janda pun tak apa-apa."Berlian langsung menarik hidungku. " Serius berdoa begitu?""Iya, Sayang.""Berdoa itu harus ikhlas. Nggak boleh kita yang mengatur maunya Allah kayak gimana, sebab Allah Yang Maha Tahu apa yang terbaik buat kita. Selepas berdoa, ya sudah. Pasrah aja. Tawakkal. Bagaimana pun hasilnya.""Iya aku beristighfar setelahnya karena merasa diri lancang berdoa seperti itu terkesan memaksakan keinginan.""Ternyata yang dikabulkan poin terakhir, hahahaha." Berlian tertawa sembari memegangi perutnya. Lucu sekali, katanya."Apanya yang lucu?""Kamu berdoanya
Baca selengkapnya

Bab 56. Surprise!

"Ehm, gimana, ya, cara menjelaskannya." Mbak yang bertugas sebagai kasir mendadak garuk-garuk kepala. Bingung mau menjelaskan dari mana.Aku mendekat perlahan setelah mendengar obrolan mereka. Heh, mbak kasir ini sudah di training, tapi, kok, belum ngerti juga."Lian, uang pembayaran kamu selama sepuluh tahun dikembalikan oleh pihak optik karena … optik ini milik kamu.""M-maksudnya? Aku makin tak paham." Ia menaikkan kedua bahunya."Kamu liat, kan, nama optik ini sudah berganti nama. Dari Optik Fajar menjadi Optik Berlian, iya, kan?""Iya, aku udah baca papan nama di depan. Ini soal nama saja. Apa hubungannya dengan namaku.""Beberapa bulan lalu, pemilik optik ini ingin menjual optiknya sebab sedang ada masalah keuangan. Aku tertarik dan langsung melakukan akad. Kugantilah namanya menjadi Optik Berlian."Isteriku terdiam. Aku meneruskan penjelasan. "Saat undangan pernikahan sudah dicetak, aku mengantarkan langsung pada karyawan dan dokter di optik ini. Begitu melihat nama mempelai wa
Baca selengkapnya

Bab. 57. POV Berlian

Pov BerlianMenjadi isteri Hasyim tidak pernah terlintas di benakku. Ia sahabat terbaik yang kupunya. Tapi, Allah sudah menakdirkan kami bersama, tidak ada yang bisa menolak kuasa-Nya. Persoalan cinta. Sekali lagi, aku yakin akan tumbuh dengan sendirinya seiring dengan kebersamaan setiap hari, setiap saat.Kupikir begitu awalnya. Ternyata kuasa Allah bekerja di luar nalar manusia. Begitu ijab qabul telah diucapkan, Tuhan seakan langsung meniupkan bibit-bibit cinta ke dalam dadaku saat itu juga sehingga aku langsung menatap Hasyim dengan wajah yang berbeda. Tatapan sayang dan cinta seorang isteri kepada suaminya. Ditambah lagi, perlakuannya yang membuatku selalu diistimewakan, bibit-bibit cinta itu terus tumbuh dan tumbuh seiring berjalannya hari.Terutama ketika berulang kali dengan jujur mengakui bahwa sekian tahun menungguku tanpa pernah terlibat jalinan asmara dengan wanita manapun selainku. Aku sungguh tersanjung. Kini, aku sudah hidup bersamanya. Dalam satu atap, satu dapur, sat
Baca selengkapnya

Bab. 58. Berkenalan dengan Nurul

Hasyim mengemudi mobil dengan santai hingga kami tiba di Kenari Beach tempat hajatan digelar."Mulai sekarang aku mulai rajin hadiri undangan." Hasyim menatapku sembari tersenyum. "Kenapa?""Karena sudah ada yang digandeng." "Jadi sebelum-sebelumnya?""Tidak pernah. Kecuali kalau undangan yang sifatnya resmi dan berurusan dengan pekerjaan.""Rasulullah bilang ada hak seorang muslim terhadap muslim yang lain, salah satunya apabila ia mengundangmu maka hadirilah undangannya. Jadi, ada gandengan ataupun tidak, nggak bisa jadi alasan."Ia mengangguk-angguk. Lalu tersenyum lagi. "Kalau ada gandengan paling tidak aku selamat dari bully-an Dokter Farid.""Masa' sih Dokter ganteng begini sering dibully." Aku mengelus pipinya dengan lembut"Jangan pancing aku, Sayang. Kalau kamu elus-elus pipiku ingin rasanya kembali ke rumah. Aku rindu kamar.""Haddeh." Kutepuk bahunya dengan keras. "Yuk! Kita masuk, acara udah dimulai kayaknya." Aku membuka pintu mobil tanpa harus menunggu ia membukakannya
Baca selengkapnya

Bab. 59. Wanita Pengganggu

"Baru aja. Pas mau salat Isya tadi."Hasyim menepuk jidat dan merebahkan diri di kasur. Sembari memeluk guling, ia berusaha memejamkan mata. Tak lama ia pun terlelap. Dasar! Aku pun melakukan hal yang sama di dekatnya. Kupandangi wajah manis di depanku dengan saksama, tidak ada yang berubah. Dari dulu tetap sama. Wajah cerianya sejak SMA seakan hadir di pelupuk mataku saat ini. Hasyim, akhirnya kamu ditakdirkan menjadi jodoh keduaku.**Hari ini jadwal Hasyim sangat padat. Katanya sampai jam dua malam. Kasihan. Demi nyawa orang lain, ia tak pernah kenal lelah. Aku sudah janji akan mengirim makanan siang dan malam untuknya juga jus buah dan cemilan. Beberapa buah sudah kusiapkan, dibantu oleh Bu Siah. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Bu Siah bergegas ke depan melihat siapa yang datang. Tak lama Bu Siah menghampiriku. "Ada yang mau ketemu Ibu di luar.""Sudah disuruh masuk?""Belum, Bu. Saya suruh nunggu di teras aja.""Makasih," ucapku pada Bu Siah. Aku ke kamar terlebih dulu untuk b
Baca selengkapnya

Bab. 60. Tidak Ada Peluang Untuk Calon Pelakor

Mataku langsung terbelalak. Apa-apaan ini? Datang-datang menawarkan diri jadi isteri kedua suamiku. Kenal juga tidak. Ia memang teman baiknya Hasyim, tapi bukan denganku. Napasku seolah memburu, naik turun. Aliran darah mengalir begitu cepat. Bukan aku tak terima dengan yang namanya poligami. Aku hanya dibuat syok dengan wanita di depanku. Apa ia tidak tahu kalau kami ini masih berstatus pengantin baru? Mustahil jika tak mengetahuinya. Ia kan dapat undangan."Mbak?" Ia membuyarkan pikiranku"Iya?""Bagaimana?""Bagaimana apanya?""Soal barusan. Aku siap jadi isteri kedua Dokter Hasyim.""Ekhem. Begini. Bukan hanya kamu yang bersedia jadi isteri kedua dari laki-laki seperti suamiku. Apa yang dia miliki bisa dibilang impian sebagian wanita, tetapi, aku tidak yakin suamiku itu mau membagi cinta. Ia sangat mencintaiku. Tidak ada tempat untuk wanita lain di hatinya.""Kan, kalau Mbak yang bujuk Dokter Hasyim, pasti dia bersedia.""Apa kamu bilang? Membujuk suamiku agar mau menikahimu? Hey
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status