Home / Romansa / Kutunggu Jandamu / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Kutunggu Jandamu: Chapter 21 - Chapter 30

75 Chapters

Bab. 21. Bertemu Berlian

"M-maaf, Pak. Bisa minta tolong sebentar?" Aku mendekat ke arah petugas kebersihan klinik yang sedang istirahat."Minta tolong apa, Pak? Kalau mau duit, maaf gak bisa bantu." Dengan polosnya ia menjawab. Memangnya tampangku ini seperti orang yang tidak punya uang?"Bukan mau minta duit. Minta tolong diantar ke rumah teman.""Rumahnya di mana?""Di dekat taman baca.""Oh, dekat saja kok, bisa jalan kaki."Sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh, cuma jika harus jalan kaki di tengah terik begini, rasanya tengkuk hendak terbakar. Aku lantas membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu."Ini ongkosnya, Pak!" Kusodorkan uang itu di depannya berharap ia mau mengantarku."Ayo!" Uang itu disambarnya tanpa berpikir panjang.Tiba di rumah Berlian, suasana rumahnya sudah sepi, tak satu pun orang yang melayat tadi kulihat saat ini. Hanya dua buket yang masih setia di kursi teras. Aku merapikan penampilan, mengatur napas, lalu mengambil kembali dua buket itu, perlahan kuketuk pintu r
Read more

Bab. 22. Gadis Atau Janda?

Lho, Nak Hasyim belum menikah?" Nada sulit percaya terucap dari mulut ayah Berlian. Wajar. Usia sudah di angka empat, semua orang akan mengira sudah memiliki anak usia remaja."Belum, Pak.""Padahal dokter, lho. Kerjaan bagus begitu, langsung nunjuk perempuan pasti pada mau dijadikan isteri.""Yeah, belum tentu juga, Pak." Aku sedikit menyanggah biar tidak terlalu merasa percaya diri."Mungkin Nak Hasyim pasang kriteria terlalu tinggi.""Tidak, Pak. Cuman memang sejak kuliah di kedokteran, aku sibuk karena nyambi bekerja buat tambahan uang saku, hampir tidak ada waktu buat bermain-main sama temen-temen, terlebih lagi soal pacaran, tidak ada gadis yang berminat sama mahasiswa kere.""Waktu di rumah sakit, kamu bilang mau ngenalin aku sama istrimu, iya, kan?"Berlian menimpali, suaranya yang cempreng dan terdengar sengau karena menangis menjadi semakin terdengar lucu di telinga."Aku gak pernah bilang begitu." Memang iya, kan. Berlian cuma bilang mau kenalan dengan istriku, aku jawab sa
Read more

Bab. 23. Mati Aku!

Aku begitu pandai memang menyimpan perasaanku pada Berlian serapat mungkin. Tak ada celah untuk orang lain tahu. Bahkan dari gelagat pun kuupayakan tidak menunjukkan tanda spesial lalu akhirnya aku merasa terluka sendiri dan menyesal, mengapa tidak dari dulu aku utarakan agar perasaan ini tidak semakin menyiksa hari demi hari. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin kuat pula ia hadir dalam ingatan.Seperti hari ini, agenda kedatanganku untuk melayat suaminya, tidak ada yang lain, tetapi malah terjebak dalam pembahasan masa lalu. Aku menyimakdan sesekali menimpali sembari memerhatikan detak jantungku yang mulai tak seirama."Maaf, Pak, eh, Lian. Di sini apa ada penginapan? Aku baru tahu kalau jadwal perahu dompeng hanya satu kali dalam sehari, mau tidak mau harus menginap."Sengaja kualihkan pembicaraan agar tidak semakin canggung. Masalah pendamping hidup adalah tema yang paling kuhindari, bosan jika harus mendapat pertanyaan yang sama dan terus berulang."Oh, iya memang. Makanya
Read more

Bab. 24. Nyaris Ketahuan

Sembari mengatur napas yang sempat berantakan, aku melangkah mendekat ke arah ayah Berlian. Beliau menunjukkan secarik kertas yang tadi sempat membuatku panik. Sekarang bukannya rasa panik itu hilang malah semakin bertambah. Aku berusaha menelan ludah yang mendadak tercekat."Makasih, Pak." Sigap aku meraih foto itu lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam saku kemeja."Foto Berlian?""I-iya, Pak." Pura-pura aku mengusap tengkuk, seakan-akan kedinginan oleh angin malam."Dulu, Berlian sangat ingin kuliah, tetapi sejak insiden ia terjatuh dan matanya sakit, kondisi tidak memungkinkan sebab harus rutin check up. Foto itu mengingatkan bahwa ia pernah sangat manis dengan bola mata yang berbinar."Aku yang mendengar itu langsung dihantam rasa bersalah hebat. Aku penyebab kegagalan Berlian meraih cita-citanya.Ayah Berlian menatap laut lepas sembari mengenang masa remaja puteri satu-satunya. "Sekarang pun jika cuaca sangat panas, bola matanya sering berair dan sedkit gatal.""Kata dokter wa
Read more

Bab. 25. Pengakuan Paling Jujur

"Berlian satu-satunya sahabatku, Pak. Sejak kuliah aku tak pernah tahu informasi tentang Berlian, untunglah masih punya fotonya, setidaknya bisa jadi pengobat rindu sama masa-masa sekolah dulu.""Owh, jadi karena itu? Bukan sebab yang lain?"Sekali lagi, pertanyaan mematikan seperti ini membuatku susah berkutik. Ibarat berdiskusi, aku mendapat skak mat! Apa aku harus mengakuinya sekarang? Tapi, mungkin belum saatnya. Refleks tanganku meraih cangkir berisi sarabba' lalu menyeruputnya hingga tandas."Sepertinya Nak Hasyim suka sekali dengan sarabba', sampai menghabiskan dua cangkir." Ayah Berlian tertawa. Aku mendelik heran. Dua cangkir katanya? Oh, No! Benar. Dua cangkir. Ternyata efek skak mat, tanganku mengangkat cangkir milik ayah Berlian tanpa sadar. Mau bagaimana lagi, minuman jahenya sudah berenang di lambungku, tidak mungkin kumuntahkan kembali. Ini semua karena Berlian. Selalu membuatku salah tingkah."Oh, m-ma-af, Pak. Sarabba' nya terlalu nikmat." Jawaban asal kuberikan semba
Read more

Bab. 26. Berlian Pingsan

Seperti itu kalimat yang tiba-tiba melintas di kepalaku. Semacam ada perintah dari kata hati, lamar ia!Saat kembali ke kamar, kusimpan foto Berlian yang barusan membuatku panik tak karuan ke dalam dompet. Sekiranya tadi benar-benar hilang, maka bisa dipastikan rasa sakitku akan bertambah. Untunglah ada ayahnya dengan sigap mengamankan benda berhargaku itu.Kumandang azan Isya sudah terdengar, pantas saja ayah Berlian lebih dulu beranjak, mau tunaikan kewajiban di masjid. Aku? Berhubung tergolong musafir, jadi salat Maghrib dan Isya digabung menjadi satu.Aku memilih untuk tidur lebih awal sesuai nasehat ayah Berlian, biar tidak terlambat besok pagi. Sejak jadwalku di rumah sakit terus bertambah beberapa tahun belakangan, porsi tidur memang sedikit terganggu. Terkadang sedang nyenyak, ada panggilan darurat dan tidak bisa menolak. Sekarang, aku akan menikmati tidur dengan suara deburan ombak yang terkadang memecah hening, kadang juga mengajak terlelap.Sudah tiga puluh menit berlalu, t
Read more

Bab. 27. Maukah Kamu Jadi Isteriku?

Berlian menutup pintu setelah mengucap salam. Aku merasa terbang ke awan, tak peduli badai, guntur, petir yang menyambar mendengar ucapan terima kasihnya barusan. Ia bilang terima kasih karena sudah mengkhawatirkan dirinya. Duh, Berlian, andaikan kamu tahu 24 jam aku memikirkanmu selama bertahun-tahun, hanya saja aku pandai menutupinya sebab tak ingin merusak persahabatan kita. Tetapi, kali ini aku tidak akan melakukannya, akan kuutarakan seluruh rasaku padamu di saat yang benar-benar tepat. Hari ini. Titik.Aku kembali ke kamar, membilas badan yang sempat diguyur hujan lantas mengganti pakaian. Untunglah Bu Siah sigap memasukkan dua stelan baju dan celana ke dalam tas ransel yang kubawa. Kalau tidak, entah dengan apa aku berganti pakaian.Deras hujan di luar mulai berkurang, lalu sayup-sayup terdengar suara murottal dari arah masjid, itu tandanya waktu adzan subuh sebentar lagi akan berkumandang. Aku bersiap-siap, jarak masjid dan penginapan hanya beberapa meter saja, bisa berjalan
Read more

Bab. 28. Masih Masa Iddah

Berlian spontan terbatuk dengan kencang. "Jangan bercanda kamu, Syim. Ini masih pagi buta.""Siapa yang bercanda?""Tentu saja kamu.""Aku tidak bercanda. Ini serius.""Syim, aku tahu kapan kamu serius dan kapan bercanda. Kita udah bersahabat sejak lama.""Ini serius, Lian." Aku menekan kalimat agar Berlian tidak menganggap aku sedang bercanda."Dokter Hasyim, tanah kuburan suamiku bahkan belum kering, orang yang melayat pun terkadang masih ada, masa iddahku juga masih lama, puteraku pun sudah remaja, mengapa senekat ini ingin menjadikanku istri?""Memangnya kenapa? Aku hanya ingin menyampaikannya sekarang, soal akad nikah, ya tentu saja setelah masa iddahmu selesai.""Ya, aku paham. Namun, bukan itu. Apa yang kamu harapkan dari perempuan yang sudah tidak muda lagi sepertiku?""Aku butuh istri, partner hidup, dan anak-anak yang kelak bisa mendoakan.""Berarti aku bukan orang yang tepat.""Tidak tepat bagaimana?""Usia kita sama, Syim. Untuk standar perempuan sepertiku sebentar lagi me
Read more

Bab. 29. Tamu Tengah Malam

"Maaf, ya, Syim. Aku gak bisa ngantar.""Gak apa-apa. Dermaganya deket aja, kok.""Hati-hati di jalan, Nak Hasyim.""Iya, Pak."Aku menjabat tangan Pak Makkatutu dan hanya menangkap kedua tangan kepada Berlian. Sungguh, kunjungan pertama kali yang luar biasa membuatku seperti manusia baru dengan cita-cita dan semangat yang baru pula.Setelah kembali ke penginapan, aku berkemas dan langsung berangkat menuju dermaga. Ternyata ucapan Berlian benar, semua penumpang sudah mulai berdatangan, beberapa menit berikutnya, perahu dompeng dengan kapasitas 30 orang siap berangkat.Kuarahkan pandangan ke gerbang dermaga seiring dengan semakin menjauhnya laju kapal. Ada rindu dan cinta yang tertinggal di sana. Cinta untuk Berlian dan seluruh pesonanya. Entah mengapa, hatiku langsung syahdu. Perlahan dermaga itupun semakin mengecil dalam pandangan. Kurang dari satu jam, perahu merapat di pelabuhan. Aku bernapas lega karena tiba dengan selamat beserta penumpang lainnya. Segera aku memesan taksi onli
Read more

Bab. 30. Permintaan Ngawur

Bidan Nurul?"Ia mengangkat wajah, binar matanya redup. Kutarik kursi di dekatnya lalu segera duduk mengambil posisi yang berjarak sekitar dua meter."M-maaf, Dok, kalau lancang datang kemari," ucapnya sembari kembali menundukkan wajah. Aku tak langsung menyahut. Merasa kaget saja. Tengah malam begini didatangi perempuan seorang diri, pasti ada yang tidak beres."A-aku tidak tahu mau ke mana, yang kuanggap tempat paling aman menyembunyikan rasa malu, ya di sini, rumah Dokter Hasyim." Ia terisak lagi."Nurul, please. Ini ada apa?" Akhirnya aku pun bertanya, mendapati ia seorang diri dengan kondisi sedang tidak baik-baik saja membuatku cemas dan berpikiran macam-macam."A-aku batal menikah, Dok. Calon suamiku tersandung kasus lagi."Ya Tuhan. Miris sekali mendengarnya. Padahal ini penantian panjang. Aku bahkan sudah menyiapkan kado istimewa untuknya."Bukannya kasus kemarin sudah selesai?""Bukan yang itu. Ini kasus baru lagi. Dia kepergok sedang transaksi obat terlarang. Bukan kepergo
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status