Sembari mengatur napas yang sempat berantakan, aku melangkah mendekat ke arah ayah Berlian. Beliau menunjukkan secarik kertas yang tadi sempat membuatku panik. Sekarang bukannya rasa panik itu hilang malah semakin bertambah. Aku berusaha menelan ludah yang mendadak tercekat."Makasih, Pak." Sigap aku meraih foto itu lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam saku kemeja."Foto Berlian?""I-iya, Pak." Pura-pura aku mengusap tengkuk, seakan-akan kedinginan oleh angin malam."Dulu, Berlian sangat ingin kuliah, tetapi sejak insiden ia terjatuh dan matanya sakit, kondisi tidak memungkinkan sebab harus rutin check up. Foto itu mengingatkan bahwa ia pernah sangat manis dengan bola mata yang berbinar."Aku yang mendengar itu langsung dihantam rasa bersalah hebat. Aku penyebab kegagalan Berlian meraih cita-citanya.Ayah Berlian menatap laut lepas sembari mengenang masa remaja puteri satu-satunya. "Sekarang pun jika cuaca sangat panas, bola matanya sering berair dan sedkit gatal.""Kata dokter wa
"Berlian satu-satunya sahabatku, Pak. Sejak kuliah aku tak pernah tahu informasi tentang Berlian, untunglah masih punya fotonya, setidaknya bisa jadi pengobat rindu sama masa-masa sekolah dulu.""Owh, jadi karena itu? Bukan sebab yang lain?"Sekali lagi, pertanyaan mematikan seperti ini membuatku susah berkutik. Ibarat berdiskusi, aku mendapat skak mat! Apa aku harus mengakuinya sekarang? Tapi, mungkin belum saatnya. Refleks tanganku meraih cangkir berisi sarabba' lalu menyeruputnya hingga tandas."Sepertinya Nak Hasyim suka sekali dengan sarabba', sampai menghabiskan dua cangkir." Ayah Berlian tertawa. Aku mendelik heran. Dua cangkir katanya? Oh, No! Benar. Dua cangkir. Ternyata efek skak mat, tanganku mengangkat cangkir milik ayah Berlian tanpa sadar. Mau bagaimana lagi, minuman jahenya sudah berenang di lambungku, tidak mungkin kumuntahkan kembali. Ini semua karena Berlian. Selalu membuatku salah tingkah."Oh, m-ma-af, Pak. Sarabba' nya terlalu nikmat." Jawaban asal kuberikan semba
Seperti itu kalimat yang tiba-tiba melintas di kepalaku. Semacam ada perintah dari kata hati, lamar ia!Saat kembali ke kamar, kusimpan foto Berlian yang barusan membuatku panik tak karuan ke dalam dompet. Sekiranya tadi benar-benar hilang, maka bisa dipastikan rasa sakitku akan bertambah. Untunglah ada ayahnya dengan sigap mengamankan benda berhargaku itu.Kumandang azan Isya sudah terdengar, pantas saja ayah Berlian lebih dulu beranjak, mau tunaikan kewajiban di masjid. Aku? Berhubung tergolong musafir, jadi salat Maghrib dan Isya digabung menjadi satu.Aku memilih untuk tidur lebih awal sesuai nasehat ayah Berlian, biar tidak terlambat besok pagi. Sejak jadwalku di rumah sakit terus bertambah beberapa tahun belakangan, porsi tidur memang sedikit terganggu. Terkadang sedang nyenyak, ada panggilan darurat dan tidak bisa menolak. Sekarang, aku akan menikmati tidur dengan suara deburan ombak yang terkadang memecah hening, kadang juga mengajak terlelap.Sudah tiga puluh menit berlalu, t
Berlian menutup pintu setelah mengucap salam. Aku merasa terbang ke awan, tak peduli badai, guntur, petir yang menyambar mendengar ucapan terima kasihnya barusan. Ia bilang terima kasih karena sudah mengkhawatirkan dirinya. Duh, Berlian, andaikan kamu tahu 24 jam aku memikirkanmu selama bertahun-tahun, hanya saja aku pandai menutupinya sebab tak ingin merusak persahabatan kita. Tetapi, kali ini aku tidak akan melakukannya, akan kuutarakan seluruh rasaku padamu di saat yang benar-benar tepat. Hari ini. Titik.Aku kembali ke kamar, membilas badan yang sempat diguyur hujan lantas mengganti pakaian. Untunglah Bu Siah sigap memasukkan dua stelan baju dan celana ke dalam tas ransel yang kubawa. Kalau tidak, entah dengan apa aku berganti pakaian.Deras hujan di luar mulai berkurang, lalu sayup-sayup terdengar suara murottal dari arah masjid, itu tandanya waktu adzan subuh sebentar lagi akan berkumandang. Aku bersiap-siap, jarak masjid dan penginapan hanya beberapa meter saja, bisa berjalan
Berlian spontan terbatuk dengan kencang. "Jangan bercanda kamu, Syim. Ini masih pagi buta.""Siapa yang bercanda?""Tentu saja kamu.""Aku tidak bercanda. Ini serius.""Syim, aku tahu kapan kamu serius dan kapan bercanda. Kita udah bersahabat sejak lama.""Ini serius, Lian." Aku menekan kalimat agar Berlian tidak menganggap aku sedang bercanda."Dokter Hasyim, tanah kuburan suamiku bahkan belum kering, orang yang melayat pun terkadang masih ada, masa iddahku juga masih lama, puteraku pun sudah remaja, mengapa senekat ini ingin menjadikanku istri?""Memangnya kenapa? Aku hanya ingin menyampaikannya sekarang, soal akad nikah, ya tentu saja setelah masa iddahmu selesai.""Ya, aku paham. Namun, bukan itu. Apa yang kamu harapkan dari perempuan yang sudah tidak muda lagi sepertiku?""Aku butuh istri, partner hidup, dan anak-anak yang kelak bisa mendoakan.""Berarti aku bukan orang yang tepat.""Tidak tepat bagaimana?""Usia kita sama, Syim. Untuk standar perempuan sepertiku sebentar lagi me
"Maaf, ya, Syim. Aku gak bisa ngantar.""Gak apa-apa. Dermaganya deket aja, kok.""Hati-hati di jalan, Nak Hasyim.""Iya, Pak."Aku menjabat tangan Pak Makkatutu dan hanya menangkap kedua tangan kepada Berlian. Sungguh, kunjungan pertama kali yang luar biasa membuatku seperti manusia baru dengan cita-cita dan semangat yang baru pula.Setelah kembali ke penginapan, aku berkemas dan langsung berangkat menuju dermaga. Ternyata ucapan Berlian benar, semua penumpang sudah mulai berdatangan, beberapa menit berikutnya, perahu dompeng dengan kapasitas 30 orang siap berangkat.Kuarahkan pandangan ke gerbang dermaga seiring dengan semakin menjauhnya laju kapal. Ada rindu dan cinta yang tertinggal di sana. Cinta untuk Berlian dan seluruh pesonanya. Entah mengapa, hatiku langsung syahdu. Perlahan dermaga itupun semakin mengecil dalam pandangan. Kurang dari satu jam, perahu merapat di pelabuhan. Aku bernapas lega karena tiba dengan selamat beserta penumpang lainnya. Segera aku memesan taksi onli
Bidan Nurul?"Ia mengangkat wajah, binar matanya redup. Kutarik kursi di dekatnya lalu segera duduk mengambil posisi yang berjarak sekitar dua meter."M-maaf, Dok, kalau lancang datang kemari," ucapnya sembari kembali menundukkan wajah. Aku tak langsung menyahut. Merasa kaget saja. Tengah malam begini didatangi perempuan seorang diri, pasti ada yang tidak beres."A-aku tidak tahu mau ke mana, yang kuanggap tempat paling aman menyembunyikan rasa malu, ya di sini, rumah Dokter Hasyim." Ia terisak lagi."Nurul, please. Ini ada apa?" Akhirnya aku pun bertanya, mendapati ia seorang diri dengan kondisi sedang tidak baik-baik saja membuatku cemas dan berpikiran macam-macam."A-aku batal menikah, Dok. Calon suamiku tersandung kasus lagi."Ya Tuhan. Miris sekali mendengarnya. Padahal ini penantian panjang. Aku bahkan sudah menyiapkan kado istimewa untuknya."Bukannya kasus kemarin sudah selesai?""Bukan yang itu. Ini kasus baru lagi. Dia kepergok sedang transaksi obat terlarang. Bukan kepergo
"Iya."Kulirik raut wajahnya yang kembali muram. Ia tak berkata apapun. Sebenarnya aku sungguh kasihan, tetapi permintaannya tak masuk akal. Mana ada pernikahan pura-pura. Nikah ya nikah saja. "Sudah kubilang, batalnya pernikahanmu itu sebagai bentuk pertolongan Allah, bayangkan seumpama pada saat akad nikah berlangsung lalu tiba-tiba datang aparat kepolisian menangkap suamimu. Malunya bisa dobel." Aku mencoba membesarkan hatinya. Ini bukan urusan mudah. Menanggung malu di hadapan keluarga besar, kerabat, dan tetangga sangatlah berat. Tetapi, sekali lagi. Bukankah ini cara Allah menunjukkan bahwa mereka tak berjodoh? Imani saja itu."Kalau begitu, boleh, kan aku menginap di sini?" "Pulanglah! Nanti aku order taksi online untukmu.""Malam ini saja, Dok!""Maaf. Kalau mau menginap nanti sekalian reservasi kamar hotel, kamu langsung ke sana saja. Matikan ponsel lalu tidur."Terdengar kurang empati sebenarnya, tetapi mau diapa, tak mungkin kukabulkan permintaannya untuk menginap di rum
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu