Bidan Nurul?"Ia mengangkat wajah, binar matanya redup. Kutarik kursi di dekatnya lalu segera duduk mengambil posisi yang berjarak sekitar dua meter."M-maaf, Dok, kalau lancang datang kemari," ucapnya sembari kembali menundukkan wajah. Aku tak langsung menyahut. Merasa kaget saja. Tengah malam begini didatangi perempuan seorang diri, pasti ada yang tidak beres."A-aku tidak tahu mau ke mana, yang kuanggap tempat paling aman menyembunyikan rasa malu, ya di sini, rumah Dokter Hasyim." Ia terisak lagi."Nurul, please. Ini ada apa?" Akhirnya aku pun bertanya, mendapati ia seorang diri dengan kondisi sedang tidak baik-baik saja membuatku cemas dan berpikiran macam-macam."A-aku batal menikah, Dok. Calon suamiku tersandung kasus lagi."Ya Tuhan. Miris sekali mendengarnya. Padahal ini penantian panjang. Aku bahkan sudah menyiapkan kado istimewa untuknya."Bukannya kasus kemarin sudah selesai?""Bukan yang itu. Ini kasus baru lagi. Dia kepergok sedang transaksi obat terlarang. Bukan kepergo
"Iya."Kulirik raut wajahnya yang kembali muram. Ia tak berkata apapun. Sebenarnya aku sungguh kasihan, tetapi permintaannya tak masuk akal. Mana ada pernikahan pura-pura. Nikah ya nikah saja. "Sudah kubilang, batalnya pernikahanmu itu sebagai bentuk pertolongan Allah, bayangkan seumpama pada saat akad nikah berlangsung lalu tiba-tiba datang aparat kepolisian menangkap suamimu. Malunya bisa dobel." Aku mencoba membesarkan hatinya. Ini bukan urusan mudah. Menanggung malu di hadapan keluarga besar, kerabat, dan tetangga sangatlah berat. Tetapi, sekali lagi. Bukankah ini cara Allah menunjukkan bahwa mereka tak berjodoh? Imani saja itu."Kalau begitu, boleh, kan aku menginap di sini?" "Pulanglah! Nanti aku order taksi online untukmu.""Malam ini saja, Dok!""Maaf. Kalau mau menginap nanti sekalian reservasi kamar hotel, kamu langsung ke sana saja. Matikan ponsel lalu tidur."Terdengar kurang empati sebenarnya, tetapi mau diapa, tak mungkin kukabulkan permintaannya untuk menginap di rum
Namaku Bulan Berlian. Kata ayah, nama ini hasil diskusi dengan ibu. Terlahir sebagai anak tunggal yang belum sempat merasakan hangatnya pelukan seorang ibu sebab beliau meninggal dunia sesaat setelah aku lahir ke dunia.Sejak ibu meninggal ayah memutuskan untuk tak menikah lagi. Alasannya ingin fokus membesarkan dan mendidikku saja. Ditambah lagi kecintaan kepada ibu yang tidak bisa tergantikan oleh sosok manapun. Ayah menduda sepanjang usianya, paling tidak hingga kini. Aku berulang kali meminta ayah menikah, tetapi beliau selalu mengalihkan pembicaraan. Aku paham, artinya ayah tak ingin membahas hal itu lagi.Aku dibesarkan penuh cinta dan kasih sayang. Saat remaja ayah selalu berpesan agar hati-hati dengan pergaulan terutama terhadap laki-laki. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk sahabatku Hasyim. Ia kawan yang sangat baik sehingga ayah memberi lampu hijau menjalin pertemanan dengannya. Hasyim anak yang sopan, cerdas, dan tidak gengsian.Pernah aku mendengar seseorang mengatakan j
Aku mengajaknya duduk di teras sambil mengobrol dan bercanda seperti sebelum-sebelumnya. Ia bercerita tentang pengalaman pertamanya duduk di bangku kuliah dan aku hanya bisa menyimak saja. Oh, iya. Ia membawakanku oleh-oleh, roti gembong super montok seperti kasur. Aroma dan rasanya enak. Terlebih saat ia bilang, itu hasil upahnya dari mengaduk semen, aku merasa cita rasa rotinya menjadi berkali lipat lebih enak. Ia bekerja sambil kuliah untuk biaya sehari-hari, lumayan kan, bisa mengurangi beban orang tuanya.Sekitar dua atau tiga bulan berikutnya, kabar gembira datang. Ayah diangkat menjadi PNS setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai honorer. Daerah penugasan Pulau Tanakeke. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meski sudah sering mendengar namanya. Kami berkemas, tidak banyak waktu yang diberikan sebab ayah sudah harus masuk mengajar sepekan setelah surat pengangkatan itu diterima.Bahkan mengunjungi orang tua Hasyim untuk sekadar pamitan pun sudah tidak sempat. Lalu aku menitip pe
Ya Allah! Tolong!" Teriakku kepada orang-orang agar segera memberikan bantuan. Untunglah di sekitar lokasi ada polisi yang sedang patroli dan langsung memberikan pertolongan.Suamiku dilarikan ke rumah sakit terdekat, darah segar mengucur dari kepala membasahi wajah dan pakaiannya hingga sulit dikenali. Matanya tertutup sempurna, ia tak bisa merespon apapun. Di titik ini aku benar-benar pasrah. Harapan satu-satunya hanyalah keajaiban dari Allah.Tiba di rumah sakit, petugas dengan sigap memeriksa lalu segera di masukkan ke ICU, ia kehilangan banyak darah, bagian kepalanya mengalami benturan hebat sehingga ia hilang kesadaran. Kata Dokter harus segera dilakukan operasi karena bagian kepala mengalami luka parah yang cukup dalam. Aku hanya menunduk pasrah. Segala doa kulangitkan demi keselamatan suamiku. Saat tengah duduk menunggu, seorang Dokter laki-laki berjalan mendekat, kumanfaatkan kesempatan untuk bertanya siapatahu dia tahu."Maaf, Dok. Mau nanya, Pasien atas nama Pak Ichwan Noor
Tanakeke … I'm ComingHadiah untuk Berlian tersimpan rapi dalam kotak beludru warna ungu muda dengan ikatan pita kecil di ujungnya. Kumasukkan kotak itu ke dalam tas lalu segera memacu kendaraan menuju pelabuhan penyeberangan. Satu jam lebih jaraknya dari kota. Tak masalah. Aku sudah terbiasa melakukan perjalanan jarak jauh. Untuk orang spesial kaki akan selalu ringan melangkah untuknya. Ponsel sengaja tidak kuaktifkan agar kali ini tidak ada yang mengganggu.Aku memilih menyetir sendiri sebab di sana tersedia area parkir yang cukup luas, kendaraan bisa dititip selama 24 jam atau lebih. Di sepanjang perjalanan beberapa kali aku mampir membeli buah tangan yang lain untuk Ahmad dan juga … ekhem, calon mertua. Sampai aku sedikit bingung bagaimana cara membawanya.Tak terasa mobilku sudah memasuki area pelabuhan. Kukurangi kecepatan lalu memutar ke arah parkiran. Saat turun dari mobil, bawaanku banyak sekali. Dua tangan ini tidak cukup muat untuk membawa semua hadiah untuk keluarga Berl
Motoris speedboat sudah siap dengan kemudinya. Dua orang lainnya pun telah duduk di atas speed. Tinggal aku yang ditunggu. Setelah memasang pelampung, aku menaiki Speedboat itu dengan sedikit meloncat. Barang bawaan diikat di bagian belakang.Jujur ini pertama kali aku naik speedboat kecil dengan kapasitas empat orang. Jantungku sempat berdebar-debar melihat gulungan ombak yang besar di depan sana. Belum lagi posisi seperti duduk di atas air membuat suasana hati makin tak karuan. Ya Allah semoga selamat sampai tujuan. Ini semua demi Berlian.Mesin mulai dihidupkan lalu ditambah volumenya, dalam sekejap speedboat ini melesat jauh meninggalkan dermaga. Wajahku tertampar angin laut tanpa henti. Setiap kali ada gelombang, peganganku makin kuat, lalu isi perut seperti diaduk-aduk, memberontak ingin mengeluarkan semua isi di dalamnya. Sekuat tenaga kutahan agar tenggorokanku bisa sedikit bersabar. Sedikit lagi tiba di tujuan.Kurang dari dua puluh menit, speedboat merapat di dermaga Tanekek
"Uhuk!"Berlian dan ayahnya spontan terbatuk bersamaan. Lantas mereka saling berpandangan dan tawanya pecah. Lho? Aku salah apa? Kupandangi mereka secara bergantian dengan tatapan heran. "Ehm, ada yang salah?" tanyaku dengan menggaruk-garuk kening."Hasyim, masa iddahku belum selesai lagian aku juga belum ngasih jawaban mau apa tidak." Nyaliku sedikit menciut mendengar pernyataan Lian. Ya, sedikit saja. Selebihnya masih berkobar seperti api yang disiram bensin."Kamu sabar aja dulu, jawabannya nanti setelah masa iddah habis langsung kuberitahu. Kamu siapkan mental jangan sampai pingsan." "Gak bisa jawab sekarang biar tidurku tenang, begitu?""Tidak bisa. Seorang wanita yang ditinggal mati atau cerai dengan suaminya, tidak boleh membahas masalah pinangan sebelum masa iddahnya berakhir. Itu yang kutahu dari ceramahnya para Ustaz. Meski jawabannya sudah kupersiapkan, tetapi nantilah kujawab jika waktunya sudah tiba.""Ehm, anu … maksudku, kasi bocoran sedikit saja." Aiih, bicara apa a