"Uhuk!"Berlian dan ayahnya spontan terbatuk bersamaan. Lantas mereka saling berpandangan dan tawanya pecah. Lho? Aku salah apa? Kupandangi mereka secara bergantian dengan tatapan heran. "Ehm, ada yang salah?" tanyaku dengan menggaruk-garuk kening."Hasyim, masa iddahku belum selesai lagian aku juga belum ngasih jawaban mau apa tidak." Nyaliku sedikit menciut mendengar pernyataan Lian. Ya, sedikit saja. Selebihnya masih berkobar seperti api yang disiram bensin."Kamu sabar aja dulu, jawabannya nanti setelah masa iddah habis langsung kuberitahu. Kamu siapkan mental jangan sampai pingsan." "Gak bisa jawab sekarang biar tidurku tenang, begitu?""Tidak bisa. Seorang wanita yang ditinggal mati atau cerai dengan suaminya, tidak boleh membahas masalah pinangan sebelum masa iddahnya berakhir. Itu yang kutahu dari ceramahnya para Ustaz. Meski jawabannya sudah kupersiapkan, tetapi nantilah kujawab jika waktunya sudah tiba.""Ehm, anu … maksudku, kasi bocoran sedikit saja." Aiih, bicara apa a
Aku dan Pak Makkatutu memasuki taman baca yang sudah mulai sepi. Maklum sudah mulai petang. Pengunjung tahu jika taman baca sebentar lagi akan ditutup.Jejeran buku terpajang rapi di atas rak. Kursi-kursi untuk pembaca di letakkan di bagian tengah, dikelilingi oleh tanaman bunga asoka di dalam pot besar juga rintik air buatan yang terus menetes di bagian dalam tembok. Suasananya adem. Siapapun yang datang akan betah."Kalau Nak Hasyim mau baca buku-buku tulisan Berlian, ada di rak warna putih itu." "Berlian jadi penulis?""Masin dalam tahap belajar. Beberapa tulisannya sudah dibukukan dan bisa dibaca gratis di taman baca ini.""Hebat.""Alhamdulillah. Ia memang sangat menyukai dunia pendidikan. Meski tidak sempat kuliah, tetapi paling tidak ilmunya yang sekarang bisa bermanfaat buat masyarakat di sini.""Wah, luar biasa ini, Pak. Saya saja yang kuliah tinggi-tinggi nggak kepikiran buat taman baca gratis untuk warga.""Nak Hasyim beda. Ruang lingkup Dokter lain juga. Tidak kepikiran b
Wah. Terima kasih banyak, ini pasti enak.""Iya. Sama-sama."Oleh-oleh itu diletakkan dalam kotak makanan yang yang bersusun lalu dilapisi tas bekal yang ada resletingnya. Biar aman sampai di tujuan."Aku pamit dulu. Assalamu alaikum.""Waalaikum salam." Lian, Ahmad, dan ayahnya kompak menjawab salamku.Segera aku menaiki ojek yang sudah sejak subuh kuorder. Ini saat yang paling kubenci, meninggalkan Tanakeke untuk waktu yang lama. Berjumpa hanya sehari, berpisah berminggu-minggu. Beraaaat!***Saat di dermaga semua penumpang sudah mengambil tempat. Seperti biasa aku duduk paling ujung agar leluasa menatap hamparan laut lepas, sesekali gemercik air mengenai wajahku. Kudekap erat-erat oleh-oleh yang diberikan Berlian. Jangan sampai ketinggalan. Aku pasti akan merutuki diri habis-habisan.Tak terasa perahu dompeng sudah tiba di tujuan. Lekas aku menuju mobil yang masih setia terparkir sejak kemarin. Setelah membayar biaya penitipan, kupacu ia menuju rumah. Perutku mendadak keroncongan.
Aku makan dengan lahap sekali. Perpaduan rasa lapar dan citarasa masakan Berlian yang lezat membuatku menghabiskan porsi nasi yang lebih banyak dari biasanya.Berhubung hari ini dinasnya sampai malam, kuminta Bu Siah menyiapkannya untuk bekal. Oleh-oleh dari Berlian ini bisa untuk beberapa kali makan, porsinya banyak sekali."Pak Dokter mau bawa bekal?""Iya, Bu.""Tumben.""Anggap aja lagi latihan, Bu.""Latihan?""Lagi latihan kalau nanti sudah menikah, tidak kaku lagi bawa bekal buatan isteri, Bu.""Oalah. Mosok begituan pakai latihan segala. Ada-ada aja." Bu Siah terkekeh sembari menyiapkan bekal yang kuminta.Setelah semua siap, kotak bekal itu kuletakkan di jok depan kemudian kuhidupkan mesin mobil. Saatnya berangkat menjemput rezeki.***Tiba di rumah sakit dengan langkah cepat aku menuju ruanganku. Satu hal yang kuhindari adalah berjumpa dengan Dokter Farid. Aku belum siap dibully meski amunisi sudah terisi penuh. Tapi, yang kuhindari justru yang paling pertama menyambutku, "S
Mulai sekarang aku menandai kalender dengan tanda silang. Setiap berlalu satu hari aku langsung mengambil spidol warna merah lalu menyilang pada tanggal yang tertera di sana. Ini salah satu cara agar aku benar-benar mempersiapkan diri saat waktunya sudah mulai dekat.Salah satu yang membuat tim medis di rumah sakit sangat sibuk yakni ketika bencana alam berganti-ganti antar wilayah. Belum lagi, kasus diare, typus, cedera, patah tulang, dan ibu-ibu yang melahirkan dalam kondisi darurat membuat kami harus benar-benar sigap.Saat-saat seperti ini dibutuhkan stamina dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika dalam kondisi darurat, penanganannya tidak kenal waktu. Saat itu juga harus segera dieksekusi.Aku hanya pulang ke rumah saat ingin berganti pakaian. Terkadang untuk istirahat pun hanya sempat setelah salat lima waktu, sekadar berbaring sekitar sepuluh menit atau lebih sedikit. Selanjutnya langsung bekerja lagi.Berkali-kali aku menghubungi nomor Berlian, tetapi tidak pernah aktif. Mungkin
Mereka bertiga saling berpandangan, lalu Berlian meraih tangan Ahmad, putera semata wayangnya."Hasyim, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum memberikan jawaban.""Iya. Aku siap mendengarkan."Berlian lalu menarik napas dalam-dalam kemudian memulai sesuatu yang hendak ia sampaikan."Syim, dulu sebelum aku menerima pinangan ayah Ahmad, rasa yang ada dalam hatiku murni karena Ahmad. Bayi kecil yang masih merah bahkan masih bau darah ditinggal meninggal oleh ibunya. Persis dengan kondisiku. Aku ingin menjadi ibunya yang siap merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan satu-satunya cara hanyalah menikah dengan ayahnya. Seiring berjalannya waktu, orang-orang bilang kami mirip. Bisa jadi karena cinta yang sudah melekat, aku tak pernah menganggap Ahmad sebagai anak sambung meski aku sendiri sampai sekarang belum bisa punya anak. Tanganku merawatnya dan lisanku mendoakannya hingga ia berlimpah kasih sayang hingga detik ini. Sekarang, saat Allah mengambil ayahnya kembali, cintaku se
Bangkit aku dari sujud lalu duduk kembali di kursi, tak hentinya tangan ini menyapu mata yang terus berair. Aku terharu, bahagia, campur aduk rasanya di dalam dada ini."M-makasih, Lian.""Iya, Syim. Aku yang seharusnya berterima kasih, kamu datang di saat yang tepat.""Begitu juga denganmu.""Pak, terima kasih banyak." Aku menoleh ke Ayah Berlian."Keputusan ini sepenuhnya mutlak Berlian yang tentukan. Bapak hanya sekadar memberi saran saja. Ternyata ia memutuskan untuk menerimamu. Alhamdulillah.""Insya Allah aku akan pulang mengabarkan pada orang tua, kemungkinannya hari ini juga. Ada speedboat yang bisa disewa untuk balik nanti, tidak mesti menunggu jadwal perahu besok.""Oh, iya. Speedboat milik juragan ikan di sini, kapasitasnya hanya empat orang.""Iya, Pak. Waktu kunjungan kedua aku naik itu karena sudah ketinggalan perahu dompengnya.""Syim, sampaikan salamku sama Mamak dan Bapak.""Iya. Salam dari calon mantu. Begitu?" Berlian langsung menunduk. Mungkin malu. Tapi, mengapa p
Iya, Mak. Setiap kali Mamak dan Bapak memintaku menikah, Hasyim tak pernah bisa jawab sebab keinginan berumah tangga hanya dengan Berlian saja. Sekarang Allah sudah membukakan jalan itu. Hasyim datang mengajukan diri sebagai suami keduanya. Bagaimana menurut Mamak dan Bapak? Tidak keberatan, kan punya menantu seorang janda?"Mamak dan Bapak saling menatap lantas tertawa bersamaan."Tentu saja tidak keberatan. Apa yang menjadi pilihanmu, jalani, dan bertanggung jawablah. Menikahi janda bukanlah aib karena tak seorang pun wanita di dunia ini yang mau menyandang status itu." Bapak memberikan jawaban yang meneduhkan. "Justeru Mamak dan Bapak bersyukur kamu akhirnya mau menikah, kami sempat khawatir kalau kamu ini tidak nor—mal." Mamak cepat mengatup mulutnya setelah kena teguran dari Bapak."Astaghfirullah, Mak." Aku geleng-geleng kepala mendengar pengakuan beliau. Ini akibat ulahku sampai Mamak punya pemikiran seperti itu. "Jadi rencanamu bagaimana?" Bapak menatap serius diikuti oleh M
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu