Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
"Maaf, Dok, panggilan darurat, ada pasien kecelakaan, harus segera dioperasi!" seru Dokter Andi, residen yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun terakhir, di rumah sakit terbesar di Makassar."Ya, persiapkan semuanya, aku menuju ke sana." Aku segera menutup sambungan telepon, lalu bersegera ke tempat tujuan. Padahal, rencananya ingin istirahat sebentar, mengingat jadwal operasi untuk nanti malam sudah menanti. Aku sangat lelah, sejak subuh hingga jam dua siang, pasien sedang antri untuk masuk di ruang operasi. Tapi, apa daya, keselamatan pasien di atas segalanya, menunda istirahat untuk saat ini adalah pilihan yang tepat.Kulajukan mobil dengan kecepatan di atas standar, sungguh beruntung kondisi jalan kota Makassar sedikit lengang setelah diguyur hujan deras, tidak ada drama macet di jalan selama berjam-jam, hingga akhirnya bisa tiba di tujuan hanya hitungan menit saja.Dengan langkah cepat kususuri koridor rumah sakit, lalu menuju kamar operasi. Tiga dokter spesialis lainnya sudah
Wanita itu segera kembali ke kursinya, ia menunduk dalam sembari mengatup kedua telapak tangan dengan erat di atas pangkuan, lalu jemarinya bergerak menyapu kelopak mata yang sudah berair. Bahunya sedikit berguncang. Ia menangis dengan suara yang nyaris tak terdengar.Cukup lama aku terdiam, mengamati wanita yang entah benar atau tidak, ia yang selama ini kucari. Wajahnya tertutup rapat oleh kain, jilbabnya menjulur panjang. Aku tak bisa menerka rupanya, tapi ada sesuatu yang membuatku yakin, jika dia adalah Bulan Berlianku. Rasa yang mendadak aneh setelah mengetahui namanya, ditambah lagi saat mendengar suaranya barusan. Bukankah ini ganjil. Merasa gembira sekaligus patah dalam waktu bersamaan. Rasanya campur aduk."Dok, ada yang bisa dibantu?" Suster Yani sedikit membuatku terlonjak."Ehm, tidak ada. Makasih." Refleks kumenjawab, lalu berlalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangan. Sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi khawatir ada yang curiga. Kembali aku terdud
Pak Makkatutu mengusap kepala puterinya penuh kasih sembari menepuk-nepuk pundaknya, semacam memberikan penguatan bahwa semua akan baik-baik saja."Kamu yang sabar, banyak doa, insya Allah suamimu akan sehat seperti semula." Terdengar Pak Makkatutu menenangkan Berlian. Suara berat khas miliknya membuatku seperti kembali ke masa-masa sekolah. Beliau yang sering menegur jika main terlalu lama dengan Berlian, beliau juga yang paling sering menanyakan kabar kedua orang tuaku juga rencana-rencana ke depan setelah tamat sekolah.Saat mereka berlalu dari hadapanku, aku pun berjalan menuju parkiran dengan tungkai kaki yang nyaris lepas. Rasa lelah, kaget, dan patah hati menjadi satu. Ingin segera tiba di rumah, lalu mengguyur tubuh ini dengan air, penat sekali rasanya.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebab jarak rumah sakit dengan kediamanku hanya sekitar lima belas menit. Tak menunggu lama, aku rebahkan diri di atas sofa setelah memasuki ruang tamu. Benar-benar lelah, jiwa raga.Ba
Semoga saja tekad untuk menyapa tidak menguap saat tiba di sana. Meski aku dan Berlian sudah berteman sejak lama, bukan berarti aku tidak akan canggung. Perjalanan waktu sudah mengikis keakraban itu, apalagi status sudah berbeda. Dia wanita bersuami, dan aku, lelaki lajang di usia terlampau dewasa."Assalamu alaikum, Dok," sapa dokter Andi yang mendampingiku di kamar operasi. "Waalaikum salam. Gimana, semua sudah siap?" tanyaku setelah tiba di rumah sakit dan berganti pakaian."Sudah, Dok.""Baik, mari kita mulai. Seperti biasa, kita berdoa semoga Allah memudahkan semuanya. Amiin." Setelah itu kami mulai bekerja. Aku mencoba fokus sebelum menyuntikkan anestesi epidural, namun entah kenapa tiba-tiba tanganku gemetar."Maaf, Dok. Anda baik-baik saja?" Aku menghela napas. "Iya, i'm ok."Lalu, kami melanjutkan tugas kembali setelah sempat terjeda sekian menit, sebab ingatanku yang tak bisa diajak kompromi. Bertahun-tahun aku melakukan tugas yang sama pada pasien dengan kasus serupa, te
Berlian dan Pak Makkatutu kompak menyebut namaku dengan girang"Iya, ini aku Hasyim, Lian, Pak," jawabku tak kalah antusias.Aku mengulurkan tangan pada Pak Makkatutu, tetapi beliau malah merangkulku dengan erat. "Masya Allah, sudah jadi orang hebat kamu, Nak," ucap beliau."Alhamdulillah, biasa saja, Pak. Ini semua berkat pertolongan Allah, kemudian orang baik di sekelilingku." "Kamu dokter apa?" tanya Berlian menelisik seolah sulit percaya jika yang berdiri di depannya adalah sahabat karib saat masih sekolah."Tukang bius-biusin pasien, Lian.""Owh, anestesi?" jawabnya semangat"Yup.""Berarti kamu yang tangani suamiku tadi siang?"Iya."Ia bertanya lagi padahal sudah kujelaskan sebelumnya. Mungkin, masih ada rasa tak menyangka jika dokter anestesi itu benar-benar aku orangnya.Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan beberapa menit. Berlian penasaran, bagaimana ceritanya hingga aku bisa mengabdi di rumah sakit besar ini. Tapi, aku bilang, sejarahnya panjang, nanti lain kali dibaha
Bab. 6. Ampuni Rasa IniSebentar! Aku ingin menepi dulu, kurasakan tengkukku pegal, kepala terasa berat. Baru saja aku bernapas lega karena sudah bertemu Berlian, sekarang harus berhadapan dengan masalah baru lagi. Nurul, sahabatku. Dan Berlian wanita istimewaku."Gimana, Dok?" tanya Nurul menyentakku.Belum aku menjawab, ia mengiba lagi. "Tolong, ya, Dok. Aku akan menanggung malu seumur hidup, jika pernikahanku batal karena calon suami masuk penjara."Duh, rasa kasihan padanya tiba-tiba mendominasi, tapi, bagaimana caraku menyampaikan pada keluarga Berlian, bukankah itu tak adil?Suaminya yang menjadi korban yang sampai hari ini masih dirawat akibat luka parah, masa iya harus diminta legowo.Lagipula, aku dan Berlian baru bertemu setelah bertahun-tahun, harusnya kami bernostalgia mengenang masa-masa sekolah, bukan malah mencampuri hal-hal seperti ini."Ehm, sekarang kamu istirahat saja dulu, besok kita akan pikirkan bersama. Pasien yang aku tangani tadi siang, benar, itu korbannya,
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu