Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Share

Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Berlian dan Pak Makkatutu kompak menyebut namaku dengan girang

"Iya, ini aku Hasyim, Lian, Pak," jawabku tak kalah antusias.

Aku mengulurkan tangan pada Pak Makkatutu, tetapi beliau malah merangkulku dengan erat. "Masya Allah, sudah jadi orang hebat kamu, Nak," ucap beliau.

"Alhamdulillah, biasa saja, Pak. Ini semua berkat pertolongan Allah, kemudian orang baik di sekelilingku." 

"Kamu dokter apa?" tanya Berlian menelisik seolah sulit percaya jika yang berdiri di depannya adalah sahabat karib saat masih sekolah.

"Tukang bius-biusin pasien, Lian."

"Owh, anestesi?" jawabnya semangat

"Yup."

"Berarti kamu yang tangani suamiku tadi siang?

"Iya."

Ia bertanya lagi padahal sudah kujelaskan sebelumnya. Mungkin, masih ada rasa tak menyangka jika dokter anestesi itu benar-benar aku orangnya.

Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan beberapa menit. Berlian penasaran, bagaimana ceritanya hingga aku bisa mengabdi di rumah sakit besar ini. Tapi, aku bilang, sejarahnya panjang, nanti lain kali dibahas. 

Lalu, aku pamit sebab tak ingin mengganggu istirahat mereka terutama pasien.

"Lian, ini kartu namaku, jika ada apa-apa jangan sungkan, apapun itu, hubungi nomor ini."

"Baik. Makasih, Syim," jawabnya. Hanya Berlian yang memanggilku dengan panggilan akrab seperti itu. Syim, katanya.

"Aku pamit dulu, insya Allah selama suamimu dirawat, aku akan terus memantaunya, banyak-banyaklah berdoa."

"Sekali lagi, makasih, Syim."

"Iya, sama-sama. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam. Eh, bentar, sampaikan salamku sama istrimu, ya. Kapan-kapan aku mau ngobrol sama dia, boleh?"

"Tentu saja boleh." Aku tersenyum dipaksakan. Habis mau jawab apalagi. Masa iya, aku harus mengakui sekarang jika belum punya isteri. Belum saatnya.

Sungguh, ada rasa yang terlampau lega dalam rongga dada ini. Meski sangat sulit, namun aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Berlian, dia sudah menikah dan bahagia dengan pilihannya. 

Aku hanya akan jadi perusak jika memperturutkan perasaan dan hal itu tidak akan pernah terjadi.

Aku mencintai Berlian, juga mencintai semua hal yang membuat dia bahagia. Saat ini hingga nanti hanya kesembuhan suaminya lah yang menjadi kebahagiaannya, bukan aku.

Sesederhana itu memang jika ingin berpikir logis. Melepas yang bukan milik kita, meski itu sulit.

Aku terus berjalan menyusuri ruang utama dan menuju parkiran tempat kendaraanku berada. Jam di pergelangan tangan menunjukkan sudah memasuki tengah malam. 

Saatnya pulang setelah menjalankan kewajiban, tapi, tiba-tiba ponselku berdering. Jika larut malam begini, aku tak pernah menunda mengangkat telepon, khawatirnya ada panggilan darurat yang butuh tindakan segera.

Mataku menyipit melihat nama yang tertulis pada layar ponsel. Bidan Nurul.

Siapatahu penting, tidak ada salahnya kujawab.

"Assalamu alaikum," sapaku lebih dulu

"Waalaikum salam," sahutnya dari seberang sana, terdengar seperti sengau, entah pilek atau sebab menangis.

"Iya?"

"Maaf, Dok. Malam-malam mengganggu, tapi, aku gak tau mau hubungi siapa lagi, a-aku, e-ehm…." Kalimatnya terbata-bata.

"Iya, kamu kenapa? Gak perlu sungkan begitu," ucapku menjeda kalimatnya.

Aku dan Bidan Nurul sudah seperti sahabat. Usianya pun sama denganku. Saking akrabnya, teman-teman menganggap kami pasangan serasi, mereka kerap menjodoh-jodohkan. Tapi, itu hanya dari penuturan Dokter Farid, bukan dari rekan sejawat yang lain karena mereka segan denganku yang irit bicara ini.

Kalau Dokter Farid, mulutnya memang lancang jika membahas soal jodoh denganku. Selalu saja aku dibuat salah tingkah.

"Aku ada di kantor polisi sekarang." Nurul menjawab lemah

"Apa?"

"Iya, minta tolong ke sini sebentar, aku dalam masalah!" Nurul sepertinya butuh bantuanku. Intonasi suaranya yang semula lemah dan datar berubah menjadi terburu-buru dan terdengar ketakutan.

Segera aku menghidupkan mesin mobil dan menuju ke kantor polisi, jiwa penasaranku bergejolak. Ada apa? Kok tengah malam Nurul ada di kantor polisi dan sedang dalam masalah?

Kurang dari sepuluh menit, mobilku memasuki area parkiran, tergesa aku keluar dari mobil dan setengah berlari ke ruang pelayanan.

Ada Bidan Nurul sedang tertunduk, tampilannya terlihat kacau. Sesekali ia mengusap airmata dengan tisu yang ada dalam genggamannya.

Di depannya ada dua orang petugas kepolisian sedang menulis sesuatu. Di sebelah Nurul, seorang laki-laki memakai jaket kulit warna hitam duduk tanpa ekspresi, pandangannya kosong, sikunya bertumpu pada meja dan bertopang dagu.

"Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam." Salamku dijawab oleh semua yang ada di ruangan itu, kecuali lelaki di dekat Nurul, ia hanya menoleh lalu memalingkan wajah.

Nurul segera berdiri begitu melihatku masuk ke ruangan. "Makasih, sudah mau datang."

"Iya, sama-sama." Aku menarik kursi plastik dekat pintu lalu duduk menghadap Nurul dan lelaki di sebelahnya.

"Ini ada apa? Kok malam-malam begini kamu ada di kantor polisi?" tanyaku dengan nada setengah berbisik.

"Sini, kita bicara di luar!"

Ia beranjak dan aku pun menyusulnya, kami berdiri di halaman tak jauh dari arah parkiran.

"Maaf, Dok, aku sudah merepotkan, tapi sekali lagi makasih sudah mau datang," ucapnya berterima kasih untuk yang kedua kali

"Iya, ini ada apa?" Aku mulai penasaran.

"Ehm, begini, laki-laki yang di dalam itu, calon suamiku, nah, tadi siang dia nabrak orang. Sayang sekali, bukannya turun bantuin korban yang ditabrak, dia malah melarikan diri, akhirnya dikejar polisi dan tertangkap."

"Jadi?"

"Sialnya, dia melarikan diri ke rumahku, jadi polisi menangkapnya di rumah."

"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" Aku mencoba menawarkan diri meski belum tahu solusi seperti apa yang akan kusarankan.

"Menurut informasi, korban itu sekarang dirawat di rumah sakit Wahidin, keadaannya parah, aku yakin pasti Dokter Hasyim yang menangani korbannya."

Dugaanku langsung melayang pada suami Berlian, beliau korban kecelakaan tabrak lari, dirawat di rumah sakit Wahidin, dan kejadiannya tadi siang. Jangan-jangan, dia orangnya.

"Iya, tadi siang aku menangani korban kecelakaan, lelaki usia 45 tahun."

"Nah, itu dia maksudku! Bisa minta tolong, Dok?" Mata Nurul langsung cerah setelah tahu aku yang menangani korban tabrak lari itu.

"Minta tolong apa?"

"Calon suamiku terkena pasal kelalaian dalam berkendara, dan hampir merenggut nyawa orang lain, kemungkinannya akan ditahan sesuai aturan yang berlaku, belum lagi tuntutan dari pihak korban, itu akan semakin menyulitkannya." Nurul tampak khawatir, rencana pernikahannya akan tertunda jika calon suaminya itu masuk bui.

"Lantas?"

"Bisa tidak, Dok. Dibantu mediasi ke pihak korban, tak perlu menuntut, aku akan membayar semua ganti rugi dan kompensasi yang lain."

"Maksudmu, diselesaikan secara kekeluargaan?"

"Iya."

Mendengar permintaan Nurul, aku langsung membuang napas berat, Nurul sahabat baikku, sebentar lagi akan melepas masa lajang, momen paling istimewa dalam hidupnya. Usia yang sudah tidak muda lagi, membuat ia tak ingin lagi menunda pernikahan. Sekarang, saat yang dinanti sudah ada di depan mata, malah tersandung kasus.

"Bagaimana? Bisa tidak, Dok?" Ia butuh jawaban yang meyakinkan.

"Apa kamu tahu identitas korban?" Aku bertanya agar tidak salah menduga, apakah korban yang dimaksud suami Berlian atau bukan.

"Tadi pihak kepolisian bilang, korban atas nama Pak Ichwan Noor, alamat Pulau Tanakeke." 

Apa? Tenggorokanku seakan tersedak saat ini juga.

Bab terkait

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 6. Ampuni Rasa Ini

    Bab. 6. Ampuni Rasa IniSebentar! Aku ingin menepi dulu, kurasakan tengkukku pegal, kepala terasa berat. Baru saja aku bernapas lega karena sudah bertemu Berlian, sekarang harus berhadapan dengan masalah baru lagi. Nurul, sahabatku. Dan Berlian wanita istimewaku."Gimana, Dok?" tanya Nurul menyentakku.Belum aku menjawab, ia mengiba lagi. "Tolong, ya, Dok. Aku akan menanggung malu seumur hidup, jika pernikahanku batal karena calon suami masuk penjara."Duh, rasa kasihan padanya tiba-tiba mendominasi, tapi, bagaimana caraku menyampaikan pada keluarga Berlian, bukankah itu tak adil?Suaminya yang menjadi korban yang sampai hari ini masih dirawat akibat luka parah, masa iya harus diminta legowo.Lagipula, aku dan Berlian baru bertemu setelah bertahun-tahun, harusnya kami bernostalgia mengenang masa-masa sekolah, bukan malah mencampuri hal-hal seperti ini."Ehm, sekarang kamu istirahat saja dulu, besok kita akan pikirkan bersama. Pasien yang aku tangani tadi siang, benar, itu korbannya,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 7. Aku Nyaris Gila

    Jarum jam sudah menunjukkan angka dua saat tiba di rumah. Aku masih ada waktu untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu subuh.Di rumah ini aku tinggal sendiri, ART hanya datang saat pagi, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci. Setelah semua beres, ia pulang. Kedua adikku sudah berkeluarga dan punya hunian masing-masing, Bapak dan Mamak tinggal di kampung, tiap dua pekan sekali aku kusempatkan menjenguk mereka.Jadi saat malam begini, sangat terasa sepi, benar-benar seorang diri. ****Sayup-sayup panggilan azan membuatku membuka mata, pelan aku bangkit ke kamar kecil, lalu berwudhu, dan segera ke masjid. Ini ajaran dari Bapak, sesibuk apapun, jangan pernah meninggalkan salat lima waktu berjamaah, kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan, di ruang operasi, misalkan.Beliau juga berpesan, jika cari lokasi tempat tinggal, usahakan yang dekat dengan masjid agar langkah tidak berat berjalan ke sana.Aku turuti semua nasehat beliau, rumah ini hanya berjarak sekitar tiga puluh m

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 8. Gantungan Kunci Istimewa

    Mendadak telapak tanganku berkeringat dingin. Aku tidak menyangka alasan Berlian begitu menakjubkan. Katanya, sebab kecelakaan ini, Allah mempertemukan kita kembali, sahabat di masa lalu dan selamanya akan begitu."Apapun itu, yang namanya kecelakaan pastilah menyedihkan, tetapi, itu semua sudah terjadi, dijalani saja." Berlian terus berbicara sembari kami jalan bersisian, bertiga dengan puteranya."Iya, betul. Allah mempertemukan kita sebab kecelakaan ini, bukan berarti aku bersyukur suamimu celaka, naudzubillah tidak seperti itu, ambil hikmahnya saja," ucapku dengan napas naik turun."Benar. Allah menempatkan takdir sesuai porsinya. Dijalani, ikhlas, dan ridho."Aku makin kagum saja dengan pola pikirnya, ia menjelma jadi manusia religius sekarang. Semakin dewasa semakin menggemaskan. Tetapi, apa daya, saat ini aku sebatas mengagumi. Tidak mungkin menjadi milikku. Ia sudah ada yang punya."Lian, sini kubantu bawakan, kayaknya bawaanmu berat sekali." Aku menawarkan bantuan, tas yang d

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 9. Nostalgia Yang Menyiksa

    Bab. 9. Nostalgia Yang MenyiksaAku mengayun langkah cepat, masih dengan raut gugup. Tak ada senyuman yang kutampakkan. Benar-benar rasa ini seperti mengacaukan hidupku.Bahkan tanpa sadar aku menabrak Dokter Farid yang juga berjalan cepat."Sorry, Dok," ucapku meminta maaf."Dokter Hasyim, ada apa? Wajahnya pucat lho?" Dokter Farid menimpali lalu menelisik ekspresiku dengan teliti"Masa' sih?" Aku berusaha menetralkan rasa, biar tidak kentara jika sejak tadi aku dilanda kegugupan."Iyyyaaa," jawabnya yakinAku sontak tertawa lalu menepuk bahunya dengan keras."Barusan aku bertemu bidadari, makanya pucat," sahutku dengan terkekeh. Ketawa yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan apa sebenarnya yang kurasakan."Heleh. Ada-ada saja. Bicara doang, gak ada bukti. KUA deket noh, ajak bidadarinya ke sana." Dokter Farid tak mau kalah, ia pun terkekeh sambil mengejek.Sudah kubilang, diantara semua rekan sejawat, hanya ia yang berani bicara ceplas ceplos soal jodoh denganku. Kalau sudah

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 10. Pesan Dari Berlian

    Saat asyik memutar memori tentang buah mangga dengan Berlian, ponselku tiba-tiba saja berdering. Dari Relawan PMI, tanpa pikir panjang segera kuangkat. Sepertinya kondisi darurat."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Suara salam dari ujung telepon terdengar tergesa-gesa."Waalaikumsalam. Iya, ada yang bisa dibantu?""Info gempa dan tsunami yang terjadi kemarin di kota Palu menelan korban jiwa yang terus bertambah. TKP butuh relawan, donasi, dan evakuasi! Seperti biasa, Dokter Hasyim yang kami amanahkan untuk memimpin tim relawan medis ke sana.""Iya. Siap! Kita adakan rapat terbatas dulu sekitar satu jam untuk menentukan titik evakuasi paling darurat," sahutku dengan kesiap-siagaan."Baik, Dok. Ditunggu di kantor Relawan PMI!" Tim dari sana segera menutup sambungan telepon.Segera aku bangkit dari kursi lalu menuju ruangan Dokter Farid. Tugas yang menanti beberapa jam ke depan akan aku alihkan untuknya. Penanganan darurat di medan bencana harus segera dieksekusi dan aku yang diminta unt

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 11. Menjadi Relawan

    Isi pesan Lian berturut-turut sampai empat kali dengan kalimat yang sama. Dari riwayat pesan, terkirim sejak aku masih di Makassar saat terjebak macet. Saat itu memang aku langsung menonaktifkan ponsel setelah rencana ingin membacanya karena klakson pengendara di belakang terus memberi kode agar kulajukan kendaraan.Ya Allah, bagaimana ini? Aku sudah janji akan ada di samping Berlian saat ia butuh bantuan, tetapi yang ada malah sebaliknya. Bahkan pesannya pun baru terbaca ketika posisiku terpisah ribuan kilometer darinya. Sahabat macam apa aku ini?Segera kutekan nomor yang tertera dalam pesan, tetapi tidak berdering. Kutekan lagi tetap tidak berdering. Lagi, lagi, dan lagi. Sama saja. Oh, astaga! Rupanya jaringan telepon sedang rusak karena bencana.Aku berlari ke posko TNI yang ada di bandara berusaha untuk mencari solusi. Aku tahu saat ini suami Berlian pasti sudah ditangani, hanya saja aku ingin benar-benar memastikan sekaligus memberikan support buat Berlian juga ingin mendengar

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 12. Mimpi Buruk

    "Hasyim! Tolong suamiku. Tolong dia. Aku mencintainya!" Suara tangis Berlian seakan menusuk tepat di jantungku.Baru kali ini aku mendengar tangisannya begitu memilukan. Sedalam itu ia mencintai."Tentu saja, aku akan berikan pelayanan terbaik untuk suamimu. Tugas kamu tolong bantu kami dengan doa." "Makasih, Syim. Sudah pasti doa terbaik untuknya." Berlian menunduk dengan mata yang sudah basah.Aku dan tim terus memantau keadaan Pak Ichwan, tak pernah kuberanjak darinya, lelaki yang terbaring ini adalah jantung hati Berlian. Wanita yang kucintai dengan sepenuh hati. Sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik demi melihatnya tersenyum bahagia bersama kekasih halalnya.sekitar dua puluh jam, ia berhasil melewati masa kritis. Tanda di monitor menunjukkan perkembangan yang baik. Saturasinya mulai normal, detak jantung juga sudah menguat, tekanan darah berangsur-angsur normal. Kulihat ia menggerakkan jari-jarinya.Dengan cekatan aku mendekat. "Alhamdulillah, Pak Ichwan sudah sadar." Ak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 13. Dilanda Rasa Khawatir

    Samar-samar terdengar suara gaduh di dekatku. Pelan kubuka mata dan auwh! Sakit sekali.Kuputar bola mata ke sekeliling, di tanganku sudah terpasang selang infus, di atas terpal yang beralaskan rerumputan. "Alhamdulillah, akhirnya Pak Dokter sudah siuman," ucap seseorang yang nampak antusias. Aku belum bisa mengenali wajahnya, penglihatanku belum pulih, hanya kilau cahaya samar yang bisa kutangkap."Alhamdulillah," sahut yang lain bersamaan."Tolong pantau terus perkembangannya, kabarkan segera jika ada keluhan lain!" Suara laki-laki itu menjauh setelah memberi instruksi."Auh, argh!" Aku mengerang menahan sakit pada area kepala dan juga punggung."Jangan banyak gerak dulu, Dok," pinta petugas yang berjaga di dekatku."M-maaf, kepalaku kenapa?" tanyaku setelah meraba perban yang melilit kepala."Ada luka yang cukup dalam, terkena reruntuhan bangunan," jawabnya"Bagaimana kondisi pasien?" tanyaku lirih sembari terus meringis."Semuanya sudah dievakuasi, kita ada di lokasi yang sama. T

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

DMCA.com Protection Status