Saat asyik memutar memori tentang buah mangga dengan Berlian, ponselku tiba-tiba saja berdering. Dari Relawan PMI, tanpa pikir panjang segera kuangkat. Sepertinya kondisi darurat."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Suara salam dari ujung telepon terdengar tergesa-gesa."Waalaikumsalam. Iya, ada yang bisa dibantu?""Info gempa dan tsunami yang terjadi kemarin di kota Palu menelan korban jiwa yang terus bertambah. TKP butuh relawan, donasi, dan evakuasi! Seperti biasa, Dokter Hasyim yang kami amanahkan untuk memimpin tim relawan medis ke sana.""Iya. Siap! Kita adakan rapat terbatas dulu sekitar satu jam untuk menentukan titik evakuasi paling darurat," sahutku dengan kesiap-siagaan."Baik, Dok. Ditunggu di kantor Relawan PMI!" Tim dari sana segera menutup sambungan telepon.Segera aku bangkit dari kursi lalu menuju ruangan Dokter Farid. Tugas yang menanti beberapa jam ke depan akan aku alihkan untuknya. Penanganan darurat di medan bencana harus segera dieksekusi dan aku yang diminta unt
Isi pesan Lian berturut-turut sampai empat kali dengan kalimat yang sama. Dari riwayat pesan, terkirim sejak aku masih di Makassar saat terjebak macet. Saat itu memang aku langsung menonaktifkan ponsel setelah rencana ingin membacanya karena klakson pengendara di belakang terus memberi kode agar kulajukan kendaraan.Ya Allah, bagaimana ini? Aku sudah janji akan ada di samping Berlian saat ia butuh bantuan, tetapi yang ada malah sebaliknya. Bahkan pesannya pun baru terbaca ketika posisiku terpisah ribuan kilometer darinya. Sahabat macam apa aku ini?Segera kutekan nomor yang tertera dalam pesan, tetapi tidak berdering. Kutekan lagi tetap tidak berdering. Lagi, lagi, dan lagi. Sama saja. Oh, astaga! Rupanya jaringan telepon sedang rusak karena bencana.Aku berlari ke posko TNI yang ada di bandara berusaha untuk mencari solusi. Aku tahu saat ini suami Berlian pasti sudah ditangani, hanya saja aku ingin benar-benar memastikan sekaligus memberikan support buat Berlian juga ingin mendengar
"Hasyim! Tolong suamiku. Tolong dia. Aku mencintainya!" Suara tangis Berlian seakan menusuk tepat di jantungku.Baru kali ini aku mendengar tangisannya begitu memilukan. Sedalam itu ia mencintai."Tentu saja, aku akan berikan pelayanan terbaik untuk suamimu. Tugas kamu tolong bantu kami dengan doa." "Makasih, Syim. Sudah pasti doa terbaik untuknya." Berlian menunduk dengan mata yang sudah basah.Aku dan tim terus memantau keadaan Pak Ichwan, tak pernah kuberanjak darinya, lelaki yang terbaring ini adalah jantung hati Berlian. Wanita yang kucintai dengan sepenuh hati. Sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik demi melihatnya tersenyum bahagia bersama kekasih halalnya.sekitar dua puluh jam, ia berhasil melewati masa kritis. Tanda di monitor menunjukkan perkembangan yang baik. Saturasinya mulai normal, detak jantung juga sudah menguat, tekanan darah berangsur-angsur normal. Kulihat ia menggerakkan jari-jarinya.Dengan cekatan aku mendekat. "Alhamdulillah, Pak Ichwan sudah sadar." Ak
Samar-samar terdengar suara gaduh di dekatku. Pelan kubuka mata dan auwh! Sakit sekali.Kuputar bola mata ke sekeliling, di tanganku sudah terpasang selang infus, di atas terpal yang beralaskan rerumputan. "Alhamdulillah, akhirnya Pak Dokter sudah siuman," ucap seseorang yang nampak antusias. Aku belum bisa mengenali wajahnya, penglihatanku belum pulih, hanya kilau cahaya samar yang bisa kutangkap."Alhamdulillah," sahut yang lain bersamaan."Tolong pantau terus perkembangannya, kabarkan segera jika ada keluhan lain!" Suara laki-laki itu menjauh setelah memberi instruksi."Auh, argh!" Aku mengerang menahan sakit pada area kepala dan juga punggung."Jangan banyak gerak dulu, Dok," pinta petugas yang berjaga di dekatku."M-maaf, kepalaku kenapa?" tanyaku setelah meraba perban yang melilit kepala."Ada luka yang cukup dalam, terkena reruntuhan bangunan," jawabnya"Bagaimana kondisi pasien?" tanyaku lirih sembari terus meringis."Semuanya sudah dievakuasi, kita ada di lokasi yang sama. T
Kepala yang diperban ini sakitnya tak kira-kira, seperti ditusuk-tusuk jarum yang mempengaruhi penglihatanku. Terlihat sedikit kabur di depan sana. Dengan susah payah aku berdiri dibantu relawan tadi. Ia mengangkat lenganku yang sebelah kiri lalu memapah tubuhku berjalan pelan-pelan."Jalannya pelan saja, ya, Dok.""Apa tidak bisa lebih cepat sedikit?""Luka yang diperban belum sepenuhnya kering, Dok. Harus pelan-pelan.""Iya aku paham, tapi ada hal genting yang harus segera kupastikan keadaannya.""Baik, Dok." Ia mempercepat langkah sembari terus memapah tubuhku. Terdengar napasnya terengah-engah membuatku iba, mungkin aku terlalu berlebihan.Akhirnya aku tiba di posko itu dengan sangat lelah karena kondisi yang dipaksakan. "Dokter Hasyim?" sapa seorang anggota TNI yang standby di poskonya."Iya, Pak." Pelan kuulurkan tangan dengan ramah."Ini kenapa? Silakan duduk atau mau berbaring saja?" Mungkin ia melihatku dalam kondisi sedang tak baik baik-baik saja, lalu menawarkan kasur khus
Semua petugas yang berada di posko ini langsung tercengang. Mereka kompak ber- 'hah' ria. "Ternyata Dokter Hasyim pandai juga bercanda?""Siapa yang bercanda?""Berarti benar Dokter Hasyim mau pulang karena darurat asmara?" Mereka tersenyum satu sama lain dan kompak melirik ke arahku."Oh, b-bukan begitu. Aku salah bicara. Maaf, ada hal penting di sana yang harus segera diselesaikan juga."Tentu saja mereka semua kaget sebab kondisiku yang belum memungkinkan untuk bepergian. Lagipula tidak ada alasan yang bisa diterima. Pertama, aku sakit dan butuh perawatan. Kedua, tugasku sebagai ketua relawan tidak bisa meninggalkan tim begitu saja."Jika di sana bisa diwakilkan sama yang lain, lakukan saja opsi itu, Dok. Untuk sekarang Dokter Hasyim harus pulih dulu," sahut yang lain."Sayang sekali, tidak bisa. Ini darurat."Aku memasang wajah memelas, berharap mereka akan trenyuh lalu memberikan lampu hijau. Aku tahu persis keadaanku tidak memungkinkan saat ini. Luka di kepala cukup serius dit
"Syim. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Suamiku meninggal dunia. Mohon doa terbaik buat beliau."Tanganku bergetar membaca pesan dari Berlian. Dadaku bergemuruh. Seketika ujung-ujung jari mendadak dingin."Maaf, Dok. Wajahnya pucat sekali. Apa perlu kita istirahat sebentar?" tanya petugas yang mendampingi seraya memindai wajahku."Ehm, tidak perlu. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" jawabku dengan napas sedikit tersengal."Jemputannya belum datang, masih di jalan katanya," Pendampingku mengingatkan lalu melirik ke ponselnya"Tak perlu nunggu jemputan, kita naik taksi bandara aja!""B-baik, Dok. Tapi, bagasi belum rampung?""Sambil menunggu bagasi, cancel aja jemputan yang sedang menuju kemari."Setelah merampungkan urusan bagasi, kami bergegas menuju pintu kedatangan. Para sopir sudah antri berjejer menawarkan jasa antar penumpang.Tak ingin menunggu lama, aku menunjuk sopir taksi terdekat dengan posisi kami."Rumah sakit Wahidin, Pak!" seruku pada Pak sopir saat telah melajukan mobi
Dokter Farid tak kuasa menolak apalagi jadwal dinasnya sudah selesai. Tak ada alasan untuk tak membantuku. "Ok. Tunggu di sini, aku ke parkiran." Ia berlari kecil menuju tempat parkir. Mobil sport warna hitam miliknya langsung meluncur dari area parkiran dan berhenti tepat di depanku."Ayo, pelan-pelan, Dok," sahutnya seraya memegang kursi roda dengan kuat. Aku memilih duduk di jok tengah sebab ingin lebih sedikit rileks."Sudah siap?" tanyanya memastikan."Ok. Siap. Berangkat!" Aku menaikkan jempol.Dokter Farid melajukan mobilnya. Ia terus bertanya rute sebab lokasi yang dituju belum pernah dikunjunginya sama sekali. Pelabuhan penyeberangan menuju Pulau Tanakeke butuh waktu sekitar satu jam perjalanan dari arah kota Makassar itupun kalau tidak macet. Jujur saja, hatiku saat ini sungguh tak karuan. Khawatir kalau-kalau nantinya jenazah Pak Ichwan sudah menyeberang, aku pasti ketinggalan kapal. Kalau tidak salah ingat, kapal yang menyeberang hanya satu kali dalam sehari. Agak lebih
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu