Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 7. Aku Nyaris Gila

Share

Bab. 7. Aku Nyaris Gila

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua saat tiba di rumah. Aku masih ada waktu untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu subuh.

Di rumah ini aku tinggal sendiri, ART hanya datang saat pagi, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci. Setelah semua beres, ia pulang. Kedua adikku sudah berkeluarga dan punya hunian masing-masing, Bapak dan Mamak tinggal di kampung, tiap dua pekan sekali aku kusempatkan menjenguk mereka.

Jadi saat malam begini, sangat terasa sepi, benar-benar seorang diri. 

****

Sayup-sayup panggilan azan membuatku membuka mata, pelan aku bangkit ke kamar kecil, lalu berwudhu, dan segera ke masjid. Ini ajaran dari Bapak, sesibuk apapun, jangan pernah meninggalkan salat lima waktu berjamaah, kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan, di ruang operasi, misalkan.

Beliau juga berpesan, jika cari lokasi tempat tinggal, usahakan yang dekat dengan masjid agar langkah tidak berat berjalan ke sana.

Aku turuti semua nasehat beliau, rumah ini hanya berjarak sekitar tiga puluh meter dari masjid. 

Saat selesai salat subuh, kajian rutin tak pernah kulewatkan, walau hanya sepuluh menit, tapi siraman rohani sangat penting untukku yang sangat sibuk ini.

Seperti niatku semalam saat mengunjungi Nurul, pagi ini akan menyempatkan ke kantor polisi sebelum ke rumah sakit. Yeah, menjenguk sebentar untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.

Aku sekarang berada dalam antrian panjang kemacetan, mau berbalik arah, tidak bisa. Jalurnya cuma satu, tidak ada opsi belokan di depan sana.

Kuputar love song untuk mengusir kejenuhan, hingga tak terasa sudah lebih dari satu jam mobil diam tak bergerak. Waktu-waktu sibuk seperti sekarang, semua orang keluar rumah beraktifitas, membuat jalanan macet tanpa bisa dihindari.

Entah sudah berapa kali lagu yang sama kuputar ulang, mengingatkan ke masa lalu, saat masih bersekolah, seringkali request lagu dari siaran radio favorit, dan mengirim salam buat teman-teman.

Satu-satunya teman yang sering aku kirimin salam lewat radio hanyalah Berlian. Meski tiap hari bertemu, rasanya selalu saja rindu. Lewat radio pula, aku merequest lagu untuknya. Lagu Beatiful Girl oleh Jose Mari Chan yang mewakili rasaku padanya.

Bunyi klakson bersahut-sahutan membuat kendaraan mulai merangkak maju. Kutarik tuas dengan pelan, lalu melajukan mobil hingga akhirnya berhasil keluar dari kemacetan.

Saat tiba di kantor polisi, kudapati Nurul masih dengan kostum yang sama, tetapi wajahnya kali ini lebih semringah.

"Alhamdulillah, Dok. Akhirnya dapat solusi." Dengan girang Nurul mengabarkan saat aku baru saja tiba.

"Maksudnya?"

"Tadi pagi-pagi sekali, keluarga korban sudah datang, ehm, isteri dan anak korban. Mereka baik banget ya Allah," pekik Nurul dengan semangat, sampai setengah meloncat.

"Isteri dan anaknya?"

"Iya, mereka datang memenuhi panggilan dari kepolisian, sikapnya tenang, tidak ada emosi, tidak gegabah, tidak brutal. Kalem, pokoknya."

"Jadi, sekarang bagaimana?"

"Ibu itu tidak akan menuntut calon suamiku dipenjarakan, Dok. Katanya, cukup membayar biaya-biaya selama mereka di rumah sakit, akomodasinya aja."

"Sekarang mereka di mana?"

"Sudah pulang barusan setelah menandatangani surat perjanjian, aku akan membayar seluruh biaya yang dimaksud."

"Apa dia tahu kalau kamu nakes di rumah sakit?"

"Ibu itu tidak bertanya, tetapi, kan ada dalam lampiran surat perjanjian."

"Oh, syukurlah,"

"Syukur? Maksudnya gimana, Dok?

"Ya, bersyukur aja, masalahmu tertangani dengan baik."

"Alhamdulillah."

"Hmm, kalau begitu, aku pamit, ya. Tugas di rumah sakit sudah menunggu."

"Iya, makasih, Dok."

"Makasih untuk apa? Aku tidak melakukan apapun."

"Yeah, paling tidak, Pak Dokter dateng dan memberiku semangat, my best friend."

"Oh, santai ajalah. Ok. Aku tinggal, ya."

Alhamdulillah problem Nurul sudah selesai. Saatnya bekerja. Ah, Berlian, ia memang wanita luar biasa, sifat pemaafnya membuat ia tidak mudah dilupakan.

Aduh, otakku mendadak oleng, kepikiran lagi, kepikiran lagi.

Fokus, Hasyiiiiiiim!

Kata hatiku memerintah, fokus dengan kerjaan, bukan malah mikirin isteri orang.

Astaghfirullah. Kuucap kalimat itu berkali-kali, lalu kubenamkan wajah pada stir mobil. Apa-apaan aku ini?

***

Tiba di rumah sakit, aku menelisik wajah pada cermin depan sebelum melangkah masuk ke lobi. Dari arah yang sama, kulihat Berlian dengan puteranya yang sampai hari ini belum diperkenalkan padaku sedang menenteng sesuatu.

"Lian? Dari mana?" tanyaku seolah-olah tak tahu

"Dari kantor polisi terus mampir di apotek, habis itu ke tempat laundry ngambil cucian, dan ke minimarket buat beli jajanannya anak sholeh ini," jawabnya memandang ke arah puteranya.

"Kantor polisi?" tanyaku lagi. Auh, kenapa juga aku bertanya lagi, padahal kan masalah ini sudah selesai.

"Iya, Syim, Alhamdulillah pelaku tabrak lari sudah ditangkap, aku diminta untuk datang, semacam menyampaikan tuntutan atas kelalaian si pelaku, tapi, aku tidak tega memenjarakannya."

"Kenapa?" Aku sungguh penasaran dengan jawabannya. Bukankah ia dan suaminya adalah korban? Wajar jika ia menuntut.

"Semua orang tidak ingin celaka, pasti ingin baik-baik saja, pelaku juga sangat menyesal kuliat, kasian banget, Syim. Kudengar ia juga akan menikah dalam waktu dekat, kalau dipenjara, kan malu."

"Ehm, tapi, kan biar ada efek jera, tidak ada salahnya, kan?" Aku mencoba memancingnya. Aku juga tidak tega.

"Kan, sudah ditangani polisi, biar dia dihukum sesuai peraturan yang berlaku aja, gak perlu lagi ditambahi oleh tuntutanku, tetapi selain dari itu ada alasan yang lebih masuk akal," ucap Berlian menghentikan ucapan

"Alasan apa?"

"Sebab kejadian ini, Allah mempertemukan kita, Syim."

Deg! 

Jantungku seperti terkena bom. Detakannya kencang. Aku tahu maksud Berlian, ia rindu dengan sahabatnya ini, tetapi, aku, tidak demikian. Aku merindukannya sebagai orang paling istimewa, lebih dari sekadar sahabat.

Tuhan, tolong!

Aku nyaris gila.

Bab terkait

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 8. Gantungan Kunci Istimewa

    Mendadak telapak tanganku berkeringat dingin. Aku tidak menyangka alasan Berlian begitu menakjubkan. Katanya, sebab kecelakaan ini, Allah mempertemukan kita kembali, sahabat di masa lalu dan selamanya akan begitu."Apapun itu, yang namanya kecelakaan pastilah menyedihkan, tetapi, itu semua sudah terjadi, dijalani saja." Berlian terus berbicara sembari kami jalan bersisian, bertiga dengan puteranya."Iya, betul. Allah mempertemukan kita sebab kecelakaan ini, bukan berarti aku bersyukur suamimu celaka, naudzubillah tidak seperti itu, ambil hikmahnya saja," ucapku dengan napas naik turun."Benar. Allah menempatkan takdir sesuai porsinya. Dijalani, ikhlas, dan ridho."Aku makin kagum saja dengan pola pikirnya, ia menjelma jadi manusia religius sekarang. Semakin dewasa semakin menggemaskan. Tetapi, apa daya, saat ini aku sebatas mengagumi. Tidak mungkin menjadi milikku. Ia sudah ada yang punya."Lian, sini kubantu bawakan, kayaknya bawaanmu berat sekali." Aku menawarkan bantuan, tas yang d

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 9. Nostalgia Yang Menyiksa

    Bab. 9. Nostalgia Yang MenyiksaAku mengayun langkah cepat, masih dengan raut gugup. Tak ada senyuman yang kutampakkan. Benar-benar rasa ini seperti mengacaukan hidupku.Bahkan tanpa sadar aku menabrak Dokter Farid yang juga berjalan cepat."Sorry, Dok," ucapku meminta maaf."Dokter Hasyim, ada apa? Wajahnya pucat lho?" Dokter Farid menimpali lalu menelisik ekspresiku dengan teliti"Masa' sih?" Aku berusaha menetralkan rasa, biar tidak kentara jika sejak tadi aku dilanda kegugupan."Iyyyaaa," jawabnya yakinAku sontak tertawa lalu menepuk bahunya dengan keras."Barusan aku bertemu bidadari, makanya pucat," sahutku dengan terkekeh. Ketawa yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan apa sebenarnya yang kurasakan."Heleh. Ada-ada saja. Bicara doang, gak ada bukti. KUA deket noh, ajak bidadarinya ke sana." Dokter Farid tak mau kalah, ia pun terkekeh sambil mengejek.Sudah kubilang, diantara semua rekan sejawat, hanya ia yang berani bicara ceplas ceplos soal jodoh denganku. Kalau sudah

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 10. Pesan Dari Berlian

    Saat asyik memutar memori tentang buah mangga dengan Berlian, ponselku tiba-tiba saja berdering. Dari Relawan PMI, tanpa pikir panjang segera kuangkat. Sepertinya kondisi darurat."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Suara salam dari ujung telepon terdengar tergesa-gesa."Waalaikumsalam. Iya, ada yang bisa dibantu?""Info gempa dan tsunami yang terjadi kemarin di kota Palu menelan korban jiwa yang terus bertambah. TKP butuh relawan, donasi, dan evakuasi! Seperti biasa, Dokter Hasyim yang kami amanahkan untuk memimpin tim relawan medis ke sana.""Iya. Siap! Kita adakan rapat terbatas dulu sekitar satu jam untuk menentukan titik evakuasi paling darurat," sahutku dengan kesiap-siagaan."Baik, Dok. Ditunggu di kantor Relawan PMI!" Tim dari sana segera menutup sambungan telepon.Segera aku bangkit dari kursi lalu menuju ruangan Dokter Farid. Tugas yang menanti beberapa jam ke depan akan aku alihkan untuknya. Penanganan darurat di medan bencana harus segera dieksekusi dan aku yang diminta unt

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 11. Menjadi Relawan

    Isi pesan Lian berturut-turut sampai empat kali dengan kalimat yang sama. Dari riwayat pesan, terkirim sejak aku masih di Makassar saat terjebak macet. Saat itu memang aku langsung menonaktifkan ponsel setelah rencana ingin membacanya karena klakson pengendara di belakang terus memberi kode agar kulajukan kendaraan.Ya Allah, bagaimana ini? Aku sudah janji akan ada di samping Berlian saat ia butuh bantuan, tetapi yang ada malah sebaliknya. Bahkan pesannya pun baru terbaca ketika posisiku terpisah ribuan kilometer darinya. Sahabat macam apa aku ini?Segera kutekan nomor yang tertera dalam pesan, tetapi tidak berdering. Kutekan lagi tetap tidak berdering. Lagi, lagi, dan lagi. Sama saja. Oh, astaga! Rupanya jaringan telepon sedang rusak karena bencana.Aku berlari ke posko TNI yang ada di bandara berusaha untuk mencari solusi. Aku tahu saat ini suami Berlian pasti sudah ditangani, hanya saja aku ingin benar-benar memastikan sekaligus memberikan support buat Berlian juga ingin mendengar

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 12. Mimpi Buruk

    "Hasyim! Tolong suamiku. Tolong dia. Aku mencintainya!" Suara tangis Berlian seakan menusuk tepat di jantungku.Baru kali ini aku mendengar tangisannya begitu memilukan. Sedalam itu ia mencintai."Tentu saja, aku akan berikan pelayanan terbaik untuk suamimu. Tugas kamu tolong bantu kami dengan doa." "Makasih, Syim. Sudah pasti doa terbaik untuknya." Berlian menunduk dengan mata yang sudah basah.Aku dan tim terus memantau keadaan Pak Ichwan, tak pernah kuberanjak darinya, lelaki yang terbaring ini adalah jantung hati Berlian. Wanita yang kucintai dengan sepenuh hati. Sudah seharusnya aku memberikan yang terbaik demi melihatnya tersenyum bahagia bersama kekasih halalnya.sekitar dua puluh jam, ia berhasil melewati masa kritis. Tanda di monitor menunjukkan perkembangan yang baik. Saturasinya mulai normal, detak jantung juga sudah menguat, tekanan darah berangsur-angsur normal. Kulihat ia menggerakkan jari-jarinya.Dengan cekatan aku mendekat. "Alhamdulillah, Pak Ichwan sudah sadar." Ak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 13. Dilanda Rasa Khawatir

    Samar-samar terdengar suara gaduh di dekatku. Pelan kubuka mata dan auwh! Sakit sekali.Kuputar bola mata ke sekeliling, di tanganku sudah terpasang selang infus, di atas terpal yang beralaskan rerumputan. "Alhamdulillah, akhirnya Pak Dokter sudah siuman," ucap seseorang yang nampak antusias. Aku belum bisa mengenali wajahnya, penglihatanku belum pulih, hanya kilau cahaya samar yang bisa kutangkap."Alhamdulillah," sahut yang lain bersamaan."Tolong pantau terus perkembangannya, kabarkan segera jika ada keluhan lain!" Suara laki-laki itu menjauh setelah memberi instruksi."Auh, argh!" Aku mengerang menahan sakit pada area kepala dan juga punggung."Jangan banyak gerak dulu, Dok," pinta petugas yang berjaga di dekatku."M-maaf, kepalaku kenapa?" tanyaku setelah meraba perban yang melilit kepala."Ada luka yang cukup dalam, terkena reruntuhan bangunan," jawabnya"Bagaimana kondisi pasien?" tanyaku lirih sembari terus meringis."Semuanya sudah dievakuasi, kita ada di lokasi yang sama. T

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 14. Darurat Asmara

    Kepala yang diperban ini sakitnya tak kira-kira, seperti ditusuk-tusuk jarum yang mempengaruhi penglihatanku. Terlihat sedikit kabur di depan sana. Dengan susah payah aku berdiri dibantu relawan tadi. Ia mengangkat lenganku yang sebelah kiri lalu memapah tubuhku berjalan pelan-pelan."Jalannya pelan saja, ya, Dok.""Apa tidak bisa lebih cepat sedikit?""Luka yang diperban belum sepenuhnya kering, Dok. Harus pelan-pelan.""Iya aku paham, tapi ada hal genting yang harus segera kupastikan keadaannya.""Baik, Dok." Ia mempercepat langkah sembari terus memapah tubuhku. Terdengar napasnya terengah-engah membuatku iba, mungkin aku terlalu berlebihan.Akhirnya aku tiba di posko itu dengan sangat lelah karena kondisi yang dipaksakan. "Dokter Hasyim?" sapa seorang anggota TNI yang standby di poskonya."Iya, Pak." Pelan kuulurkan tangan dengan ramah."Ini kenapa? Silakan duduk atau mau berbaring saja?" Mungkin ia melihatku dalam kondisi sedang tak baik baik-baik saja, lalu menawarkan kasur khus

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 15. Kabar Mengejutkan

    Semua petugas yang berada di posko ini langsung tercengang. Mereka kompak ber- 'hah' ria. "Ternyata Dokter Hasyim pandai juga bercanda?""Siapa yang bercanda?""Berarti benar Dokter Hasyim mau pulang karena darurat asmara?" Mereka tersenyum satu sama lain dan kompak melirik ke arahku."Oh, b-bukan begitu. Aku salah bicara. Maaf, ada hal penting di sana yang harus segera diselesaikan juga."Tentu saja mereka semua kaget sebab kondisiku yang belum memungkinkan untuk bepergian. Lagipula tidak ada alasan yang bisa diterima. Pertama, aku sakit dan butuh perawatan. Kedua, tugasku sebagai ketua relawan tidak bisa meninggalkan tim begitu saja."Jika di sana bisa diwakilkan sama yang lain, lakukan saja opsi itu, Dok. Untuk sekarang Dokter Hasyim harus pulih dulu," sahut yang lain."Sayang sekali, tidak bisa. Ini darurat."Aku memasang wajah memelas, berharap mereka akan trenyuh lalu memberikan lampu hijau. Aku tahu persis keadaanku tidak memungkinkan saat ini. Luka di kepala cukup serius dit

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

DMCA.com Protection Status