Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 39. Calon Isteri

Share

Bab. 39. Calon Isteri

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wah. Terima kasih banyak, ini pasti enak."

"Iya. Sama-sama."

Oleh-oleh itu diletakkan dalam kotak makanan yang yang bersusun lalu dilapisi tas bekal yang ada resletingnya. Biar aman sampai di tujuan.

"Aku pamit dulu. Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam." Lian, Ahmad, dan ayahnya kompak menjawab salamku.

Segera aku menaiki ojek yang sudah sejak subuh kuorder. Ini saat yang paling kubenci, meninggalkan Tanakeke untuk waktu yang lama. Berjumpa hanya sehari, berpisah berminggu-minggu. Beraaaat!

***

Saat di dermaga semua penumpang sudah mengambil tempat. Seperti biasa aku duduk paling ujung agar leluasa menatap hamparan laut lepas, sesekali gemercik air mengenai wajahku. Kudekap erat-erat oleh-oleh yang diberikan Berlian. Jangan sampai ketinggalan. Aku pasti akan merutuki diri habis-habisan.

Tak terasa perahu dompeng sudah tiba di tujuan. Lekas aku menuju mobil yang masih setia terparkir sejak kemarin. Setelah membayar biaya penitipan, kupacu ia menuju rumah. Perutku mendadak keroncongan.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 40. Dilarang Cuti

    Aku makan dengan lahap sekali. Perpaduan rasa lapar dan citarasa masakan Berlian yang lezat membuatku menghabiskan porsi nasi yang lebih banyak dari biasanya.Berhubung hari ini dinasnya sampai malam, kuminta Bu Siah menyiapkannya untuk bekal. Oleh-oleh dari Berlian ini bisa untuk beberapa kali makan, porsinya banyak sekali."Pak Dokter mau bawa bekal?""Iya, Bu.""Tumben.""Anggap aja lagi latihan, Bu.""Latihan?""Lagi latihan kalau nanti sudah menikah, tidak kaku lagi bawa bekal buatan isteri, Bu.""Oalah. Mosok begituan pakai latihan segala. Ada-ada aja." Bu Siah terkekeh sembari menyiapkan bekal yang kuminta.Setelah semua siap, kotak bekal itu kuletakkan di jok depan kemudian kuhidupkan mesin mobil. Saatnya berangkat menjemput rezeki.***Tiba di rumah sakit dengan langkah cepat aku menuju ruanganku. Satu hal yang kuhindari adalah berjumpa dengan Dokter Farid. Aku belum siap dibully meski amunisi sudah terisi penuh. Tapi, yang kuhindari justru yang paling pertama menyambutku, "S

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 41. Menagih Jawaban

    Mulai sekarang aku menandai kalender dengan tanda silang. Setiap berlalu satu hari aku langsung mengambil spidol warna merah lalu menyilang pada tanggal yang tertera di sana. Ini salah satu cara agar aku benar-benar mempersiapkan diri saat waktunya sudah mulai dekat.Salah satu yang membuat tim medis di rumah sakit sangat sibuk yakni ketika bencana alam berganti-ganti antar wilayah. Belum lagi, kasus diare, typus, cedera, patah tulang, dan ibu-ibu yang melahirkan dalam kondisi darurat membuat kami harus benar-benar sigap.Saat-saat seperti ini dibutuhkan stamina dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika dalam kondisi darurat, penanganannya tidak kenal waktu. Saat itu juga harus segera dieksekusi.Aku hanya pulang ke rumah saat ingin berganti pakaian. Terkadang untuk istirahat pun hanya sempat setelah salat lima waktu, sekadar berbaring sekitar sepuluh menit atau lebih sedikit. Selanjutnya langsung bekerja lagi.Berkali-kali aku menghubungi nomor Berlian, tetapi tidak pernah aktif. Mungkin

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 42. Aku Diterima!

    Mereka bertiga saling berpandangan, lalu Berlian meraih tangan Ahmad, putera semata wayangnya."Hasyim, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum memberikan jawaban.""Iya. Aku siap mendengarkan."Berlian lalu menarik napas dalam-dalam kemudian memulai sesuatu yang hendak ia sampaikan."Syim, dulu sebelum aku menerima pinangan ayah Ahmad, rasa yang ada dalam hatiku murni karena Ahmad. Bayi kecil yang masih merah bahkan masih bau darah ditinggal meninggal oleh ibunya. Persis dengan kondisiku. Aku ingin menjadi ibunya yang siap merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan satu-satunya cara hanyalah menikah dengan ayahnya. Seiring berjalannya waktu, orang-orang bilang kami mirip. Bisa jadi karena cinta yang sudah melekat, aku tak pernah menganggap Ahmad sebagai anak sambung meski aku sendiri sampai sekarang belum bisa punya anak. Tanganku merawatnya dan lisanku mendoakannya hingga ia berlimpah kasih sayang hingga detik ini. Sekarang, saat Allah mengambil ayahnya kembali, cintaku se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 43. Meminta restu

    Bangkit aku dari sujud lalu duduk kembali di kursi, tak hentinya tangan ini menyapu mata yang terus berair. Aku terharu, bahagia, campur aduk rasanya di dalam dada ini."M-makasih, Lian.""Iya, Syim. Aku yang seharusnya berterima kasih, kamu datang di saat yang tepat.""Begitu juga denganmu.""Pak, terima kasih banyak." Aku menoleh ke Ayah Berlian."Keputusan ini sepenuhnya mutlak Berlian yang tentukan. Bapak hanya sekadar memberi saran saja. Ternyata ia memutuskan untuk menerimamu. Alhamdulillah.""Insya Allah aku akan pulang mengabarkan pada orang tua, kemungkinannya hari ini juga. Ada speedboat yang bisa disewa untuk balik nanti, tidak mesti menunggu jadwal perahu besok.""Oh, iya. Speedboat milik juragan ikan di sini, kapasitasnya hanya empat orang.""Iya, Pak. Waktu kunjungan kedua aku naik itu karena sudah ketinggalan perahu dompengnya.""Syim, sampaikan salamku sama Mamak dan Bapak.""Iya. Salam dari calon mantu. Begitu?" Berlian langsung menunduk. Mungkin malu. Tapi, mengapa p

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 44. Sekarang Saja!

    Iya, Mak. Setiap kali Mamak dan Bapak memintaku menikah, Hasyim tak pernah bisa jawab sebab keinginan berumah tangga hanya dengan Berlian saja. Sekarang Allah sudah membukakan jalan itu. Hasyim datang mengajukan diri sebagai suami keduanya. Bagaimana menurut Mamak dan Bapak? Tidak keberatan, kan punya menantu seorang janda?"Mamak dan Bapak saling menatap lantas tertawa bersamaan."Tentu saja tidak keberatan. Apa yang menjadi pilihanmu, jalani, dan bertanggung jawablah. Menikahi janda bukanlah aib karena tak seorang pun wanita di dunia ini yang mau menyandang status itu." Bapak memberikan jawaban yang meneduhkan. "Justeru Mamak dan Bapak bersyukur kamu akhirnya mau menikah, kami sempat khawatir kalau kamu ini tidak nor—mal." Mamak cepat mengatup mulutnya setelah kena teguran dari Bapak."Astaghfirullah, Mak." Aku geleng-geleng kepala mendengar pengakuan beliau. Ini akibat ulahku sampai Mamak punya pemikiran seperti itu. "Jadi rencanamu bagaimana?" Bapak menatap serius diikuti oleh M

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 45. Surat Cinta Berlian

    Alhamdulillah acara lamaran berlangsung lancar dan khidmat. Bibirku terus komat kamit melontarkan tahmid. Ratusan atau bahkan ribuan kali aku menyebutnya. Keluargaku juga sudah kembali ke kampung. Mulai hari ini akan dipersiapkan segala sesuatu untuk hari H-nya. Sedangkan aku langsung menuju ke kota mengantar Bu Siah yang juga turut serta."Pak, ini ada titipan dari Mbak Berlian." Bu Siah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya saat aku sudah tiba di rumah."Apa ini?""Kurang tahu, Pak. Tadi waktu di rumahnya, Ibu, kan bantu-bantuin di dalam sekalian kenalan dengan Mbak Berlian, pas tahu kalau Ibu ini asistennya Pak Dokter, Mbak Berlian langsung kasi amplop buat Dokter Hasyim, katanya." Bu Siah menunjuk amplop yang sudah ada dalam genggamanku."Oh. Terima kasih, ya, Bu." Aku langsung melangkah ke kamar. Padahal rencananya ingin segera ke rumah sakit. Penasaran apa sih isinya.Kusandarkan punggung pada sandaran tempat tidur sembari membuka amplop yang tadi Bu Siah berikan. Selembar sur

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 46. Akhirnya Bisa!

    "Beberapa hari ini sepertinya Dokter Hasyim sibuk sekali." Seperti biasa, Dokter Farid orang yang paling 'perhatian' dengan hidupku. Ia langsung masuk ke ruangan karena melihatku seolah berubah jadi pendiam. Ia tidak tahu saja kalau aku bukan berubah melainkan karena sedang sibuk belajar mengaji sampai ke rumah sakit pun aku tak pernah menyia-nyiakan waktu istirahat. Selalu saja kumanfaatkan untuk belajar."Iya. Aku banyak target hidup yang harus dituntaskan dalam waktu dekat.""Contohnya?""Menikah." Spontan ia tertawa terbahak-bahak. "Bicara terus, gak ada bukti!" Ia mencebik."Kalau tidak percaya, nih buktinya!" Kusodorkan undangan pernikahan dengan Berlian. Ia masih terlihat santai sebelum undangan itu dibukanya. Tapi, setelah ia membaca undangan itu, mulutnya menganga dengan bola mata yang membulat sempurna."I-ini serius, Dok?""Masa' iya main-main. Di situ kan tertulis namaku dengan jelas dan terang."Ia membaca ulang lagi undangan di tangannya, "Oooh, pantesan beberapa kali n

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 47. Sah!

    Seperti niatku akan cuti empat hari sebelum akad nikah. Hari ini aku sudah mulai berkemas. Bu Siah sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten rumah tangga yang patut diacungi jempol. Selalu bisa diandalkan dalam setiap kondisi. Aku terima beres saja. Teman-teman yang lain pun ikut membantu, terutama Dokter Farid yang sangat sibuk mengurus semuanya. Anggap saja sebagai tebusan karena selama bartahun-tahun aku menjadi 'korban' bully-nya."Pak, semua sudah siap, barang-barang sudah di masukkan ke bagasi." Bu Siah memberitahu dengan sopan. Jika sudah beres, itu artinya tinggal tancap gas lalu berangkat ke kampung. "Iya, Bu. Pastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat.""Sudah semuanya.""Oke. Kita berangkat!" sahutku dengan semangat. Bu Siah tak kalah semangat dan gembira. Sebentar lagi ia akan punya nyonya di rumah ini, jadi tidak merasa sepi. Sebelum berangkat kami mampir ke bengkel tempat suami Bu Siah bekerja, bukan hendak pamit, tetapi suami Bu Siah ingin turut serta ke kam

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

DMCA.com Protection Status