Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab. 45. Surat Cinta Berlian

Share

Bab. 45. Surat Cinta Berlian

Penulis: PopuJia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Alhamdulillah acara lamaran berlangsung lancar dan khidmat. Bibirku terus komat kamit melontarkan tahmid. Ratusan atau bahkan ribuan kali aku menyebutnya.

Keluargaku juga sudah kembali ke kampung. Mulai hari ini akan dipersiapkan segala sesuatu untuk hari H-nya. Sedangkan aku langsung menuju ke kota mengantar Bu Siah yang juga turut serta.

"Pak, ini ada titipan dari Mbak Berlian." Bu Siah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya saat aku sudah tiba di rumah.

"Apa ini?"

"Kurang tahu, Pak. Tadi waktu di rumahnya, Ibu, kan bantu-bantuin di dalam sekalian kenalan dengan Mbak Berlian, pas tahu kalau Ibu ini asistennya Pak Dokter, Mbak Berlian langsung kasi amplop buat Dokter Hasyim, katanya." Bu Siah menunjuk amplop yang sudah ada dalam genggamanku.

"Oh. Terima kasih, ya, Bu." Aku langsung melangkah ke kamar. Padahal rencananya ingin segera ke rumah sakit. Penasaran apa sih isinya.

Kusandarkan punggung pada sandaran tempat tidur sembari membuka amplop yang tadi Bu Siah berikan. Selembar sur
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 46. Akhirnya Bisa!

    "Beberapa hari ini sepertinya Dokter Hasyim sibuk sekali." Seperti biasa, Dokter Farid orang yang paling 'perhatian' dengan hidupku. Ia langsung masuk ke ruangan karena melihatku seolah berubah jadi pendiam. Ia tidak tahu saja kalau aku bukan berubah melainkan karena sedang sibuk belajar mengaji sampai ke rumah sakit pun aku tak pernah menyia-nyiakan waktu istirahat. Selalu saja kumanfaatkan untuk belajar."Iya. Aku banyak target hidup yang harus dituntaskan dalam waktu dekat.""Contohnya?""Menikah." Spontan ia tertawa terbahak-bahak. "Bicara terus, gak ada bukti!" Ia mencebik."Kalau tidak percaya, nih buktinya!" Kusodorkan undangan pernikahan dengan Berlian. Ia masih terlihat santai sebelum undangan itu dibukanya. Tapi, setelah ia membaca undangan itu, mulutnya menganga dengan bola mata yang membulat sempurna."I-ini serius, Dok?""Masa' iya main-main. Di situ kan tertulis namaku dengan jelas dan terang."Ia membaca ulang lagi undangan di tangannya, "Oooh, pantesan beberapa kali n

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 47. Sah!

    Seperti niatku akan cuti empat hari sebelum akad nikah. Hari ini aku sudah mulai berkemas. Bu Siah sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten rumah tangga yang patut diacungi jempol. Selalu bisa diandalkan dalam setiap kondisi. Aku terima beres saja. Teman-teman yang lain pun ikut membantu, terutama Dokter Farid yang sangat sibuk mengurus semuanya. Anggap saja sebagai tebusan karena selama bartahun-tahun aku menjadi 'korban' bully-nya."Pak, semua sudah siap, barang-barang sudah di masukkan ke bagasi." Bu Siah memberitahu dengan sopan. Jika sudah beres, itu artinya tinggal tancap gas lalu berangkat ke kampung. "Iya, Bu. Pastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat.""Sudah semuanya.""Oke. Kita berangkat!" sahutku dengan semangat. Bu Siah tak kalah semangat dan gembira. Sebentar lagi ia akan punya nyonya di rumah ini, jadi tidak merasa sepi. Sebelum berangkat kami mampir ke bengkel tempat suami Bu Siah bekerja, bukan hendak pamit, tetapi suami Bu Siah ingin turut serta ke kam

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 48. Mulai Tak Fokus

    Di umur seperti sekarang baru merasakan cubitan mesra perempuan. Tak apa terlambat menikah yang penting dengan orang yang tepat. Ini pendapat pribadiku saja, tidak untuk ditiru orang lain.Berlian meraih tanganku lalu menciumi punggungnya. Ada tetesan hangat yang membasahi kulitku"Kamu menangis?"Lian mengangguk. Kemudian air matanya semakin deras. Segera kuraih tissue dan menyapu lembut cairan bening itu."Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Aku hanya terharu dengan apa yang sudah kita lewati sampai di titik ini." Ia menunduk dengan suara yang lirih.Aku mengusap dada lega. Kirain ada apa? Bukan hanya Lian yang terharu, aku juga sama."Sudah. Jangan nangis, nanti riasan kamu berantakan." Sembari menenangkan, pelan kukecup keningnya dengan lembut. Oh, ya Allah. Rasanya mau pingsan. Begini ternyata sensasinya menjadi pengantin baru.Selanjutnya kuletakkan tanganku di atas ubun-ubunnya lalu melafazkan doa seperti yang diajarkan Ustaz Faqih. "Yuk, kita temui Mamak dan Bapak." Ajaknya sembar

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 49. Malam Pertama

    Selepas salat Isya berjamaah, ayah mertua mengajak duduk sebentar mendengarkan ceramah. Karena tak enak hati, aku menurut. Padahal aku sudah terbayang-bayang dengan wanita yang sudah sah menjadi istriku beberapa jam yang lalu.Pikiranku sulit fokus menangkap penyampaian Pak Ustaz. Sesekali melihat ke arah jam digital yang terpasang di atas mimbar. Katanya cuma kultum, tapi kok sudah setengah jam belum selesai-selesai juga. Pertahananku mulai oleng. Duduk layaknya orang gelisah. Pandanganku mengarah ke sembarang tempat. Ayah mertua yang mungkin menyadari tingkahku langsung paham dan meminta izin untuk pamit lebih dulu sebelum majelis dibubarkan. Dalam hati bersorak girang. Mertuaku memang tak ada duanya, selalu paham kode-kode abstrak pengantin baru sepertiku.Jarak masjid lumayan dekat. Cukup berjalan kaki saja. Tidak ada obrolan yang mewarnai langkah kami. Ayah mertua cuma senyum-senyum saja, membuatku sedikit salah tingkah. Saat tiba di gerbang penginapan, barulah ayah mertua membu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 50. Panggil Aku, Papah!

    "Apanya yang diteruskan?" Ia sedikit memiringkan wajah melihat ke arahku"Soal yang tadi, jendela di penginapan ini yang sengaja di desain bisa buka tutup manual." Aku menirukan kalimatnya."Owh. Iya, supaya setiap pengunjung bisa melempar pandangan ke laut lepas di depan sana tanpa penghalang apapun. Terkadang dengan melihat samudera luas pikiran menjadi lebih rileks, meneduhkan. Meski kadang-kadang gemuruh ombak terdengar ganas?""Maksudnya bagaimana? Meneduhkan tapi kadang-kadang terdengar ganas?" Begini beristrikan penulis. Bahasanya sering membuat bingung."Maksudnya. Laut itu meneduhkan jika dipandang. Kita menoleh ke kiri, tetap sama. Ke kanan pun begitu. Sama-sama air laut. Tak ada warna lain yang terlihat selain biru yang membentang hingga ke kaki langit. Kadang-kadang terdengar ganas sebab gemuruhnya bisa menjadi pertanda bahwa cuaca sedang tak bersahabat. Jangan sekali-kali melaut karena resikonya sangat besar. Di laut ada kehidupan juga ada kematian.""Oh, ya?" Kuberanikan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 51. Sarapan Istimewa

    Mataku mulai terbuka pelan. Tanganku meraba tempat tidur. Kosong. Aku terlonjak dengan mata melebar. Berlian, di mana?Segera aku bangkit menyibak selimut dan bergegas ke kamar mandi. Kosong juga. Ia kemana, ya? Aku benar-benar terlelap hingga lupa jika matahari sudah meninggi. Apa mungkin ia ke rumah melihat Ahmad? Bisa jadi. Aku mandi terlebih dahulu. Lantas memakai pakaian yang sudah menyampir rapi di sandaran kursi. Ini pasti Berlian yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan ia? Baju kaos santai tanpa kerah dengan celana panjang hitam berbahan semi jeans langsung kukenakan. Bahkan minyak rambut dan parfum pun sudah ia sediakan. Ehm, aku sungguh tersanjung.Pintu berderit pelan sontak membuatku menoleh. "Assalamu alaikum, sudah bangun?""Waalaikum salam. Iya. Sudah mandi malahan. Dari mana, Sayang?""Dari pantry nyiapin makanan." Ia meletakkan sajian di atas meja."Kan, bisa meminta karyawan buat nganter ke sini. Tadi sempat kaget tiba-tiba meraba ke samping, kamu sudah tidak ada."

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 52. Apa Aku Ganteng?

    "Ia mau ziarah ke makam ayah ibunya.""Owh.""Bolehkan, Sayang?" Berlian menatapku serius "Tentu saja boleh, Sayang. Ahmad anakku juga, kan?""Alhamdulillah." Kulihat ia menarik napas lega.Aku tahu mungkin di hati Berlian ada sedikit kekhawatiran terhadapku atas penerimaan Ahmad sebagai anak sambung. Padahal, dari awal aku sudah berusaha meyakinkan kalau Ahmad itu anakku juga. Dengan adanya pernikahan ini berarti aku bertanggung jawab atas semua penghuni rumahku. Kepada pasien saja aku begitu peduli apalagi kepada Ahmad, ia permata hati istriku walau tidak lahir dari rahimnya. Meski aku hanya ayah sambung, tetapi tidak akan mempengaruhi kasih sayangku terhadapnya.***Setelah sarapan kami langsung berkemas kembali ke rumah. Ya, cuma satu malam menginap di penginapan selanjutnya di rumah Berlian sampai masa cutiku hampir habis.Ahmad dan ayah mertua sudah siap. Kami berangkat bersama ke pemakaman. Jaraknya juga tidak begitu jauh. Dua kuburan berdampingan. Satu ibunya Ahmad dan satun

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 53. Meninggalkan Pulau Tanakeke

    Ayah ikut kami saja ke kota. Sekali sepekan datang ke Pulau cek penginapan dan taman baca, bagaimana?" Berlian mencoba membujuk ayah mertua agar mau ikut bersama kami. "Saya setuju dengan Lian, Yah. Kalau Lian ikut saya ke kota otomatis Ayah sendiri di sini. Bagusnya ikut saja bersama kami." Aku pun melakukan hal yang sama. Membujuk ayah mertua untuk tinggal di kota."Tidak apa-apa, Nak. Justeru di sini Ayah banyak kesibukan. Setiap hari bisa ke taman baca, memantau karyawan di penginapan juga tamu-tamu yang datang."Ayah mertua menolak dengan halus."Tapi, siapa yang akan mengurus Ayah? Selama ini kita selalu sama-sama. Sekarang, aku harus ikut suami. Maunya ayah juga ikutlah. Please!" Berlian memohon sembari memeluk ayahnya."Kan ayah sudah bilang, di sini ada karyawan yang bisa diandalkan apalagi cuma soal makanan, semuanya tersedia. Kamu jangan khawatir, Nak." Ayah mertua berusaha meyakinkan Berlian bahwa ia baik-baik saja meskipun ditinggal pergi oleh puterinya."Tapi, kan tidak

Bab terbaru

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 75. Bahagia Tak Terkira (Tamat)

    Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 73. Jagung Rebus

    Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 72. Ngidam Berat

    "Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 71. Pisah Kamar

    Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Berlian Pingsan

    Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 70. Menjemput Berlian

    Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 69. Terpasung Rindu

    Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 68. Rindu Tanakeke

    Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu

  • Kutunggu Jandamu   Bab. 67. Ya, Allah Sembuhkan Isteriku

    "Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu

DMCA.com Protection Status