Ayah ikut kami saja ke kota. Sekali sepekan datang ke Pulau cek penginapan dan taman baca, bagaimana?" Berlian mencoba membujuk ayah mertua agar mau ikut bersama kami. "Saya setuju dengan Lian, Yah. Kalau Lian ikut saya ke kota otomatis Ayah sendiri di sini. Bagusnya ikut saja bersama kami." Aku pun melakukan hal yang sama. Membujuk ayah mertua untuk tinggal di kota."Tidak apa-apa, Nak. Justeru di sini Ayah banyak kesibukan. Setiap hari bisa ke taman baca, memantau karyawan di penginapan juga tamu-tamu yang datang."Ayah mertua menolak dengan halus."Tapi, siapa yang akan mengurus Ayah? Selama ini kita selalu sama-sama. Sekarang, aku harus ikut suami. Maunya ayah juga ikutlah. Please!" Berlian memohon sembari memeluk ayahnya."Kan ayah sudah bilang, di sini ada karyawan yang bisa diandalkan apalagi cuma soal makanan, semuanya tersedia. Kamu jangan khawatir, Nak." Ayah mertua berusaha meyakinkan Berlian bahwa ia baik-baik saja meskipun ditinggal pergi oleh puterinya."Tapi, kan tidak
Mamak sontak tertawa. Berlian menutup wajah karena malu. Selanjutnya mereka berdua kompak mencubit lenganku dengan gemas. Aduuuuh! Sakiiiit!"Astaghfirullah ini anak, berubah jadi aneh begini." Mamak geleng-geleng kepala"Semua karena mantu baru Mamak, nih." Aku melirik ke arah Berlian yang sejak tadi wajahnya bersemu."Sudah, sekarang kita makan dulu." Mamak menggandeng tangan Berlian. Aku pun mengikut di belakang mereka.Bapak sudah lebih dulu duduk di meja. Menu sederhana olahan tangan Mamak terlihat menggugah selera. Kata orang, masakan ibu tidak ada duanya. Benar. Aku sudah membuktikannya sepanjang usia. Sejak dulu Mamak beternak bebek, telurnya dibuat telur asin kemudian dijual. Hasilnya itulah yang dipakai buat biaya sekolahku dan adik-adik. Bapak menggarap lahan orang untuk produksi garam kasar. Hasilnya tak seberapa, tetapi jika digabung dengan jualan Mamak, cukup lumayan untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya."Silakan, Nak." Mamak meletakkan telur asin rebus di depa
"Iya. Aku pernah saking tidak sabarnya, berdoa kepada Allah dengan nada memaksa." Aku menatapnya sembari mencium jemarinya."Memaksa?""Iya, Sayang. Saking rindunya sama kamu, aku berdoa begini. 'Ya Allah, jika Berlian ditakdirkan menjadi milikku, segerakanlah. Namun, jika tidak, jauhkan ia dari hati dan pikiranku. Aku tersiksa dengan rasa ini. Atau satu hal lagi ya, Allah. Jika tidak bisa bersatu sekarang, saat ia jadi janda pun tak apa-apa."Berlian langsung menarik hidungku. " Serius berdoa begitu?""Iya, Sayang.""Berdoa itu harus ikhlas. Nggak boleh kita yang mengatur maunya Allah kayak gimana, sebab Allah Yang Maha Tahu apa yang terbaik buat kita. Selepas berdoa, ya sudah. Pasrah aja. Tawakkal. Bagaimana pun hasilnya.""Iya aku beristighfar setelahnya karena merasa diri lancang berdoa seperti itu terkesan memaksakan keinginan.""Ternyata yang dikabulkan poin terakhir, hahahaha." Berlian tertawa sembari memegangi perutnya. Lucu sekali, katanya."Apanya yang lucu?""Kamu berdoanya
"Ehm, gimana, ya, cara menjelaskannya." Mbak yang bertugas sebagai kasir mendadak garuk-garuk kepala. Bingung mau menjelaskan dari mana.Aku mendekat perlahan setelah mendengar obrolan mereka. Heh, mbak kasir ini sudah di training, tapi, kok, belum ngerti juga."Lian, uang pembayaran kamu selama sepuluh tahun dikembalikan oleh pihak optik karena … optik ini milik kamu.""M-maksudnya? Aku makin tak paham." Ia menaikkan kedua bahunya."Kamu liat, kan, nama optik ini sudah berganti nama. Dari Optik Fajar menjadi Optik Berlian, iya, kan?""Iya, aku udah baca papan nama di depan. Ini soal nama saja. Apa hubungannya dengan namaku.""Beberapa bulan lalu, pemilik optik ini ingin menjual optiknya sebab sedang ada masalah keuangan. Aku tertarik dan langsung melakukan akad. Kugantilah namanya menjadi Optik Berlian."Isteriku terdiam. Aku meneruskan penjelasan. "Saat undangan pernikahan sudah dicetak, aku mengantarkan langsung pada karyawan dan dokter di optik ini. Begitu melihat nama mempelai wa
Pov BerlianMenjadi isteri Hasyim tidak pernah terlintas di benakku. Ia sahabat terbaik yang kupunya. Tapi, Allah sudah menakdirkan kami bersama, tidak ada yang bisa menolak kuasa-Nya. Persoalan cinta. Sekali lagi, aku yakin akan tumbuh dengan sendirinya seiring dengan kebersamaan setiap hari, setiap saat.Kupikir begitu awalnya. Ternyata kuasa Allah bekerja di luar nalar manusia. Begitu ijab qabul telah diucapkan, Tuhan seakan langsung meniupkan bibit-bibit cinta ke dalam dadaku saat itu juga sehingga aku langsung menatap Hasyim dengan wajah yang berbeda. Tatapan sayang dan cinta seorang isteri kepada suaminya. Ditambah lagi, perlakuannya yang membuatku selalu diistimewakan, bibit-bibit cinta itu terus tumbuh dan tumbuh seiring berjalannya hari.Terutama ketika berulang kali dengan jujur mengakui bahwa sekian tahun menungguku tanpa pernah terlibat jalinan asmara dengan wanita manapun selainku. Aku sungguh tersanjung. Kini, aku sudah hidup bersamanya. Dalam satu atap, satu dapur, sat
Hasyim mengemudi mobil dengan santai hingga kami tiba di Kenari Beach tempat hajatan digelar."Mulai sekarang aku mulai rajin hadiri undangan." Hasyim menatapku sembari tersenyum. "Kenapa?""Karena sudah ada yang digandeng." "Jadi sebelum-sebelumnya?""Tidak pernah. Kecuali kalau undangan yang sifatnya resmi dan berurusan dengan pekerjaan.""Rasulullah bilang ada hak seorang muslim terhadap muslim yang lain, salah satunya apabila ia mengundangmu maka hadirilah undangannya. Jadi, ada gandengan ataupun tidak, nggak bisa jadi alasan."Ia mengangguk-angguk. Lalu tersenyum lagi. "Kalau ada gandengan paling tidak aku selamat dari bully-an Dokter Farid.""Masa' sih Dokter ganteng begini sering dibully." Aku mengelus pipinya dengan lembut"Jangan pancing aku, Sayang. Kalau kamu elus-elus pipiku ingin rasanya kembali ke rumah. Aku rindu kamar.""Haddeh." Kutepuk bahunya dengan keras. "Yuk! Kita masuk, acara udah dimulai kayaknya." Aku membuka pintu mobil tanpa harus menunggu ia membukakannya
"Baru aja. Pas mau salat Isya tadi."Hasyim menepuk jidat dan merebahkan diri di kasur. Sembari memeluk guling, ia berusaha memejamkan mata. Tak lama ia pun terlelap. Dasar! Aku pun melakukan hal yang sama di dekatnya. Kupandangi wajah manis di depanku dengan saksama, tidak ada yang berubah. Dari dulu tetap sama. Wajah cerianya sejak SMA seakan hadir di pelupuk mataku saat ini. Hasyim, akhirnya kamu ditakdirkan menjadi jodoh keduaku.**Hari ini jadwal Hasyim sangat padat. Katanya sampai jam dua malam. Kasihan. Demi nyawa orang lain, ia tak pernah kenal lelah. Aku sudah janji akan mengirim makanan siang dan malam untuknya juga jus buah dan cemilan. Beberapa buah sudah kusiapkan, dibantu oleh Bu Siah. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Bu Siah bergegas ke depan melihat siapa yang datang. Tak lama Bu Siah menghampiriku. "Ada yang mau ketemu Ibu di luar.""Sudah disuruh masuk?""Belum, Bu. Saya suruh nunggu di teras aja.""Makasih," ucapku pada Bu Siah. Aku ke kamar terlebih dulu untuk b
Mataku langsung terbelalak. Apa-apaan ini? Datang-datang menawarkan diri jadi isteri kedua suamiku. Kenal juga tidak. Ia memang teman baiknya Hasyim, tapi bukan denganku. Napasku seolah memburu, naik turun. Aliran darah mengalir begitu cepat. Bukan aku tak terima dengan yang namanya poligami. Aku hanya dibuat syok dengan wanita di depanku. Apa ia tidak tahu kalau kami ini masih berstatus pengantin baru? Mustahil jika tak mengetahuinya. Ia kan dapat undangan."Mbak?" Ia membuyarkan pikiranku"Iya?""Bagaimana?""Bagaimana apanya?""Soal barusan. Aku siap jadi isteri kedua Dokter Hasyim.""Ekhem. Begini. Bukan hanya kamu yang bersedia jadi isteri kedua dari laki-laki seperti suamiku. Apa yang dia miliki bisa dibilang impian sebagian wanita, tetapi, aku tidak yakin suamiku itu mau membagi cinta. Ia sangat mencintaiku. Tidak ada tempat untuk wanita lain di hatinya.""Kan, kalau Mbak yang bujuk Dokter Hasyim, pasti dia bersedia.""Apa kamu bilang? Membujuk suamiku agar mau menikahimu? Hey
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu