Hasyim mengemudi mobil dengan santai hingga kami tiba di Kenari Beach tempat hajatan digelar."Mulai sekarang aku mulai rajin hadiri undangan." Hasyim menatapku sembari tersenyum. "Kenapa?""Karena sudah ada yang digandeng." "Jadi sebelum-sebelumnya?""Tidak pernah. Kecuali kalau undangan yang sifatnya resmi dan berurusan dengan pekerjaan.""Rasulullah bilang ada hak seorang muslim terhadap muslim yang lain, salah satunya apabila ia mengundangmu maka hadirilah undangannya. Jadi, ada gandengan ataupun tidak, nggak bisa jadi alasan."Ia mengangguk-angguk. Lalu tersenyum lagi. "Kalau ada gandengan paling tidak aku selamat dari bully-an Dokter Farid.""Masa' sih Dokter ganteng begini sering dibully." Aku mengelus pipinya dengan lembut"Jangan pancing aku, Sayang. Kalau kamu elus-elus pipiku ingin rasanya kembali ke rumah. Aku rindu kamar.""Haddeh." Kutepuk bahunya dengan keras. "Yuk! Kita masuk, acara udah dimulai kayaknya." Aku membuka pintu mobil tanpa harus menunggu ia membukakannya
"Baru aja. Pas mau salat Isya tadi."Hasyim menepuk jidat dan merebahkan diri di kasur. Sembari memeluk guling, ia berusaha memejamkan mata. Tak lama ia pun terlelap. Dasar! Aku pun melakukan hal yang sama di dekatnya. Kupandangi wajah manis di depanku dengan saksama, tidak ada yang berubah. Dari dulu tetap sama. Wajah cerianya sejak SMA seakan hadir di pelupuk mataku saat ini. Hasyim, akhirnya kamu ditakdirkan menjadi jodoh keduaku.**Hari ini jadwal Hasyim sangat padat. Katanya sampai jam dua malam. Kasihan. Demi nyawa orang lain, ia tak pernah kenal lelah. Aku sudah janji akan mengirim makanan siang dan malam untuknya juga jus buah dan cemilan. Beberapa buah sudah kusiapkan, dibantu oleh Bu Siah. Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Bu Siah bergegas ke depan melihat siapa yang datang. Tak lama Bu Siah menghampiriku. "Ada yang mau ketemu Ibu di luar.""Sudah disuruh masuk?""Belum, Bu. Saya suruh nunggu di teras aja.""Makasih," ucapku pada Bu Siah. Aku ke kamar terlebih dulu untuk b
Mataku langsung terbelalak. Apa-apaan ini? Datang-datang menawarkan diri jadi isteri kedua suamiku. Kenal juga tidak. Ia memang teman baiknya Hasyim, tapi bukan denganku. Napasku seolah memburu, naik turun. Aliran darah mengalir begitu cepat. Bukan aku tak terima dengan yang namanya poligami. Aku hanya dibuat syok dengan wanita di depanku. Apa ia tidak tahu kalau kami ini masih berstatus pengantin baru? Mustahil jika tak mengetahuinya. Ia kan dapat undangan."Mbak?" Ia membuyarkan pikiranku"Iya?""Bagaimana?""Bagaimana apanya?""Soal barusan. Aku siap jadi isteri kedua Dokter Hasyim.""Ekhem. Begini. Bukan hanya kamu yang bersedia jadi isteri kedua dari laki-laki seperti suamiku. Apa yang dia miliki bisa dibilang impian sebagian wanita, tetapi, aku tidak yakin suamiku itu mau membagi cinta. Ia sangat mencintaiku. Tidak ada tempat untuk wanita lain di hatinya.""Kan, kalau Mbak yang bujuk Dokter Hasyim, pasti dia bersedia.""Apa kamu bilang? Membujuk suamiku agar mau menikahimu? Hey
"Menu sederhana. Kalau dokter menunya harus sehat, kan? Biar staminanya terjaga membantu orang sakit."Aku menata makanan di atas meja sofa. Ikan bakar, sambal kemangi, sayur bening campur-campur, dan acar mangga kesukaannya. Sederhana bukan? Juga jus buah dan sop buah. Untuk makan malam biasanya tinggal makan buah aja, kecuali memang lapar sekali barulah Hasyim minta nasi dan lauknya."Mau disuapin." Ia membuka mulut seperti anak kecil ke arahku"Aaaaaaaaa." Kusendokkan nasi ke mulutnya lalu mencubit ikan bakar yang sudah dibaluri bumbu sederhana"Masya Allah. Enak. Apalagi disuapin sama kamu." Mulai lagi deh, gombalan mautnya meluncur. Meski sudah hapal, tapi tetap saja aku meleleh dibuatnyaDan adegan suap-suapan pun kami lakukan. Nikmatnya menjadi berlipat ganda. Bukan sebab makanannya melainkan dengan siapa kita menyantap makanan iniSaat kami tengah asyik menikmati makan siang, pintu di ruangan ini diketuk. Aku hendak beranjak, tetapi langsung dilerai oleh Hasyim. "Biar aku saja
POV HasyimHari ini aku tukaran jadwal dengan Dokter Farid. Ada hal penting yang membuatku melakukannya. Ingin mengajak isteri tercinta jalan-jalan. Kalau memperturutkan pekerjaan, tidak akan pernah ada habisnya. Untungnya Dokter Farid juga bersedia sebab selama ini aku pun sering menggantikan jadwalnya jika ia punya hajat penting.Selepas mengantar makan siang di rumah sakit, aku putuskan untuk mengajaknya berkeliling di tempat mana saja yang ia mau tuju. "Mau kemana dulu, nih?" Sembari kulajukan mobil keluar dari area parkiran rumah sakit, aku bertanya padanya yang duduk di samping kiriku.Namun, tak ada jawaban. Pandangannya mengarah ke kaca spion mobil dengan wajah datar. "Hei! Kok bengong?" Aku menjentikkan jari di depan wajahnya membuat ia berpaling ke arahku dengan cepat."Ehm, terserah," jawabnya singkat.Menurut teman-teman yang lebih dulu menikah. Kata 'terserah' adalah yang paling menyeramkan dari mulut seorang isteri. Maknanya beragam. Kadang dipahami sebagai A, ternyata
Aku mau istirahat sebentar," ucapnya setelah kami tiba di rumah. "Iya, Sayang. Kamu pasti capek." "Begitulah." Ia menjawab seadanya lalu pamit ke kamar. Aku pun menyusul di belakangnya. Lalu menghampiri ia yang sejak tadi membuatku gemas ingin memeluknya."Kamu kenapa, sih. Lagi sakit?""Nggak. Cuma mau istirahat aja. Capek.""Aku temenin bobok siang, boleh?" Aku menawarkan diri sembari terus memerhatikan ia melepas jilbabnya."Nggak usah, Pah. Ntar yang ada aku nggak jadi istirahat kalau Papah temenin."Sontak aku terkekeh. Apa yang diucapkannya benar adanya. Bisa-bisa yang ada bukan istirahat tapi malah diminta kerja rodi.Aku membelai rambutnya dan menemaninya sebentar hingga ia benar-benar tertidur.Segera aku beranjak keluar kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Setelahnya menuju dapur menemui Bu Siah."Bu, bisa bicara sebentar?" tanyaku pada Bu Siah yang sedang asyik menata isi kulkas.Bu Siah langsung menghentikan pekerjaan mendengar permintaanku."Iya, Pak.""Seharian ini
Aku berjalan tergesa meninggalkan Nurul. Sama sekali tak menyangka kalau ia begitu nekat menemui Berlian untuk menyampaikan hal yang tak masuk akal.Sebenarnya dari dulu aku sudah bisa mengendus gelagatnya. Ia menaruh hati padaku. Makanya aku selalu menjaga batasan keakraban. Berulang kali ia mengajak makan malam, menemaninya ke undangan, arisan, atau bahkan liburan. Namun, tak satupun ajakannya aku penuhi.Aku tidak mau ia merasa diberi lampu hijau. Padahal sebenarnya tidak demikian. Perempuan itu, kan, sebagian suka over thinking. Mikirnya kejauhan. Nurul termasuk tipe seperti ini. Jangan sampai aku berbuat baik malah ditanggapi lain, padahal perlakuan kepada teman-teman yang lain pun sama saja. Tidak ada yang diistimewakan.Baru kali ini aku begitu tersulut emosi. Jika persoalan lain aku bisa dengan sangat bijak menanggapi bahkan menuntaskannya. Akan tetapi, jika urusan rumah tanggaku ada yang mengusik, aku tak bisa tinggal diam. Akan kucari sampai ke akar-akarny
"Kita sudah sampai, Sayang. Yuk!" Aku bergegas keluar dari mobil dan membuka pintu untuknya. Ku gandeng tangannya menuju masjid. Sekilas aku meliriknya yang melayangkan pandangan ke sekeliling. Saat kami baru menjejakkan kaki di teras masjid, seorang lelaki tua langsung menyambut kami dengan ramah."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Lelaki itu mengulurkan tangan lalu merangkul ku dengan hangat."Waalaikum salam. Bagaimana kabarnya, Pak Ustaz?" "Alhamdulillah sehat. Mari, masuk!"Ustaz Iwan mengajak kami ke dalam masjid. Ada anak-anak santri sedang duduk melingkar dengan Alquran di tangan masing-masing. Aku dan Berlian mengambil tempat tak jauh dari mereka. Ustaz Iwan mendekati mereka lalu menunjuk ke arahku. Para santri itu langsung menoleh. Kemudian membubarkan diri dan beranjak menemuiku. Mencium tangan dan memelukku sama seperti seorang anak dan ayah."Papah kenal baik dengan anak-anak ini?" Berlian setengah berbisik di telingaku"Iya. Inil