Mataku langsung terbelalak. Apa-apaan ini? Datang-datang menawarkan diri jadi isteri kedua suamiku. Kenal juga tidak. Ia memang teman baiknya Hasyim, tapi bukan denganku. Napasku seolah memburu, naik turun. Aliran darah mengalir begitu cepat. Bukan aku tak terima dengan yang namanya poligami. Aku hanya dibuat syok dengan wanita di depanku. Apa ia tidak tahu kalau kami ini masih berstatus pengantin baru? Mustahil jika tak mengetahuinya. Ia kan dapat undangan."Mbak?" Ia membuyarkan pikiranku"Iya?""Bagaimana?""Bagaimana apanya?""Soal barusan. Aku siap jadi isteri kedua Dokter Hasyim.""Ekhem. Begini. Bukan hanya kamu yang bersedia jadi isteri kedua dari laki-laki seperti suamiku. Apa yang dia miliki bisa dibilang impian sebagian wanita, tetapi, aku tidak yakin suamiku itu mau membagi cinta. Ia sangat mencintaiku. Tidak ada tempat untuk wanita lain di hatinya.""Kan, kalau Mbak yang bujuk Dokter Hasyim, pasti dia bersedia.""Apa kamu bilang? Membujuk suamiku agar mau menikahimu? Hey
"Menu sederhana. Kalau dokter menunya harus sehat, kan? Biar staminanya terjaga membantu orang sakit."Aku menata makanan di atas meja sofa. Ikan bakar, sambal kemangi, sayur bening campur-campur, dan acar mangga kesukaannya. Sederhana bukan? Juga jus buah dan sop buah. Untuk makan malam biasanya tinggal makan buah aja, kecuali memang lapar sekali barulah Hasyim minta nasi dan lauknya."Mau disuapin." Ia membuka mulut seperti anak kecil ke arahku"Aaaaaaaaa." Kusendokkan nasi ke mulutnya lalu mencubit ikan bakar yang sudah dibaluri bumbu sederhana"Masya Allah. Enak. Apalagi disuapin sama kamu." Mulai lagi deh, gombalan mautnya meluncur. Meski sudah hapal, tapi tetap saja aku meleleh dibuatnyaDan adegan suap-suapan pun kami lakukan. Nikmatnya menjadi berlipat ganda. Bukan sebab makanannya melainkan dengan siapa kita menyantap makanan iniSaat kami tengah asyik menikmati makan siang, pintu di ruangan ini diketuk. Aku hendak beranjak, tetapi langsung dilerai oleh Hasyim. "Biar aku saja
POV HasyimHari ini aku tukaran jadwal dengan Dokter Farid. Ada hal penting yang membuatku melakukannya. Ingin mengajak isteri tercinta jalan-jalan. Kalau memperturutkan pekerjaan, tidak akan pernah ada habisnya. Untungnya Dokter Farid juga bersedia sebab selama ini aku pun sering menggantikan jadwalnya jika ia punya hajat penting.Selepas mengantar makan siang di rumah sakit, aku putuskan untuk mengajaknya berkeliling di tempat mana saja yang ia mau tuju. "Mau kemana dulu, nih?" Sembari kulajukan mobil keluar dari area parkiran rumah sakit, aku bertanya padanya yang duduk di samping kiriku.Namun, tak ada jawaban. Pandangannya mengarah ke kaca spion mobil dengan wajah datar. "Hei! Kok bengong?" Aku menjentikkan jari di depan wajahnya membuat ia berpaling ke arahku dengan cepat."Ehm, terserah," jawabnya singkat.Menurut teman-teman yang lebih dulu menikah. Kata 'terserah' adalah yang paling menyeramkan dari mulut seorang isteri. Maknanya beragam. Kadang dipahami sebagai A, ternyata
Aku mau istirahat sebentar," ucapnya setelah kami tiba di rumah. "Iya, Sayang. Kamu pasti capek." "Begitulah." Ia menjawab seadanya lalu pamit ke kamar. Aku pun menyusul di belakangnya. Lalu menghampiri ia yang sejak tadi membuatku gemas ingin memeluknya."Kamu kenapa, sih. Lagi sakit?""Nggak. Cuma mau istirahat aja. Capek.""Aku temenin bobok siang, boleh?" Aku menawarkan diri sembari terus memerhatikan ia melepas jilbabnya."Nggak usah, Pah. Ntar yang ada aku nggak jadi istirahat kalau Papah temenin."Sontak aku terkekeh. Apa yang diucapkannya benar adanya. Bisa-bisa yang ada bukan istirahat tapi malah diminta kerja rodi.Aku membelai rambutnya dan menemaninya sebentar hingga ia benar-benar tertidur.Segera aku beranjak keluar kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Setelahnya menuju dapur menemui Bu Siah."Bu, bisa bicara sebentar?" tanyaku pada Bu Siah yang sedang asyik menata isi kulkas.Bu Siah langsung menghentikan pekerjaan mendengar permintaanku."Iya, Pak.""Seharian ini
Aku berjalan tergesa meninggalkan Nurul. Sama sekali tak menyangka kalau ia begitu nekat menemui Berlian untuk menyampaikan hal yang tak masuk akal.Sebenarnya dari dulu aku sudah bisa mengendus gelagatnya. Ia menaruh hati padaku. Makanya aku selalu menjaga batasan keakraban. Berulang kali ia mengajak makan malam, menemaninya ke undangan, arisan, atau bahkan liburan. Namun, tak satupun ajakannya aku penuhi.Aku tidak mau ia merasa diberi lampu hijau. Padahal sebenarnya tidak demikian. Perempuan itu, kan, sebagian suka over thinking. Mikirnya kejauhan. Nurul termasuk tipe seperti ini. Jangan sampai aku berbuat baik malah ditanggapi lain, padahal perlakuan kepada teman-teman yang lain pun sama saja. Tidak ada yang diistimewakan.Baru kali ini aku begitu tersulut emosi. Jika persoalan lain aku bisa dengan sangat bijak menanggapi bahkan menuntaskannya. Akan tetapi, jika urusan rumah tanggaku ada yang mengusik, aku tak bisa tinggal diam. Akan kucari sampai ke akar-akarny
"Kita sudah sampai, Sayang. Yuk!" Aku bergegas keluar dari mobil dan membuka pintu untuknya. Ku gandeng tangannya menuju masjid. Sekilas aku meliriknya yang melayangkan pandangan ke sekeliling. Saat kami baru menjejakkan kaki di teras masjid, seorang lelaki tua langsung menyambut kami dengan ramah."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Lelaki itu mengulurkan tangan lalu merangkul ku dengan hangat."Waalaikum salam. Bagaimana kabarnya, Pak Ustaz?" "Alhamdulillah sehat. Mari, masuk!"Ustaz Iwan mengajak kami ke dalam masjid. Ada anak-anak santri sedang duduk melingkar dengan Alquran di tangan masing-masing. Aku dan Berlian mengambil tempat tak jauh dari mereka. Ustaz Iwan mendekati mereka lalu menunjuk ke arahku. Para santri itu langsung menoleh. Kemudian membubarkan diri dan beranjak menemuiku. Mencium tangan dan memelukku sama seperti seorang anak dan ayah."Papah kenal baik dengan anak-anak ini?" Berlian setengah berbisik di telingaku"Iya. Inil
Setelah itu kutatap wajahnya lekat-lekat. Ada rasa yang sulit dilukiskan di dalam sini. Kukecup lembut keningnya dan kedua kelopak mata yang tertutup sempurna itu dengan penuh cinta. Besok, kita akan mulai pengobatan, Sayang. Bersiaplah! Kamu harus sembuh.Pelan kukemudikan mobil meninggalkan optik. Sembari mengemudi, tangan kiriku juga asyik mengusap kepala Berlian dengan lembut. Setiap kali melihatnya, ada rasa bersalah yang tidak bisa ditebus dengan apapun.Mataku menghangat jika mengingat kejadian sekian tahun silam. Dan ia tak pernah menyalahkanku. Tak pernah mengungkitnya. Juga selalu bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa.Sorot lampu kendaraan di depanku sangat silau membuat Berlian langsung mengerjap. Kata dokter, retinanya sangat rentan perih jika ada cahaya terang, sekalipun kondisi kelopak mata tertutup."Duh, ya, Allah." Ia menutup matanya dengan kedua lengan yang ia tumpukan di atasnya"Sabar, ya, bentar lagi kita sampai."Ia cuma mengangguk. Inilah alasannya Berlian
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu