Selepas salat Isya berjamaah, ayah mertua mengajak duduk sebentar mendengarkan ceramah. Karena tak enak hati, aku menurut. Padahal aku sudah terbayang-bayang dengan wanita yang sudah sah menjadi istriku beberapa jam yang lalu.Pikiranku sulit fokus menangkap penyampaian Pak Ustaz. Sesekali melihat ke arah jam digital yang terpasang di atas mimbar. Katanya cuma kultum, tapi kok sudah setengah jam belum selesai-selesai juga. Pertahananku mulai oleng. Duduk layaknya orang gelisah. Pandanganku mengarah ke sembarang tempat. Ayah mertua yang mungkin menyadari tingkahku langsung paham dan meminta izin untuk pamit lebih dulu sebelum majelis dibubarkan. Dalam hati bersorak girang. Mertuaku memang tak ada duanya, selalu paham kode-kode abstrak pengantin baru sepertiku.Jarak masjid lumayan dekat. Cukup berjalan kaki saja. Tidak ada obrolan yang mewarnai langkah kami. Ayah mertua cuma senyum-senyum saja, membuatku sedikit salah tingkah. Saat tiba di gerbang penginapan, barulah ayah mertua membu
"Apanya yang diteruskan?" Ia sedikit memiringkan wajah melihat ke arahku"Soal yang tadi, jendela di penginapan ini yang sengaja di desain bisa buka tutup manual." Aku menirukan kalimatnya."Owh. Iya, supaya setiap pengunjung bisa melempar pandangan ke laut lepas di depan sana tanpa penghalang apapun. Terkadang dengan melihat samudera luas pikiran menjadi lebih rileks, meneduhkan. Meski kadang-kadang gemuruh ombak terdengar ganas?""Maksudnya bagaimana? Meneduhkan tapi kadang-kadang terdengar ganas?" Begini beristrikan penulis. Bahasanya sering membuat bingung."Maksudnya. Laut itu meneduhkan jika dipandang. Kita menoleh ke kiri, tetap sama. Ke kanan pun begitu. Sama-sama air laut. Tak ada warna lain yang terlihat selain biru yang membentang hingga ke kaki langit. Kadang-kadang terdengar ganas sebab gemuruhnya bisa menjadi pertanda bahwa cuaca sedang tak bersahabat. Jangan sekali-kali melaut karena resikonya sangat besar. Di laut ada kehidupan juga ada kematian.""Oh, ya?" Kuberanikan
Mataku mulai terbuka pelan. Tanganku meraba tempat tidur. Kosong. Aku terlonjak dengan mata melebar. Berlian, di mana?Segera aku bangkit menyibak selimut dan bergegas ke kamar mandi. Kosong juga. Ia kemana, ya? Aku benar-benar terlelap hingga lupa jika matahari sudah meninggi. Apa mungkin ia ke rumah melihat Ahmad? Bisa jadi. Aku mandi terlebih dahulu. Lantas memakai pakaian yang sudah menyampir rapi di sandaran kursi. Ini pasti Berlian yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan ia? Baju kaos santai tanpa kerah dengan celana panjang hitam berbahan semi jeans langsung kukenakan. Bahkan minyak rambut dan parfum pun sudah ia sediakan. Ehm, aku sungguh tersanjung.Pintu berderit pelan sontak membuatku menoleh. "Assalamu alaikum, sudah bangun?""Waalaikum salam. Iya. Sudah mandi malahan. Dari mana, Sayang?""Dari pantry nyiapin makanan." Ia meletakkan sajian di atas meja."Kan, bisa meminta karyawan buat nganter ke sini. Tadi sempat kaget tiba-tiba meraba ke samping, kamu sudah tidak ada."
"Ia mau ziarah ke makam ayah ibunya.""Owh.""Bolehkan, Sayang?" Berlian menatapku serius "Tentu saja boleh, Sayang. Ahmad anakku juga, kan?""Alhamdulillah." Kulihat ia menarik napas lega.Aku tahu mungkin di hati Berlian ada sedikit kekhawatiran terhadapku atas penerimaan Ahmad sebagai anak sambung. Padahal, dari awal aku sudah berusaha meyakinkan kalau Ahmad itu anakku juga. Dengan adanya pernikahan ini berarti aku bertanggung jawab atas semua penghuni rumahku. Kepada pasien saja aku begitu peduli apalagi kepada Ahmad, ia permata hati istriku walau tidak lahir dari rahimnya. Meski aku hanya ayah sambung, tetapi tidak akan mempengaruhi kasih sayangku terhadapnya.***Setelah sarapan kami langsung berkemas kembali ke rumah. Ya, cuma satu malam menginap di penginapan selanjutnya di rumah Berlian sampai masa cutiku hampir habis.Ahmad dan ayah mertua sudah siap. Kami berangkat bersama ke pemakaman. Jaraknya juga tidak begitu jauh. Dua kuburan berdampingan. Satu ibunya Ahmad dan satun
Ayah ikut kami saja ke kota. Sekali sepekan datang ke Pulau cek penginapan dan taman baca, bagaimana?" Berlian mencoba membujuk ayah mertua agar mau ikut bersama kami. "Saya setuju dengan Lian, Yah. Kalau Lian ikut saya ke kota otomatis Ayah sendiri di sini. Bagusnya ikut saja bersama kami." Aku pun melakukan hal yang sama. Membujuk ayah mertua untuk tinggal di kota."Tidak apa-apa, Nak. Justeru di sini Ayah banyak kesibukan. Setiap hari bisa ke taman baca, memantau karyawan di penginapan juga tamu-tamu yang datang."Ayah mertua menolak dengan halus."Tapi, siapa yang akan mengurus Ayah? Selama ini kita selalu sama-sama. Sekarang, aku harus ikut suami. Maunya ayah juga ikutlah. Please!" Berlian memohon sembari memeluk ayahnya."Kan ayah sudah bilang, di sini ada karyawan yang bisa diandalkan apalagi cuma soal makanan, semuanya tersedia. Kamu jangan khawatir, Nak." Ayah mertua berusaha meyakinkan Berlian bahwa ia baik-baik saja meskipun ditinggal pergi oleh puterinya."Tapi, kan tidak
Mamak sontak tertawa. Berlian menutup wajah karena malu. Selanjutnya mereka berdua kompak mencubit lenganku dengan gemas. Aduuuuh! Sakiiiit!"Astaghfirullah ini anak, berubah jadi aneh begini." Mamak geleng-geleng kepala"Semua karena mantu baru Mamak, nih." Aku melirik ke arah Berlian yang sejak tadi wajahnya bersemu."Sudah, sekarang kita makan dulu." Mamak menggandeng tangan Berlian. Aku pun mengikut di belakang mereka.Bapak sudah lebih dulu duduk di meja. Menu sederhana olahan tangan Mamak terlihat menggugah selera. Kata orang, masakan ibu tidak ada duanya. Benar. Aku sudah membuktikannya sepanjang usia. Sejak dulu Mamak beternak bebek, telurnya dibuat telur asin kemudian dijual. Hasilnya itulah yang dipakai buat biaya sekolahku dan adik-adik. Bapak menggarap lahan orang untuk produksi garam kasar. Hasilnya tak seberapa, tetapi jika digabung dengan jualan Mamak, cukup lumayan untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya."Silakan, Nak." Mamak meletakkan telur asin rebus di depa
"Iya. Aku pernah saking tidak sabarnya, berdoa kepada Allah dengan nada memaksa." Aku menatapnya sembari mencium jemarinya."Memaksa?""Iya, Sayang. Saking rindunya sama kamu, aku berdoa begini. 'Ya Allah, jika Berlian ditakdirkan menjadi milikku, segerakanlah. Namun, jika tidak, jauhkan ia dari hati dan pikiranku. Aku tersiksa dengan rasa ini. Atau satu hal lagi ya, Allah. Jika tidak bisa bersatu sekarang, saat ia jadi janda pun tak apa-apa."Berlian langsung menarik hidungku. " Serius berdoa begitu?""Iya, Sayang.""Berdoa itu harus ikhlas. Nggak boleh kita yang mengatur maunya Allah kayak gimana, sebab Allah Yang Maha Tahu apa yang terbaik buat kita. Selepas berdoa, ya sudah. Pasrah aja. Tawakkal. Bagaimana pun hasilnya.""Iya aku beristighfar setelahnya karena merasa diri lancang berdoa seperti itu terkesan memaksakan keinginan.""Ternyata yang dikabulkan poin terakhir, hahahaha." Berlian tertawa sembari memegangi perutnya. Lucu sekali, katanya."Apanya yang lucu?""Kamu berdoanya
"Ehm, gimana, ya, cara menjelaskannya." Mbak yang bertugas sebagai kasir mendadak garuk-garuk kepala. Bingung mau menjelaskan dari mana.Aku mendekat perlahan setelah mendengar obrolan mereka. Heh, mbak kasir ini sudah di training, tapi, kok, belum ngerti juga."Lian, uang pembayaran kamu selama sepuluh tahun dikembalikan oleh pihak optik karena … optik ini milik kamu.""M-maksudnya? Aku makin tak paham." Ia menaikkan kedua bahunya."Kamu liat, kan, nama optik ini sudah berganti nama. Dari Optik Fajar menjadi Optik Berlian, iya, kan?""Iya, aku udah baca papan nama di depan. Ini soal nama saja. Apa hubungannya dengan namaku.""Beberapa bulan lalu, pemilik optik ini ingin menjual optiknya sebab sedang ada masalah keuangan. Aku tertarik dan langsung melakukan akad. Kugantilah namanya menjadi Optik Berlian."Isteriku terdiam. Aku meneruskan penjelasan. "Saat undangan pernikahan sudah dicetak, aku mengantarkan langsung pada karyawan dan dokter di optik ini. Begitu melihat nama mempelai wa