Seperti niatku akan cuti empat hari sebelum akad nikah. Hari ini aku sudah mulai berkemas. Bu Siah sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Asisten rumah tangga yang patut diacungi jempol. Selalu bisa diandalkan dalam setiap kondisi. Aku terima beres saja. Teman-teman yang lain pun ikut membantu, terutama Dokter Farid yang sangat sibuk mengurus semuanya. Anggap saja sebagai tebusan karena selama bartahun-tahun aku menjadi 'korban' bully-nya."Pak, semua sudah siap, barang-barang sudah di masukkan ke bagasi." Bu Siah memberitahu dengan sopan. Jika sudah beres, itu artinya tinggal tancap gas lalu berangkat ke kampung. "Iya, Bu. Pastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat.""Sudah semuanya.""Oke. Kita berangkat!" sahutku dengan semangat. Bu Siah tak kalah semangat dan gembira. Sebentar lagi ia akan punya nyonya di rumah ini, jadi tidak merasa sepi. Sebelum berangkat kami mampir ke bengkel tempat suami Bu Siah bekerja, bukan hendak pamit, tetapi suami Bu Siah ingin turut serta ke kam
Di umur seperti sekarang baru merasakan cubitan mesra perempuan. Tak apa terlambat menikah yang penting dengan orang yang tepat. Ini pendapat pribadiku saja, tidak untuk ditiru orang lain.Berlian meraih tanganku lalu menciumi punggungnya. Ada tetesan hangat yang membasahi kulitku"Kamu menangis?"Lian mengangguk. Kemudian air matanya semakin deras. Segera kuraih tissue dan menyapu lembut cairan bening itu."Ada apa?" "Nggak ada apa-apa. Aku hanya terharu dengan apa yang sudah kita lewati sampai di titik ini." Ia menunduk dengan suara yang lirih.Aku mengusap dada lega. Kirain ada apa? Bukan hanya Lian yang terharu, aku juga sama."Sudah. Jangan nangis, nanti riasan kamu berantakan." Sembari menenangkan, pelan kukecup keningnya dengan lembut. Oh, ya Allah. Rasanya mau pingsan. Begini ternyata sensasinya menjadi pengantin baru.Selanjutnya kuletakkan tanganku di atas ubun-ubunnya lalu melafazkan doa seperti yang diajarkan Ustaz Faqih. "Yuk, kita temui Mamak dan Bapak." Ajaknya sembar
Selepas salat Isya berjamaah, ayah mertua mengajak duduk sebentar mendengarkan ceramah. Karena tak enak hati, aku menurut. Padahal aku sudah terbayang-bayang dengan wanita yang sudah sah menjadi istriku beberapa jam yang lalu.Pikiranku sulit fokus menangkap penyampaian Pak Ustaz. Sesekali melihat ke arah jam digital yang terpasang di atas mimbar. Katanya cuma kultum, tapi kok sudah setengah jam belum selesai-selesai juga. Pertahananku mulai oleng. Duduk layaknya orang gelisah. Pandanganku mengarah ke sembarang tempat. Ayah mertua yang mungkin menyadari tingkahku langsung paham dan meminta izin untuk pamit lebih dulu sebelum majelis dibubarkan. Dalam hati bersorak girang. Mertuaku memang tak ada duanya, selalu paham kode-kode abstrak pengantin baru sepertiku.Jarak masjid lumayan dekat. Cukup berjalan kaki saja. Tidak ada obrolan yang mewarnai langkah kami. Ayah mertua cuma senyum-senyum saja, membuatku sedikit salah tingkah. Saat tiba di gerbang penginapan, barulah ayah mertua membu
"Apanya yang diteruskan?" Ia sedikit memiringkan wajah melihat ke arahku"Soal yang tadi, jendela di penginapan ini yang sengaja di desain bisa buka tutup manual." Aku menirukan kalimatnya."Owh. Iya, supaya setiap pengunjung bisa melempar pandangan ke laut lepas di depan sana tanpa penghalang apapun. Terkadang dengan melihat samudera luas pikiran menjadi lebih rileks, meneduhkan. Meski kadang-kadang gemuruh ombak terdengar ganas?""Maksudnya bagaimana? Meneduhkan tapi kadang-kadang terdengar ganas?" Begini beristrikan penulis. Bahasanya sering membuat bingung."Maksudnya. Laut itu meneduhkan jika dipandang. Kita menoleh ke kiri, tetap sama. Ke kanan pun begitu. Sama-sama air laut. Tak ada warna lain yang terlihat selain biru yang membentang hingga ke kaki langit. Kadang-kadang terdengar ganas sebab gemuruhnya bisa menjadi pertanda bahwa cuaca sedang tak bersahabat. Jangan sekali-kali melaut karena resikonya sangat besar. Di laut ada kehidupan juga ada kematian.""Oh, ya?" Kuberanikan
Mataku mulai terbuka pelan. Tanganku meraba tempat tidur. Kosong. Aku terlonjak dengan mata melebar. Berlian, di mana?Segera aku bangkit menyibak selimut dan bergegas ke kamar mandi. Kosong juga. Ia kemana, ya? Aku benar-benar terlelap hingga lupa jika matahari sudah meninggi. Apa mungkin ia ke rumah melihat Ahmad? Bisa jadi. Aku mandi terlebih dahulu. Lantas memakai pakaian yang sudah menyampir rapi di sandaran kursi. Ini pasti Berlian yang menyiapkan. Siapa lagi kalau bukan ia? Baju kaos santai tanpa kerah dengan celana panjang hitam berbahan semi jeans langsung kukenakan. Bahkan minyak rambut dan parfum pun sudah ia sediakan. Ehm, aku sungguh tersanjung.Pintu berderit pelan sontak membuatku menoleh. "Assalamu alaikum, sudah bangun?""Waalaikum salam. Iya. Sudah mandi malahan. Dari mana, Sayang?""Dari pantry nyiapin makanan." Ia meletakkan sajian di atas meja."Kan, bisa meminta karyawan buat nganter ke sini. Tadi sempat kaget tiba-tiba meraba ke samping, kamu sudah tidak ada."
"Ia mau ziarah ke makam ayah ibunya.""Owh.""Bolehkan, Sayang?" Berlian menatapku serius "Tentu saja boleh, Sayang. Ahmad anakku juga, kan?""Alhamdulillah." Kulihat ia menarik napas lega.Aku tahu mungkin di hati Berlian ada sedikit kekhawatiran terhadapku atas penerimaan Ahmad sebagai anak sambung. Padahal, dari awal aku sudah berusaha meyakinkan kalau Ahmad itu anakku juga. Dengan adanya pernikahan ini berarti aku bertanggung jawab atas semua penghuni rumahku. Kepada pasien saja aku begitu peduli apalagi kepada Ahmad, ia permata hati istriku walau tidak lahir dari rahimnya. Meski aku hanya ayah sambung, tetapi tidak akan mempengaruhi kasih sayangku terhadapnya.***Setelah sarapan kami langsung berkemas kembali ke rumah. Ya, cuma satu malam menginap di penginapan selanjutnya di rumah Berlian sampai masa cutiku hampir habis.Ahmad dan ayah mertua sudah siap. Kami berangkat bersama ke pemakaman. Jaraknya juga tidak begitu jauh. Dua kuburan berdampingan. Satu ibunya Ahmad dan satun
Ayah ikut kami saja ke kota. Sekali sepekan datang ke Pulau cek penginapan dan taman baca, bagaimana?" Berlian mencoba membujuk ayah mertua agar mau ikut bersama kami. "Saya setuju dengan Lian, Yah. Kalau Lian ikut saya ke kota otomatis Ayah sendiri di sini. Bagusnya ikut saja bersama kami." Aku pun melakukan hal yang sama. Membujuk ayah mertua untuk tinggal di kota."Tidak apa-apa, Nak. Justeru di sini Ayah banyak kesibukan. Setiap hari bisa ke taman baca, memantau karyawan di penginapan juga tamu-tamu yang datang."Ayah mertua menolak dengan halus."Tapi, siapa yang akan mengurus Ayah? Selama ini kita selalu sama-sama. Sekarang, aku harus ikut suami. Maunya ayah juga ikutlah. Please!" Berlian memohon sembari memeluk ayahnya."Kan ayah sudah bilang, di sini ada karyawan yang bisa diandalkan apalagi cuma soal makanan, semuanya tersedia. Kamu jangan khawatir, Nak." Ayah mertua berusaha meyakinkan Berlian bahwa ia baik-baik saja meskipun ditinggal pergi oleh puterinya."Tapi, kan tidak
Mamak sontak tertawa. Berlian menutup wajah karena malu. Selanjutnya mereka berdua kompak mencubit lenganku dengan gemas. Aduuuuh! Sakiiiit!"Astaghfirullah ini anak, berubah jadi aneh begini." Mamak geleng-geleng kepala"Semua karena mantu baru Mamak, nih." Aku melirik ke arah Berlian yang sejak tadi wajahnya bersemu."Sudah, sekarang kita makan dulu." Mamak menggandeng tangan Berlian. Aku pun mengikut di belakang mereka.Bapak sudah lebih dulu duduk di meja. Menu sederhana olahan tangan Mamak terlihat menggugah selera. Kata orang, masakan ibu tidak ada duanya. Benar. Aku sudah membuktikannya sepanjang usia. Sejak dulu Mamak beternak bebek, telurnya dibuat telur asin kemudian dijual. Hasilnya itulah yang dipakai buat biaya sekolahku dan adik-adik. Bapak menggarap lahan orang untuk produksi garam kasar. Hasilnya tak seberapa, tetapi jika digabung dengan jualan Mamak, cukup lumayan untuk biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya."Silakan, Nak." Mamak meletakkan telur asin rebus di depa