"Iya."Kulirik raut wajahnya yang kembali muram. Ia tak berkata apapun. Sebenarnya aku sungguh kasihan, tetapi permintaannya tak masuk akal. Mana ada pernikahan pura-pura. Nikah ya nikah saja. "Sudah kubilang, batalnya pernikahanmu itu sebagai bentuk pertolongan Allah, bayangkan seumpama pada saat akad nikah berlangsung lalu tiba-tiba datang aparat kepolisian menangkap suamimu. Malunya bisa dobel." Aku mencoba membesarkan hatinya. Ini bukan urusan mudah. Menanggung malu di hadapan keluarga besar, kerabat, dan tetangga sangatlah berat. Tetapi, sekali lagi. Bukankah ini cara Allah menunjukkan bahwa mereka tak berjodoh? Imani saja itu."Kalau begitu, boleh, kan aku menginap di sini?" "Pulanglah! Nanti aku order taksi online untukmu.""Malam ini saja, Dok!""Maaf. Kalau mau menginap nanti sekalian reservasi kamar hotel, kamu langsung ke sana saja. Matikan ponsel lalu tidur."Terdengar kurang empati sebenarnya, tetapi mau diapa, tak mungkin kukabulkan permintaannya untuk menginap di rum
Namaku Bulan Berlian. Kata ayah, nama ini hasil diskusi dengan ibu. Terlahir sebagai anak tunggal yang belum sempat merasakan hangatnya pelukan seorang ibu sebab beliau meninggal dunia sesaat setelah aku lahir ke dunia.Sejak ibu meninggal ayah memutuskan untuk tak menikah lagi. Alasannya ingin fokus membesarkan dan mendidikku saja. Ditambah lagi kecintaan kepada ibu yang tidak bisa tergantikan oleh sosok manapun. Ayah menduda sepanjang usianya, paling tidak hingga kini. Aku berulang kali meminta ayah menikah, tetapi beliau selalu mengalihkan pembicaraan. Aku paham, artinya ayah tak ingin membahas hal itu lagi.Aku dibesarkan penuh cinta dan kasih sayang. Saat remaja ayah selalu berpesan agar hati-hati dengan pergaulan terutama terhadap laki-laki. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk sahabatku Hasyim. Ia kawan yang sangat baik sehingga ayah memberi lampu hijau menjalin pertemanan dengannya. Hasyim anak yang sopan, cerdas, dan tidak gengsian.Pernah aku mendengar seseorang mengatakan j
Aku mengajaknya duduk di teras sambil mengobrol dan bercanda seperti sebelum-sebelumnya. Ia bercerita tentang pengalaman pertamanya duduk di bangku kuliah dan aku hanya bisa menyimak saja. Oh, iya. Ia membawakanku oleh-oleh, roti gembong super montok seperti kasur. Aroma dan rasanya enak. Terlebih saat ia bilang, itu hasil upahnya dari mengaduk semen, aku merasa cita rasa rotinya menjadi berkali lipat lebih enak. Ia bekerja sambil kuliah untuk biaya sehari-hari, lumayan kan, bisa mengurangi beban orang tuanya.Sekitar dua atau tiga bulan berikutnya, kabar gembira datang. Ayah diangkat menjadi PNS setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai honorer. Daerah penugasan Pulau Tanakeke. Tempat yang belum pernah aku kunjungi meski sudah sering mendengar namanya. Kami berkemas, tidak banyak waktu yang diberikan sebab ayah sudah harus masuk mengajar sepekan setelah surat pengangkatan itu diterima.Bahkan mengunjungi orang tua Hasyim untuk sekadar pamitan pun sudah tidak sempat. Lalu aku menitip pe
Ya Allah! Tolong!" Teriakku kepada orang-orang agar segera memberikan bantuan. Untunglah di sekitar lokasi ada polisi yang sedang patroli dan langsung memberikan pertolongan.Suamiku dilarikan ke rumah sakit terdekat, darah segar mengucur dari kepala membasahi wajah dan pakaiannya hingga sulit dikenali. Matanya tertutup sempurna, ia tak bisa merespon apapun. Di titik ini aku benar-benar pasrah. Harapan satu-satunya hanyalah keajaiban dari Allah.Tiba di rumah sakit, petugas dengan sigap memeriksa lalu segera di masukkan ke ICU, ia kehilangan banyak darah, bagian kepalanya mengalami benturan hebat sehingga ia hilang kesadaran. Kata Dokter harus segera dilakukan operasi karena bagian kepala mengalami luka parah yang cukup dalam. Aku hanya menunduk pasrah. Segala doa kulangitkan demi keselamatan suamiku. Saat tengah duduk menunggu, seorang Dokter laki-laki berjalan mendekat, kumanfaatkan kesempatan untuk bertanya siapatahu dia tahu."Maaf, Dok. Mau nanya, Pasien atas nama Pak Ichwan Noor
Tanakeke … I'm ComingHadiah untuk Berlian tersimpan rapi dalam kotak beludru warna ungu muda dengan ikatan pita kecil di ujungnya. Kumasukkan kotak itu ke dalam tas lalu segera memacu kendaraan menuju pelabuhan penyeberangan. Satu jam lebih jaraknya dari kota. Tak masalah. Aku sudah terbiasa melakukan perjalanan jarak jauh. Untuk orang spesial kaki akan selalu ringan melangkah untuknya. Ponsel sengaja tidak kuaktifkan agar kali ini tidak ada yang mengganggu.Aku memilih menyetir sendiri sebab di sana tersedia area parkir yang cukup luas, kendaraan bisa dititip selama 24 jam atau lebih. Di sepanjang perjalanan beberapa kali aku mampir membeli buah tangan yang lain untuk Ahmad dan juga … ekhem, calon mertua. Sampai aku sedikit bingung bagaimana cara membawanya.Tak terasa mobilku sudah memasuki area pelabuhan. Kukurangi kecepatan lalu memutar ke arah parkiran. Saat turun dari mobil, bawaanku banyak sekali. Dua tangan ini tidak cukup muat untuk membawa semua hadiah untuk keluarga Berl
Motoris speedboat sudah siap dengan kemudinya. Dua orang lainnya pun telah duduk di atas speed. Tinggal aku yang ditunggu. Setelah memasang pelampung, aku menaiki Speedboat itu dengan sedikit meloncat. Barang bawaan diikat di bagian belakang.Jujur ini pertama kali aku naik speedboat kecil dengan kapasitas empat orang. Jantungku sempat berdebar-debar melihat gulungan ombak yang besar di depan sana. Belum lagi posisi seperti duduk di atas air membuat suasana hati makin tak karuan. Ya Allah semoga selamat sampai tujuan. Ini semua demi Berlian.Mesin mulai dihidupkan lalu ditambah volumenya, dalam sekejap speedboat ini melesat jauh meninggalkan dermaga. Wajahku tertampar angin laut tanpa henti. Setiap kali ada gelombang, peganganku makin kuat, lalu isi perut seperti diaduk-aduk, memberontak ingin mengeluarkan semua isi di dalamnya. Sekuat tenaga kutahan agar tenggorokanku bisa sedikit bersabar. Sedikit lagi tiba di tujuan.Kurang dari dua puluh menit, speedboat merapat di dermaga Tanekek
"Uhuk!"Berlian dan ayahnya spontan terbatuk bersamaan. Lantas mereka saling berpandangan dan tawanya pecah. Lho? Aku salah apa? Kupandangi mereka secara bergantian dengan tatapan heran. "Ehm, ada yang salah?" tanyaku dengan menggaruk-garuk kening."Hasyim, masa iddahku belum selesai lagian aku juga belum ngasih jawaban mau apa tidak." Nyaliku sedikit menciut mendengar pernyataan Lian. Ya, sedikit saja. Selebihnya masih berkobar seperti api yang disiram bensin."Kamu sabar aja dulu, jawabannya nanti setelah masa iddah habis langsung kuberitahu. Kamu siapkan mental jangan sampai pingsan." "Gak bisa jawab sekarang biar tidurku tenang, begitu?""Tidak bisa. Seorang wanita yang ditinggal mati atau cerai dengan suaminya, tidak boleh membahas masalah pinangan sebelum masa iddahnya berakhir. Itu yang kutahu dari ceramahnya para Ustaz. Meski jawabannya sudah kupersiapkan, tetapi nantilah kujawab jika waktunya sudah tiba.""Ehm, anu … maksudku, kasi bocoran sedikit saja." Aiih, bicara apa a
Aku dan Pak Makkatutu memasuki taman baca yang sudah mulai sepi. Maklum sudah mulai petang. Pengunjung tahu jika taman baca sebentar lagi akan ditutup.Jejeran buku terpajang rapi di atas rak. Kursi-kursi untuk pembaca di letakkan di bagian tengah, dikelilingi oleh tanaman bunga asoka di dalam pot besar juga rintik air buatan yang terus menetes di bagian dalam tembok. Suasananya adem. Siapapun yang datang akan betah."Kalau Nak Hasyim mau baca buku-buku tulisan Berlian, ada di rak warna putih itu." "Berlian jadi penulis?""Masin dalam tahap belajar. Beberapa tulisannya sudah dibukukan dan bisa dibaca gratis di taman baca ini.""Hebat.""Alhamdulillah. Ia memang sangat menyukai dunia pendidikan. Meski tidak sempat kuliah, tetapi paling tidak ilmunya yang sekarang bisa bermanfaat buat masyarakat di sini.""Wah, luar biasa ini, Pak. Saya saja yang kuliah tinggi-tinggi nggak kepikiran buat taman baca gratis untuk warga.""Nak Hasyim beda. Ruang lingkup Dokter lain juga. Tidak kepikiran b
Waktu bergerak begitu cepat. Usia kandungannya sudah memasuki trimester ke tiga tahap akhir. Sejak awal, Dokter Obgyn menyarankan kepada kami untuk mempersiapkan diri. Berlian tidak bisa melahirkan melalui persalinan normal. Selain pertimbangan usia, ia juga pernah mengalami keguguran yang membuat kandungannya lemah."Kamu gak boleh banyak mikir. Operasi cesar itu gak bahaya, kok. Yang penting kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi, dan juga jangan lupa berdoa.""Aku takut, Pah." Ia menatapku dengan tatapan sendu."Ada aku, kan. Kita sama-sama di kamar operasi." Aku mencoba meyakinkannya. Jadwal persalinan sudah dekat, tetapi ia belum memantapkan hati. Maklum, ini pengalaman pertamanya. Beda denganku, sudah tak terhitung pasien ibu melahirkan yang kutangani di kamar operasi. Dokter anestesi memang selalu standby di sana. Namun, untuk kali ini yang jadi pasiennya ialah isteriku sendiri. Gugup. Tentu saja. Tapi, aku tak ingin menampakkannya di depan Berlian."Papah juga doakan aku,
Semenjak Berlian dinyatakan hamil, aku meminta Bu Siah dan ART yang lain untuk menginap di rumah. Hanya ingin memastikan semua kebutuhannya tersedia dan dikerjakan sepenuhnya oleh ART kami. Berlian harus bed rest. Apalagi ia pernah mengalami keguguran di pernikahan sebelumnya. Harus lebih hati-hati lagi dan menjaganya semaksimal mungkin agar ia dan bayinya sehat selamat hingga persalinan nanti.Empat bulan sudah berlalu dan selama itu pula aku 'berpuasa'. Jangan ditanya bagaimana aku mengalahkan keinginan itu. Terkadang aku membaca buku sepanjang hari jika ada libur kerja atau berpuasa. Berlian sekarang terlihat lebih fresh, mual muntahnya sudah berkurang drastis. Aku pun sudah diizinkan untuk kembali ke kamar. Akhirnya!"Pah, Papah." Ia menggoyang-goyang tubuhku yang sudah terlelap.Aku menggeliat dan segera membuka mata. "Kenapa, Sayang?""Lapar." "Oh, nanti aku ambilkan." Aku menyibak selimut hendak ke dapur."Gak mau." Ia melerai tanganku"Mau makan apa?""Jagung pulut rebus pak
"Papah bisa gak tidurnya di kamar sebelah saja." Ia memelas melihatku akan mendekat ke arahnya."Jangan gitu, dong, Sayang.""Kalau Papah tidak mau, biar aku aja yang pindah. Papah di sini dan aku ke kamar sebelah." Matanya berkaca-kaca. "Eeeh, jangan nangis. Biar aku saja yang pindah. Kamu harus gembira. Ibu hamil gak baik sering menangis." Aku beranjak meninggalkan kamar. Namun, belum sampai di pintu, ia berseru lagi. "Sekalian pindahkan juga baju-baju Papah. A-aku mual mencium aromanya."Ya, Robbana. Ujian apa lagi ini? Demi kau dan si buah hati, terpaksa aku harus mengalah. Aku bersenandung mode on.Kupanggil Bu Siah untuk memindahkan seluruh barang-barang pribadiku ke kamar sebelah. Berlian tersenyum puas. Begitu juga Bu Siah. Bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa lebar dengan suaranya yang khas."Sabar, Pak Dokter. Palingan ini cuma sebentar, ya sekitar tiga bulanan lah," ucap Bu Siah yang mengeluarkan pakaianku dari dalam lemari."Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar, Bu.
Alhamdulillah." Aku dan Berlian mengucapkan hamdalah bersamaan. Aku memeluknya tanpa peduli ada dokter di depan kami. Dokter ini rekan sejawatku juga, kok. Hanya beda spesialis saja.Perawat yang tadi ikut tersenyum melihat kami. Ia mengikut di belakangku dan mengantar Berlian kembali ke ruang rawat inap."Selamat istirahat, ya, Bu. Mari! Dok." Perawat tadi pamit dan meninggalkan aku, Berlian, dan Bu Siah di dalam kamar.Baru saja Berlian merebahkan badan. Ia mengeluh kepalanya pusing lagi. Perutnya seperti menggiling sesuatu. Ia hendak muntah. Segera aku mengelus tengkuknya dan Bu Siah mengambil nampan wadah muntah yang tersedia di dekat wastafel.Berlian memuntahkan semua isi lambungnya hingga tersisa cairan yang berwarna keruh. "Pah, maaghku kambuh. Lambungku terasa perih." Ia meringis memegangi perutnya. Napasnya berhembus dengan cepat."Iya, Sayang. Sabar, ya. Lambung kamu perih karena sudah gak ada isinya. Makanannya udah keluar semua."Berlian punya riwayat maagh. Ia pernah be
Suasana rumahku kembali hidup setelah dua hari ditinggal oleh nyonya-nya. Bawel, merajuk, manja, menghiasi hari-hariku bersamanya. Seperti kicauan burung yang melengkapi sejuknya hembusan angin. Kehadiran Berlian seolah nyawa bagi rumah ini. Tanpanya, hunian terasa sepi, kosong, dan hilang semangat. Padahal baru dua hari, lho. Bagaimana kalau berminggu-minggu bahkan berbilang tahun. Oh, tidak! Jangan sampai terjadi. Berlianku akan tetap di sini bersamaku.Kesehatan matanya terus dikontrol dengan rutin dan disiplin. Ia pun sungguh-sungguh berjuang ingin sembuh. Awalnya ragu untuk melakukan operasi, tetapi setelah aku berhasil meyakinkannya, akhirnya operasi perbaikan syaraf retina berjalan lancar.Waktu terus berlalu dengan cepat. Berbulan-bulan tak terasa. Kesehatannya mengalami kemajuan. Asal patuh dengan saran dokter, proses penyembuhan bisa lebih cepat. Ayah mertua sesuai janjinya, beliau yang rutin berkunjung ke kota sekali sebulan. Begitu juga dengan Ahmad, jika hari libur tiba,
Begitu sampai di rumah ayah mertua. Aku mengetuk pintu dengan lemah. Tanganku bertumpu pada dinding tembok agar badan tidak roboh. Kudengar pintu terbuka. Wanita yang paling kurindukan menyambutku dengan wajah kaget tak percaya. "Papah?""I–I–iya," jawabku terbata dan dalam sekejap tubuhku langsung ambruk ke lantai.Berlian berteriak memanggil ayahnya, "Ayaaah! Cepat ke sini!"Badanku terangkat dengan kondisi lemas di seluruh persendian. Aku benar-benar kehilangan tenaga.Dengan susah payah, ayah mertua membopong tubuhku ke dalam kamar. Selanjutnya Berlian melepaskan sepatu dan kemeja yang kukenakan. Badanku bermandikan keringat dingin. Rasanya sungguh tak nyaman. Berlian dengan cekatan mengambil air hangat lantas memaksaku untuk minum. Setelahnya aku dibiarkan istirahat sampai rasa pusing ini lenyap.Kurasakan jemari kaki seperti dipijat lembut secara bergantian. Hingga aku terlelap entah sampai berapa jam.Saat kubuka mata, aku mengedarkan pandangan. Ada makanan yang sudah terhidan
Ia berhenti bicara. Hanya isakan tangis yang terdengar di balik bantal.Sebenarnya tanpa konsultasi ke dokter pun aku bisa memutuskan. Jawabannya tidak. Cuaca di Tanakeke sangat panas. Meski nanti di sana hanya di rumah saja hawa teriknya sangat terasa sampai ke dalam. Belum lagi jika angin laut berhembus kencang. Pasir-pasir halus melayang di udara. Efeknya kurang bagus buat kondisi Berlian."Ehm. Mau berapa hari di sana?""Papah antar aja dulu, nanti balik ke kota lagi. Kalau aku sudah berhenti kangen, tinggal Papah jemput."Berapa hari kira-kira?""Satu pekan.""Apa?" Aku terlonjak mendengarnya. Jangankan satu pekan, satu hari tak melihatnya saja aku tak bisa tidur. Apalagi tujuh hari. Yang benar saja.Aku menarik napas mencoba melakukan negosiasi. Jujur, ini rumit. Tapi, tidak ada salahnya aku coba."Kalau tiga hari saja, bagaimana?"Ia melirik. Kemudian berbalik seperti semula. Berpikir beberapa saat. Aku menunggu jawabannya. Dan akhirnya ia pun setuju."Insya Allah besok pagi se
Aku melipat kedua lengan kemudian bersandar pada dinding ruangan di mana Berlian menjalani proses MRI. Tenaga medis yang lalu lalang di hadapanku kadang menatap heran saat tak sengaja melihat ekspresi sedih, tapi mereka urung bertanya.Tidak terlalu lama proses pengambilan gambar itu berlangsung, tetapi entah kenapa rasanya sudah berjam-jam. Aku melihat lagi ke dalam melalui kaca pintu, terlihat Berlian sudah merapikan kembali pakaiannya. Bibirku melengkungkan senyuman. Teramat lega. Satu proses telah selesai. Tinggal melihat hasilnya nanti."Maaf, Dok. Kita bisa bicara di ruangan saya sebentar?" "Baik, Dok. Aku tungguin isteri dulu," jawabku sembari mengarahkan pandangan pada Berlian yang sedang berjalan menuju pintu."Ok. Saya tunggu." Dokter itu pun berlalu.Berlian membuka pintu dan aku langsung memeluknya. "Alhamdulillah, sudah selesai. Gak ada yang perlu ditakutkan." Aku mengelus-elus pundaknya dan sedikit berbisik memberinya kalimat motivasi."Makasih, Pah." Ia melepaskan pelu
"Kan bisa rebahan. Atau baca buku. Menulis juga. Itu semua aktivitas. Gak ada yang sia-sia yang dilakukan isteri untuk suaminya.""Pokoknya kamu itu gak boleh capek." Aku memberi sedikit warning agar ia menurut. Ini untuk kebaikannya juga. "Iya, deh. Papah atur aja gimana baiknya." Apa kubilang. Ia selalu menurut kalau aku mengatakan sesuatu meski awalnya harus protes dulu"Nah, gitu dong, Sayang." Aku mengedipkan mata padanya membuat ia seketika tersipu.Aku beranjak dari meja makan kemudian mencuci tangan di wastafel. "Yuk, kita berangkat!" Ajakku setelah mengeringkan tangan dengan tisu."Bentar. Aku bereskan dulu ini.""Nanti Bu Siah aja.""Kalau gitu aku gosok gigi dulu, habis makan nasi, nih," pintanya bergegas ke belakang."Iya. Aku tunggu di depan, ya."Ia tak menjawab. Mungkin sudah ada di toilet.Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan untuk gosok gigi. Padahal untuk kaum lelaki, cukup semenit sudah beres. Berlian menemuiku dengan senyuman merekah seperti mawar. Ia selalu begitu