Beranda / Romansa / Kutunggu Jandamu / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Kutunggu Jandamu: Bab 1 - Bab 10

75 Bab

Bab. 1. Nama Yang Sama

"Maaf, Dok, panggilan darurat, ada pasien kecelakaan, harus segera dioperasi!" seru Dokter Andi, residen yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun terakhir, di rumah sakit terbesar di Makassar."Ya, persiapkan semuanya, aku menuju ke sana." Aku segera menutup sambungan telepon, lalu bersegera ke tempat tujuan. Padahal, rencananya ingin istirahat sebentar, mengingat jadwal operasi untuk nanti malam sudah menanti. Aku sangat lelah, sejak subuh hingga jam dua siang, pasien sedang antri untuk masuk di ruang operasi. Tapi, apa daya, keselamatan pasien di atas segalanya, menunda istirahat untuk saat ini adalah pilihan yang tepat.Kulajukan mobil dengan kecepatan di atas standar, sungguh beruntung kondisi jalan kota Makassar sedikit lengang setelah diguyur hujan deras, tidak ada drama macet di jalan selama berjam-jam, hingga akhirnya bisa tiba di tujuan hanya hitungan menit saja.Dengan langkah cepat kususuri koridor rumah sakit, lalu menuju kamar operasi. Tiga dokter spesialis lainnya sudah
Baca selengkapnya

Bab. 2. Patah Hati Sebelum Memiliki

Wanita itu segera kembali ke kursinya, ia menunduk dalam sembari mengatup kedua telapak tangan dengan erat di atas pangkuan, lalu jemarinya bergerak menyapu kelopak mata yang sudah berair. Bahunya sedikit berguncang. Ia menangis dengan suara yang nyaris tak terdengar.Cukup lama aku terdiam, mengamati wanita yang entah benar atau tidak, ia yang selama ini kucari. Wajahnya tertutup rapat oleh kain, jilbabnya menjulur panjang. Aku tak bisa menerka rupanya, tapi ada sesuatu yang membuatku yakin, jika dia adalah Bulan Berlianku. Rasa yang mendadak aneh setelah mengetahui namanya, ditambah lagi saat mendengar suaranya barusan. Bukankah ini ganjil. Merasa gembira sekaligus patah dalam waktu bersamaan. Rasanya campur aduk."Dok, ada yang bisa dibantu?" Suster Yani sedikit membuatku terlonjak."Ehm, tidak ada. Makasih." Refleks kumenjawab, lalu berlalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangan. Sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi khawatir ada yang curiga. Kembali aku terdud
Baca selengkapnya

Bab. 3. Gadis Istimewa Di Masa Lalu

Pak Makkatutu mengusap kepala puterinya penuh kasih sembari menepuk-nepuk pundaknya, semacam memberikan penguatan bahwa semua akan baik-baik saja."Kamu yang sabar, banyak doa, insya Allah suamimu akan sehat seperti semula." Terdengar Pak Makkatutu menenangkan Berlian. Suara berat khas miliknya membuatku seperti kembali ke masa-masa sekolah. Beliau yang sering menegur jika main terlalu lama dengan Berlian, beliau juga yang paling sering menanyakan kabar kedua orang tuaku juga rencana-rencana ke depan setelah tamat sekolah.Saat mereka berlalu dari hadapanku, aku pun berjalan menuju parkiran dengan tungkai kaki yang nyaris lepas. Rasa lelah, kaget, dan patah hati menjadi satu. Ingin segera tiba di rumah, lalu mengguyur tubuh ini dengan air, penat sekali rasanya.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebab jarak rumah sakit dengan kediamanku hanya sekitar lima belas menit. Tak menunggu lama, aku rebahkan diri di atas sofa setelah memasuki ruang tamu. Benar-benar lelah, jiwa raga.Ba
Baca selengkapnya

Bab. 4. Memperkenalkan Diri

Semoga saja tekad untuk menyapa tidak menguap saat tiba di sana. Meski aku dan Berlian sudah berteman sejak lama, bukan berarti aku tidak akan canggung. Perjalanan waktu sudah mengikis keakraban itu, apalagi status sudah berbeda. Dia wanita bersuami, dan aku, lelaki lajang di usia terlampau dewasa."Assalamu alaikum, Dok," sapa dokter Andi yang mendampingiku di kamar operasi. "Waalaikum salam. Gimana, semua sudah siap?" tanyaku setelah tiba di rumah sakit dan berganti pakaian."Sudah, Dok.""Baik, mari kita mulai. Seperti biasa, kita berdoa semoga Allah memudahkan semuanya. Amiin." Setelah itu kami mulai bekerja. Aku mencoba fokus sebelum menyuntikkan anestesi epidural, namun entah kenapa tiba-tiba tanganku gemetar."Maaf, Dok. Anda baik-baik saja?" Aku menghela napas. "Iya, i'm ok."Lalu, kami melanjutkan tugas kembali setelah sempat terjeda sekian menit, sebab ingatanku yang tak bisa diajak kompromi. Bertahun-tahun aku melakukan tugas yang sama pada pasien dengan kasus serupa, te
Baca selengkapnya

Bab. 5. Pertemuan Mengharukan

Berlian dan Pak Makkatutu kompak menyebut namaku dengan girang"Iya, ini aku Hasyim, Lian, Pak," jawabku tak kalah antusias.Aku mengulurkan tangan pada Pak Makkatutu, tetapi beliau malah merangkulku dengan erat. "Masya Allah, sudah jadi orang hebat kamu, Nak," ucap beliau."Alhamdulillah, biasa saja, Pak. Ini semua berkat pertolongan Allah, kemudian orang baik di sekelilingku." "Kamu dokter apa?" tanya Berlian menelisik seolah sulit percaya jika yang berdiri di depannya adalah sahabat karib saat masih sekolah."Tukang bius-biusin pasien, Lian.""Owh, anestesi?" jawabnya semangat"Yup.""Berarti kamu yang tangani suamiku tadi siang?"Iya."Ia bertanya lagi padahal sudah kujelaskan sebelumnya. Mungkin, masih ada rasa tak menyangka jika dokter anestesi itu benar-benar aku orangnya.Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan beberapa menit. Berlian penasaran, bagaimana ceritanya hingga aku bisa mengabdi di rumah sakit besar ini. Tapi, aku bilang, sejarahnya panjang, nanti lain kali dibaha
Baca selengkapnya

Bab. 6. Ampuni Rasa Ini

Bab. 6. Ampuni Rasa IniSebentar! Aku ingin menepi dulu, kurasakan tengkukku pegal, kepala terasa berat. Baru saja aku bernapas lega karena sudah bertemu Berlian, sekarang harus berhadapan dengan masalah baru lagi. Nurul, sahabatku. Dan Berlian wanita istimewaku."Gimana, Dok?" tanya Nurul menyentakku.Belum aku menjawab, ia mengiba lagi. "Tolong, ya, Dok. Aku akan menanggung malu seumur hidup, jika pernikahanku batal karena calon suami masuk penjara."Duh, rasa kasihan padanya tiba-tiba mendominasi, tapi, bagaimana caraku menyampaikan pada keluarga Berlian, bukankah itu tak adil?Suaminya yang menjadi korban yang sampai hari ini masih dirawat akibat luka parah, masa iya harus diminta legowo.Lagipula, aku dan Berlian baru bertemu setelah bertahun-tahun, harusnya kami bernostalgia mengenang masa-masa sekolah, bukan malah mencampuri hal-hal seperti ini."Ehm, sekarang kamu istirahat saja dulu, besok kita akan pikirkan bersama. Pasien yang aku tangani tadi siang, benar, itu korbannya,
Baca selengkapnya

Bab. 7. Aku Nyaris Gila

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua saat tiba di rumah. Aku masih ada waktu untuk istirahat sebentar sebelum masuk waktu subuh.Di rumah ini aku tinggal sendiri, ART hanya datang saat pagi, membersihkan rumah, memasak, dan mencuci. Setelah semua beres, ia pulang. Kedua adikku sudah berkeluarga dan punya hunian masing-masing, Bapak dan Mamak tinggal di kampung, tiap dua pekan sekali aku kusempatkan menjenguk mereka.Jadi saat malam begini, sangat terasa sepi, benar-benar seorang diri. ****Sayup-sayup panggilan azan membuatku membuka mata, pelan aku bangkit ke kamar kecil, lalu berwudhu, dan segera ke masjid. Ini ajaran dari Bapak, sesibuk apapun, jangan pernah meninggalkan salat lima waktu berjamaah, kecuali jika keadaan memang tidak memungkinkan, di ruang operasi, misalkan.Beliau juga berpesan, jika cari lokasi tempat tinggal, usahakan yang dekat dengan masjid agar langkah tidak berat berjalan ke sana.Aku turuti semua nasehat beliau, rumah ini hanya berjarak sekitar tiga puluh m
Baca selengkapnya

Bab. 8. Gantungan Kunci Istimewa

Mendadak telapak tanganku berkeringat dingin. Aku tidak menyangka alasan Berlian begitu menakjubkan. Katanya, sebab kecelakaan ini, Allah mempertemukan kita kembali, sahabat di masa lalu dan selamanya akan begitu."Apapun itu, yang namanya kecelakaan pastilah menyedihkan, tetapi, itu semua sudah terjadi, dijalani saja." Berlian terus berbicara sembari kami jalan bersisian, bertiga dengan puteranya."Iya, betul. Allah mempertemukan kita sebab kecelakaan ini, bukan berarti aku bersyukur suamimu celaka, naudzubillah tidak seperti itu, ambil hikmahnya saja," ucapku dengan napas naik turun."Benar. Allah menempatkan takdir sesuai porsinya. Dijalani, ikhlas, dan ridho."Aku makin kagum saja dengan pola pikirnya, ia menjelma jadi manusia religius sekarang. Semakin dewasa semakin menggemaskan. Tetapi, apa daya, saat ini aku sebatas mengagumi. Tidak mungkin menjadi milikku. Ia sudah ada yang punya."Lian, sini kubantu bawakan, kayaknya bawaanmu berat sekali." Aku menawarkan bantuan, tas yang d
Baca selengkapnya

Bab. 9. Nostalgia Yang Menyiksa

Bab. 9. Nostalgia Yang MenyiksaAku mengayun langkah cepat, masih dengan raut gugup. Tak ada senyuman yang kutampakkan. Benar-benar rasa ini seperti mengacaukan hidupku.Bahkan tanpa sadar aku menabrak Dokter Farid yang juga berjalan cepat."Sorry, Dok," ucapku meminta maaf."Dokter Hasyim, ada apa? Wajahnya pucat lho?" Dokter Farid menimpali lalu menelisik ekspresiku dengan teliti"Masa' sih?" Aku berusaha menetralkan rasa, biar tidak kentara jika sejak tadi aku dilanda kegugupan."Iyyyaaa," jawabnya yakinAku sontak tertawa lalu menepuk bahunya dengan keras."Barusan aku bertemu bidadari, makanya pucat," sahutku dengan terkekeh. Ketawa yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan apa sebenarnya yang kurasakan."Heleh. Ada-ada saja. Bicara doang, gak ada bukti. KUA deket noh, ajak bidadarinya ke sana." Dokter Farid tak mau kalah, ia pun terkekeh sambil mengejek.Sudah kubilang, diantara semua rekan sejawat, hanya ia yang berani bicara ceplas ceplos soal jodoh denganku. Kalau sudah
Baca selengkapnya

Bab. 10. Pesan Dari Berlian

Saat asyik memutar memori tentang buah mangga dengan Berlian, ponselku tiba-tiba saja berdering. Dari Relawan PMI, tanpa pikir panjang segera kuangkat. Sepertinya kondisi darurat."Assalamu alaikum, Dokter Hasyim." Suara salam dari ujung telepon terdengar tergesa-gesa."Waalaikumsalam. Iya, ada yang bisa dibantu?""Info gempa dan tsunami yang terjadi kemarin di kota Palu menelan korban jiwa yang terus bertambah. TKP butuh relawan, donasi, dan evakuasi! Seperti biasa, Dokter Hasyim yang kami amanahkan untuk memimpin tim relawan medis ke sana.""Iya. Siap! Kita adakan rapat terbatas dulu sekitar satu jam untuk menentukan titik evakuasi paling darurat," sahutku dengan kesiap-siagaan."Baik, Dok. Ditunggu di kantor Relawan PMI!" Tim dari sana segera menutup sambungan telepon.Segera aku bangkit dari kursi lalu menuju ruangan Dokter Farid. Tugas yang menanti beberapa jam ke depan akan aku alihkan untuknya. Penanganan darurat di medan bencana harus segera dieksekusi dan aku yang diminta unt
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status