Namun, ternyata dia bukan suamiku.“Bu, sebaiknya Ibu pindah tidur di kamar, di sini udara semakin dingin.” Niar mengelus kembali pundakku.“Pukul berapa ini, Ni?”“Sudah jam sembilan malam, Bu.”Aku terhenyak dan mengumpulkan ingatanku. Tadi aku sedang menunggu suamiku dan aku malah ketiduran di sini?“Apa, Mas Mirza sudah pulang saat aku tidur, Ni?” tanyaku pada wanita muda itu. Niar menggeleng, itu artinya tidak ada Mas Mirza di rumah ini. Aku melihat kembali ponsel yang tergeletak di sampingku, tidak ada pesan atau panggilan dari Mas Mirza.“Thalita sudah tidur?”“Sudah, Bu.”“Sudah makan?”“Sudah, Bu. Apa Makanan ini perlu saya hangatkan kembali, Bu?” Niar menunjuk hidangan yang masih utuh di atas meja. Hanya berkurang sedikit, mungkin Niar yang mengambil waktu memberi Thalita makan.Hatiku kembali seperti disayat pisau. Perih dan pedih merajai sanubari. Aku menggigit bibir, meredam sakit saat kembali mengingat pesan terakhir suamiku.“Terserah, mau kamu apakan makanan itu,” uca
Baca selengkapnya