Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Jika kemarin-kemarin aku diam saja dan pasrah, tapi tidak untuk sekarang. Apalagi setelah aku menemukan beberapa bukti yang berkaitan dengan perginya Mas Mirza. Aku menyimpulkan kalau Mas Mirza tidak pergi keluar negeri bersama kekasihnya. Melainkan masih ada di sini, di sekitarku.“Nah, itu dia.” Aku berbicara sendiri.Aku pakai kaca mata hitamku, memakai sabuk pengaman, dan siap tancap gas mengikuti laki-laki itu pergi.“Kau bisa membohongiku, aku pun bisa menangkap basah dirimu,” gumamku.Mobil yang ditumpangi seorang pria dengan gelar dokter itu kini memasuki halaman rumah sakit. Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari belakangnya. Untungnya aku sengaja memakai mobil kantor agar dia tidak curiga aku ikuti.Satu lagi, kejanggalan mengenai Reza. Dia seorang dokter yang sudah memiliki klinik sendiri, tapi kenapa dia harus pergi ke rumah sakit? Apa dia bekerja di dua tempat? Tidak masalah memang, tapi mungkin akan membuatnya lelah.Setelah Reza masuk ke dalam rumah sakit, aku pun tur
Ah, tidak mungkin Mas Mirza melakukan hal menjijikkan itu di kantor. Kalaupun iya, dengan siapa dia melakukannya? Karyawan di sini juga, kah? Aku benci pikiran burukku.Aku membawa pil itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sepertinya ini bukan sembarang obat.Setelah pulang dari kantor, aku mampir terlebih dahulu ke sebuah kafe tempat biasa aku menghilangkan penat sewaktu masih gadis dulu.“Aletta!”Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. Aku pun melambaikan tangan pada wanita yang berjalan anggun menghampiriku.“Hay, Ai. Apa kabar?” tanyaku, menyapanya terlebih dahulu.“Seperti yang kamu lihat, Al. Kabarku baik, kamu sendiri? Kalau dilihat dari penampilannya, sekarang kamu kembali bekerja?” Aira berucap dengan memindai penampilanku dari atas hingga bawah.“Heem, mari duduk.” Kami pun duduk berhadapan.“Ada hal apa, yang membuatmu ingin kita bertemu di sini? Kamu tidak sedang sakit, kan?” tanya Aira.“Ini.” Aku menyerahkan plastik kecil berisi satu pil yang aku bawa tadi.“Apa ka
“Aletta!”“Apa yang kau lakukan di sini?”Aku menggelengkan kepala. Air mata yang sedari tadi berjatuhan, kini berhenti dengan tiba-tiba. Aku mengusap pipiku dengan kasar.“Mana Mas Mirza?” Kening Reza berkerut, dia menatapku dengan penuh tanda tanya.“Apa maksudmu, menanyakan Mirza di sini?” tanyanya lagi.“Kata suster tadi, kamu masuk ke ruang di mana Mas Mirza di rawat, tapi di mana dia? Kenapa di sini tidak ada. Dan dia siapa?”Dadaku naik turun, mataku menatap Reza dengan tajam.“Dia, Mirza, pasienku. Lalu siapa yang kau cari?” Ucapan Reza membuat otakku bekerja lebih keras. Aku melihat pada orang yang terbaring di atas ranjang. Dia bukan Mas Mirza.Aku mengingat kembali ucapan suster di luar tadi. Aku tidak mungkin salah dengar kalau Reza memiliki pasien yang bernama Mirza. Tapi kenapa dia bukan Mas Mirzaku. Laki-laki yang tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan tangan yang terpasang jarum infus, hanya melihatku dengan bingung.Mana mungkin aku salah lihat, dia bukan Mas M
Rapat yang aku pimpin sudah selesai. Untung saja aku bisa datang tepat waktu dan tidak membuat klien harus menunggu. Kalau saja itu terjadi, akan membuat citra perusahaan sedikit menurun.“Kamu tadi dari mana? Kenapa bisa datang siang ke kantor?” tanya Dion. Saat ini aku dan Dion sedang makan siang bersama di restoran yang tidak jauh dari kantor.“Aku mencari Mas Mirza,” jawabku tanpa menoleh pada Dion.“Bukannya kamu bilang, kalau Mirza berada di luar negeri bersama kekasih barunya? Lalu untuk apa kamu mencarinya di sini?”Aku menyimpan sendok dan mengambil gelas berisi jus mangga kesukaanku. Meminumnya sedikit, lalu menyimpannya kembali.“Aku menemukan beberapa bukti kejanggalan tentang perginya Mas Mirza. Entahlah, aku merasa kalau Mas Mirza tidak mengkhianatiku.”“Kamu terlalu mencintainya, Al.”Ya, benar yang dikatakan Dion. Aku sangat mencintai Mas Mirza. Dia tidak memiliki celah untuk aku membencinya. Selama hidup enam tahun dengannya, Mas Mirza tidak pernah meninggikan suara d
Seandainya aku bisa memutar waktu, ‘tak akan aku ijinkan dia pergi. Seandainya aku tahu yang akan terjadi, ‘ku akan terus berada di sampingnya hingga matahari tidak bersinar lagi.Kupandangi satu persatu gambar dia dalam album foto pernikahan kami. Semuanya sangat nyata tanpa rekayasa. Senyumnya, sorot matanya yang selalu berbinar bahagia.Aku sudah menghilangkan sebagian kenangannya dari kamar ini. Namun, aku tetap tidak bisa melupakan Mas Mirza. Bucin, itu yang selalu mereka katakan jika kita terlalu mencintai pasangan kita. Dan aku, adalah salah satunya.“Bu, maaf ... di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan, Ibu.” Niar mengetuk pintu lalu bicara memanggilku.“Siapa, Ni?” tanyaku dari dalam.“Temannya, Bapak. Teman kerjanya,” ujar Niar.Aku menutup Album foto dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Aku ke luar dari kamar, menemui si tamu yang datang.“Dion? Ada apa kamu datang ke sini malam-malam?” Rupanya Dion yang datang bertamu malam ini.“Maaf, Al mungkin aku tidak sopan b
“Niar, sepulang sekolah, nanti bawa Thalita ke rumah Mama, ya. Kamu masih ingat, ‘kan rumahnya di mana?”Setelah ada pembantu baru yang mengurus rumah, aku fokuskan Niar mengurus semua keperluan Thalita termasuk mengantanya ke sekolah.“Iya, Bu. Saya masih ingat,” ujar Niar.Setelah berpesan pada Niar, dan menemani putriku sarapan, aku pun berangkat ke kantor. Seperti biasa aku akan membawa mobil sendiri dan Pak Ari, akan mengantar jemput Thalita dan Niar ke sekolah.Pemandangan yang sudah biasa aku lihat saat pertama masuk ke ruanganku, ialah tumpukkan berkas yang harus dipelajari dan aku tanda tangani. Juga agendaku yang harus bertemu dengan klien sedang menanti.Seandainya Mas Mirza tidak pergi, biasanya pada jam segini aku sedang maskeran. Mempercantik diri menyuguhkan wajah yang fresh pada suamiku.Aku jadi teringat kembali pada Mas Mirza. Saat dia sedang banyak kerjaan dan membawanya ke rumah. Dia selalu mengajakku untuk ikut duduk bersamanya. Bukan untuk menemaninya, tapi dia m
Pukul empat sore aku sudah pulang dari kantor. Niat awal aku ingin pergi ke rumah Mama sambil menjemput Thalita. Namun, sayang Thalita sudah minta pulang duluan sebelum aku sampai di sana. Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Saat aku sampai, rupanya ada mobil Kak Rasyid yang terparkir di halaman rumahku. Sepertinya dia baru saja datang. Aku turun lalu masuk ke dalam rumah. Pemandangan yang aku lihat pertama ialah, Thalita yang sedang membongkar tas oleh-oleh dari omnya itu. “Kak, kapan sampai?” tanyaku. Aku mengambil tangannya dan menciumnya. “Baru saja, Al. Kakak sengaja datang untuk melihat perusahaanmu dan melihat keadaanmu juga Thalita.” Kak Rasyid mengelus kepala putriku dengan lembut. Tidak biasanya, Kak Rasyid sepertinya sedang punya masalah. Mata tegasnya terlihat sayu dan sendu. Beberapa kali ia mengecup dan mengelus kepala putriku yang duduk di sampingnya. Ada masalah kah dia dengan anak dan istrinya? Ingin bertanya, tapi rasanya sungkan. Apalagi K
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe