“Niar, sepulang sekolah, nanti bawa Thalita ke rumah Mama, ya. Kamu masih ingat, ‘kan rumahnya di mana?”Setelah ada pembantu baru yang mengurus rumah, aku fokuskan Niar mengurus semua keperluan Thalita termasuk mengantanya ke sekolah.“Iya, Bu. Saya masih ingat,” ujar Niar.Setelah berpesan pada Niar, dan menemani putriku sarapan, aku pun berangkat ke kantor. Seperti biasa aku akan membawa mobil sendiri dan Pak Ari, akan mengantar jemput Thalita dan Niar ke sekolah.Pemandangan yang sudah biasa aku lihat saat pertama masuk ke ruanganku, ialah tumpukkan berkas yang harus dipelajari dan aku tanda tangani. Juga agendaku yang harus bertemu dengan klien sedang menanti.Seandainya Mas Mirza tidak pergi, biasanya pada jam segini aku sedang maskeran. Mempercantik diri menyuguhkan wajah yang fresh pada suamiku.Aku jadi teringat kembali pada Mas Mirza. Saat dia sedang banyak kerjaan dan membawanya ke rumah. Dia selalu mengajakku untuk ikut duduk bersamanya. Bukan untuk menemaninya, tapi dia m
Pukul empat sore aku sudah pulang dari kantor. Niat awal aku ingin pergi ke rumah Mama sambil menjemput Thalita. Namun, sayang Thalita sudah minta pulang duluan sebelum aku sampai di sana. Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Saat aku sampai, rupanya ada mobil Kak Rasyid yang terparkir di halaman rumahku. Sepertinya dia baru saja datang. Aku turun lalu masuk ke dalam rumah. Pemandangan yang aku lihat pertama ialah, Thalita yang sedang membongkar tas oleh-oleh dari omnya itu. “Kak, kapan sampai?” tanyaku. Aku mengambil tangannya dan menciumnya. “Baru saja, Al. Kakak sengaja datang untuk melihat perusahaanmu dan melihat keadaanmu juga Thalita.” Kak Rasyid mengelus kepala putriku dengan lembut. Tidak biasanya, Kak Rasyid sepertinya sedang punya masalah. Mata tegasnya terlihat sayu dan sendu. Beberapa kali ia mengecup dan mengelus kepala putriku yang duduk di sampingnya. Ada masalah kah dia dengan anak dan istrinya? Ingin bertanya, tapi rasanya sungkan. Apalagi K
Aku semakin yakin, kalau Mas Mirza ada di rumah Mama. Tapi, kenapa harus sembunyi dari Thalita, apakah dia tidak merindukan putrinya? “Mungkin bajunya hanya sama, Sayang.” Aku berkata sembari menerka-nerka. Rasanya sekarang juga aku ingin mendatangi rumah mertuaku itu. Namun, bagaimana bisa karena ada Kak Rasyid di sini. Dia tidak tahu kalau aku mencurigai keluarga Mas Mirza yang menyembunyikan kebenaran tentang suamiku itu. Setelah mengobrol panjang lebar tentang perusahaan dan pekerjaan, tidak terasa waktu sudah semakin sore. Adzan maghrib sudah berkumandang. Aku pamit untuk mandi dan menunaikan salat tiga rakaatku. Lagi, aku bersimpuh dan meminta pada yang Maha Kuasa agar diberi jalan atas masalahku. Keyakinanku akan adanya Mas Mirza di sekitarku sangat kuat. Sedangkan semua orang yang berhubungan dengannya, selalu mangatakan hal yang sebaliknya. Cerita Thalita tadi semakin membuatku sangat yakin kalau Mas Mirza ada di sini. Tidak pergi ke luar negeri seperti yang dikatakan Rez
Seandainya aku punya keberanian untuk membantah Mama dan memaksa masuk ke dalam. Mungkin rasa penasaranku tidak akan setinggi ini. Tapi sayang, aku tidak punya keberanian untuk melawan, apalagi tempatnya di rumah Mama.Dengan sangat terpaksa, aku ke luar dari rumah Mama dengan perasaan yang masih diliputi banyak tanya.Sesampainya di kantor, seperti biasa aku akan sibuk dengan setumpuk pekerjaanku. Apalagi ada Kak Rasyid yang menemani serta membimbingku.Saat aku tengah fokus bekerja, suara denting ponsel membuyarkan konsentrasiku. Rupanya Niar yang memberi laporan dari rumah Mama.[Bu, Thalita nangis ketakutan, tadi dia bilang melihat tuyul.]Aku memicingkan mata membaca pesan dari Niar. Masa iya, ada tuyul di rumah Mama. Tidak mungkin juga Mama melakukan pesugihan.[Gimana Thalita sekarang, apa masih menangis?] tanyaku pada Niar.Aku melanjutkan pekerjaanku dengan perasaan tidak tenang. Mungkinkah yang dikatakan tuyul sama Thalita adalah pasiennya Reza? Bisa saja memang dia.[Sudah
Pintu kamar mandi terbuka, wajah Mama terlihat pucat. Setengah badanku masuk ke dalam. Melihat kemungkinan kalau ada seseorang di dalam sana. Namun tidak, kamar mandi pun kosong.Aku menutup kembali pintu kamar mandi dan berdiri tegak di depan Mama.“Ada siapa di sana? Apa ada orang, atau hantu yang kamu temui?” tanya Mama mengejekku.Aku menggeleng. Tidak mungkin kalau aku salah dengar tadi. Jelas sekali kalau tadi ada suara batuk dari sini. Tapi kenapa tidak ada siapa-siapa di sini.“Sudah, kita ke luar. Menganggu saja,” ujar Mama menggerutu.Aku pun akhirnya ke luar dengan diikuti Mama di belakangku. Sekitar lima langkah aku berjalan dari pintu kamar, aku berhenti dan berdiri di sana.“Kenapa lagi Aletta?” tanya Mama. Mungkin heran kenapa aku malah berhenti.“Kepalaku kok pusing dengan tiba-tiba ya, Ma.” Aku mengusap keningku.“Kamu sakit? Ayo kita ke depan biar ada udara segar,” ajak Mama.“Sebentar, Ma. Aku tidak kuat jalan. Kepalaku keleyengan, Ma.”“Terus Mama harus gimana, man
Setelah Mas Mirza pingsan di pelukanku, Mas Mirza dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak mau kehilangan dia untuk kedua kali. Aku terus menemani dia hingga sampai di ruangan yang Mas Mirza tempati.Dokter sedang melakukan pemeriksaan pada Mas Mirza, dan aku tidak diijinkan masuk. Aku hanya bisa menunggu di luar dan hanya bisa melihat dari kaca yang menempel pada pintu.Aku tidak sendiri, ada Mama Marta yang ikut denganku. Dia mengampiriku dan menggenggam tanganku.“Aletta, maafkan Mama harus merahasiakan ini darimu,” ujar Mama dengan suara bergetar.Aku tidak menanggapi ucapannya. Sungguh, aku sangat kecewa dan marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa pada wanita di sampingku ini. Selama ini dia menyembunyikan suamiku di rumahnya sendiri.“Ma, bagaimana keadaan, Mas Mirza.” Reza datang dan bertanya pada ibunya. Wajahnya terlihat kaget saat dia bersitatap denganku.“Dasar pembohong! Kau bilang dia pergi ke luar negeri, tapi nyatanya dia ada di sini!” Aku menyerang Reza. Tanganku memukul-mu
“Aku di sini, Mas.” Aku menundukkan kepala, mengecup punggung tangannya.“Inilah keadaanku, sekarang.”“Aku tidak peduli, Mas,” kataku menatap mata sayunya.Satu bulan dia meninggalkan rumah, membuatku pangling saat kembali aku bertemu dengannya.Wajahnya yang dulu cerah berseri, kini terlihat pucat. Badannya yang tegap berisi, kini semakin ringkih, tapi tidak mengurangi ketampanan yang dia miliki.“Aku jelek, Al. Badanku lemah. Lihat, kepalaku sudah tidak memiliki rambut, he.” Dia tersenyum yang dipaksakan.“Aku tidak peduli, Mas. Aku sangat mencintaimu. Tidak peduli bagaimanapun keadaanmu sekarang,” kataku mengusap mata. Aku semakin mendekatkan diri ke ranjang tidurnya. Aku peluk lengan yang dulu selalu merengkuh tubuhku. Masih hangat, meskipun tidak sekokoh dulu.“Kenapa, Mas harus meninggalkanku?” tanyaku dengan masih memeluk tangannya. Kusimpan kepalaku persisi di sebelah pundaknya.“Kau ingat, waktu aku akan mengucapkan ijab, dulu?” Aku mengangkat kepala dan duduk dengan tegak.
"Kenapa, Al?" tanya Mas Mirza dengan melihatku penuh tanda tanya."Kak Rasyid, Mas. Katanya dia kecelakaan," kataku sendu."Innalillahi, di mana? Di luar kota?""Tidak, dia sedang ada di kota ini. Tadi pagi dia pergi ke kantorku, tapi ... barusan Dion mengabarkan kalau Kakak kecelakaan." Hatiku tidak baik-baik saja.Aku bingung, antara harus pergi dan bertahan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan Mas Mirza, di sini. Reza sama Mama, belum juga kembali. Di sisi lain, aku juga khawatir dengan keadaan Kakakku. Bagaimana keadaan dia sekarang."Pergilah, temui Kakakmu. Dia sedang membutuhkanmu," ujar Mas Mirza."Nanti saja, jika Reza atau Mama sudah kembali." Akhirnya aku mengambil keputusan."Aku tidak apa-apa, Aletta. Pergilah temui Kakakmu."Aku menggigit bibirku, menimbang keputusan apa yang harus aku ambil. Bertahan, atau pergi. Tapi rasa kasihku pada seorang Kakak rupanya mendorongku untuk pergi."Berjanjilah, kamu tidak akan pergi lagi, ok?" Aku berucap dengan memegang sebelah pipi Mas
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe