Setelah Mas Mirza pingsan di pelukanku, Mas Mirza dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak mau kehilangan dia untuk kedua kali. Aku terus menemani dia hingga sampai di ruangan yang Mas Mirza tempati.Dokter sedang melakukan pemeriksaan pada Mas Mirza, dan aku tidak diijinkan masuk. Aku hanya bisa menunggu di luar dan hanya bisa melihat dari kaca yang menempel pada pintu.Aku tidak sendiri, ada Mama Marta yang ikut denganku. Dia mengampiriku dan menggenggam tanganku.“Aletta, maafkan Mama harus merahasiakan ini darimu,” ujar Mama dengan suara bergetar.Aku tidak menanggapi ucapannya. Sungguh, aku sangat kecewa dan marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa pada wanita di sampingku ini. Selama ini dia menyembunyikan suamiku di rumahnya sendiri.“Ma, bagaimana keadaan, Mas Mirza.” Reza datang dan bertanya pada ibunya. Wajahnya terlihat kaget saat dia bersitatap denganku.“Dasar pembohong! Kau bilang dia pergi ke luar negeri, tapi nyatanya dia ada di sini!” Aku menyerang Reza. Tanganku memukul-mu
“Aku di sini, Mas.” Aku menundukkan kepala, mengecup punggung tangannya.“Inilah keadaanku, sekarang.”“Aku tidak peduli, Mas,” kataku menatap mata sayunya.Satu bulan dia meninggalkan rumah, membuatku pangling saat kembali aku bertemu dengannya.Wajahnya yang dulu cerah berseri, kini terlihat pucat. Badannya yang tegap berisi, kini semakin ringkih, tapi tidak mengurangi ketampanan yang dia miliki.“Aku jelek, Al. Badanku lemah. Lihat, kepalaku sudah tidak memiliki rambut, he.” Dia tersenyum yang dipaksakan.“Aku tidak peduli, Mas. Aku sangat mencintaimu. Tidak peduli bagaimanapun keadaanmu sekarang,” kataku mengusap mata. Aku semakin mendekatkan diri ke ranjang tidurnya. Aku peluk lengan yang dulu selalu merengkuh tubuhku. Masih hangat, meskipun tidak sekokoh dulu.“Kenapa, Mas harus meninggalkanku?” tanyaku dengan masih memeluk tangannya. Kusimpan kepalaku persisi di sebelah pundaknya.“Kau ingat, waktu aku akan mengucapkan ijab, dulu?” Aku mengangkat kepala dan duduk dengan tegak.
"Kenapa, Al?" tanya Mas Mirza dengan melihatku penuh tanda tanya."Kak Rasyid, Mas. Katanya dia kecelakaan," kataku sendu."Innalillahi, di mana? Di luar kota?""Tidak, dia sedang ada di kota ini. Tadi pagi dia pergi ke kantorku, tapi ... barusan Dion mengabarkan kalau Kakak kecelakaan." Hatiku tidak baik-baik saja.Aku bingung, antara harus pergi dan bertahan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan Mas Mirza, di sini. Reza sama Mama, belum juga kembali. Di sisi lain, aku juga khawatir dengan keadaan Kakakku. Bagaimana keadaan dia sekarang."Pergilah, temui Kakakmu. Dia sedang membutuhkanmu," ujar Mas Mirza."Nanti saja, jika Reza atau Mama sudah kembali." Akhirnya aku mengambil keputusan."Aku tidak apa-apa, Aletta. Pergilah temui Kakakmu."Aku menggigit bibirku, menimbang keputusan apa yang harus aku ambil. Bertahan, atau pergi. Tapi rasa kasihku pada seorang Kakak rupanya mendorongku untuk pergi."Berjanjilah, kamu tidak akan pergi lagi, ok?" Aku berucap dengan memegang sebelah pipi Mas
"Kanker otak stadium empat. Dia juga dirawat di sini," kataku dengan pandangan yang lurus ke depan."Di ruangan apa dia dirawat? Aku ingin menemuinya," ujar Dion. Aku pun pergi ke ruangan Mas Mirza dengan diikuti Dion dari belakang.Setelah beberapa saat berjalan, sampailah kami di ruangan dimana Mas Mirza berada. Sepertinya Papa juga sudah berada di sini. Aku masuk dengan mengucapkan salam dan dijawab serentak dari dalam.Wajah Dion sangat syok saat pertama dia melihat Mas Mirza. Wajar, kini Mas Mirza tidak segagah dulu."Mirza, ini kamu?" tanya Dion tidak percaya."Ya, beginilah diriku sekarang, Yon. Jelek, ya?""Tidak, bukan itu. Kamu masih tampan, tapi ... terlihat pucat saja." Mereka saling melempar senyum. Keakraban terlihat pada keduanya. Bagaimana tidak, mereka sahabat dekat yang selalu bersama."Ada Papa rupanya. Mama ke mana?" tanyaku pada peria tua yang tengah duduk di sofa."Mama pulang, Papa menyuruh Mama, untuk menjaga Thalita. Biar Papa yang di sini menemani Mirza. Nant
Aku menjauh dari ranajang Mas Mirza, menyandarkan punggung pada tembok. Kubekap mulut agar tidak terdengar suara tangisku.Semua orang panik, terlebih diriku yang baru pertama kali melihat Mas Mirza menahan sakit. Reza menyuntikkan obat yang berbeda pada labu infus juga pada punggung tangan Mas Mirza.Perlahan tubuh Mas Mirza melemah, dia tidak berteriak lagi. Mas Mirza terkulai lemas di ranjangnya. Aku yang sesegukkan menangis di belakang Papa, kini menghampirinya. Aku naik ke atas ranjang Mas Mirza kupeluk tubuh ringkih yang tidak berdaya itu.Tidak peduli dengan dua orang yang melihatku dengan iba atau tidak suka. Aku menangis dengan sebelah tangan kusimpan di atas perutnya. Kucium pundaknya berkali-kali. Takut, sungguh aku sangat takut untuk kehilangannya.“Za, apa sebaiknya kita bawa Mas Mirza berobat ke luar negeri saja? Aku yakin dia akan sembuh jika kita bawa dia ke rumah sakit yang lebih besar dan canggih,” kataku memberikan usul.Reza menggeleng, lalu dia berjalan dan duduk
“Seharusnya kamu tidak melakukan ini, Al. Kamu bukan istriku lagi, kita tidak memiliki hubungan seperti dulu,” ujarnya sendu.“Ssttt, aku memang bukan istrimu, tapi aku sustermu, perawatmu. Jadi, jangan sungkan untuk meminta bantuanku, ok?”“Muntah lagi, Al?” tanya Reza yang baru saja datang usai memberikan laporan kepada dokter seniornya.“Heem, itu artinya, penyakitnya keluar dan Mas Mirza akan segera sembuh. Iya, kan?” kataku dengan senyum yang dipaksakan.“Sus, minta selimut baru, ya? Yang ini sudah kotor,” pintaku pada seorang perawat yang datang membawa sarapan untuk Mas Mirza.“Baik, Bu.” Suster berlalu dengan membawa selimut yang aku berikan.“Mau makan? Aku suapin, ya?” tawarku pada Mas Mirza. Tapi sayang Mas Mirza menggeleng.“Mual, Al.”“Satu saja, ya?” Aku tersenyum saat Mas Mirza mengangguk.Susah payah Mas Mirza menelan makanannya. Lalu dia minta minum agar makanannya segera masuk ke dalam perut.“Sudah, Al. Aku kenyang.” Mas Mirza menjauhkan mulutnya saat aku hendak men
“Sini, Al. Duduk di deket, Mas.” Mas Mirza melambaikan tangan menyuruhku mendekat.Aku menghampirinya dan duduk di kursi yang berada di dekat ranjang.“Mas ingin menyampaikan sesuatu padamu, Al.”“Aku akan mendengarkannya,” ucapku.“Kamu tahu, Al. Aku sangat menyayangimu?”“Hmm.” Aku mengangguk.“Aku tidak pernah minta apa pun darimu selama pernikahan kita. Tapi, untuk kali ini aku harap kau mau mengabulkan permintaanku.”“Apa, Mas?” tanyaku. Perasaanku jadi tidak karuan.“Nanti, jika aku sudah tidak ada, berjanjilah kamu akan bahagi—““Jangan katakan itu, Mas. Aku mohon, kamu akan sembuh dan kita akan kembali seperti dulu.” Dengan cepat aku memotong ucapan Mas Mirza. Aku tidak ingin dia meninggalkanku. Aku sangat menyayanginya.Aku genggam tangannya dengan erat. Matanya aku tatap dengan lekat.“Al, aku belum selesai bicara. Dengarkanlah dulu,” ucap Mas Mirza. Suaranya semakin pelan dan lambat.“Ok, akan aku dengarkan.”“Aku sudah tidak bisa menjagamu lagi, aku sudah tidak sanggup ter
“Gara-gara dirimu, anakku jadi harus kehilangan rahimnya! Dasar anak tak berguna! Bisanya hanya menyusahkan saja!” Aku memegangi pipiku yang panas akibat tamparan Ibu Kak Melati. Dia tidak menghiraukan teriakkan dari anak serta suaminya.“Apa salah saya, Bu?” tanyaku tidak mengerti. Aku kaget saat Ibu tiba-tiba memukulku dengan keras.“Kau masih tanya apa salahmu? Kau itu bodoh, apa tolol? Jelas-jelas Melati kecelakaan itu semua gara-gara dirimu! Kau yang tak becus mengurus hidupmu sendiri, membuat Kakakmu harus selalu turun tangan dan mengurus semua masalahmu. Harusnya kau sadar, Aletta. Rasyid itu sudah punya anak dan istri. Tidak seharusnya kamu terus membebani dia dan selalu minta tolong padanya atas semua masalah hidupmu. Lihat akibatnya, anak dan cucuku yang harus jadi korban kebodohanmu itu!” ujar Ibu Kak Mel dengan geram.Dengan berkacak pinggang, dia menunjuk-nunjuk wajahku dan terus menyalahkanku atas kecelakaan yang dialami Kak Melati.“Demi Allah, aku tidak menyuruh Kak Ra
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe