Reza, berdiri tidak jauh dariku. Dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana, seorang dokter muda itu melihatku dengan datar tanpa ekspresi.
“Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, Za. Makanya kamu bisa berkata seperti itu,” ucapku ketus. Aku mengusap pipiku yang basah dengan kasar. Berdiri dan duduk kembali di sofa.
Reza pun melakukan hal yang sama. Dia duduk di sofa tepat di depanku.
“Kamu itu terlalu manja, terlalu bucin, hingga diceraikan kakakku saja, kau anggap sebagai bencana besar.” Dengan melipat kedua tangannya di dada, dia terkekeh mengejekku.
Perbedaan yang sangat kontras antara Mas Mirza dengan Reza adiknya. Mas Mirza orangnya supel, memiliki kelembutan yang mampu membuat siapa pun jatuh hati. Sedangkan Reza, dia laki-laki es yang menurutku sangat kaku. Itu juga yang membuat dia sampai hari ini belum memiliki kekasih.
“Perceraian bagiku adalah bencana besar, karena aku tidak pernah berpikir menikah untuk berpisah. Aku selalu membayangkan akan hidup selamanya dengan Mas Mirza ....”
“Dan, bayanganmu tidak seindah kenyataan, bukan? Heh, menangis pun percuma. Karena kenyataannya, kau sudah bukan lagi istri kakakku.”
Benar, memang benar. Aku bukan istri Mas Mirza lagi. Alasan Mas Mirza menalakku pun sulit aku percaya. Tidak ada tanda-tanda kalau suamiku telah memiliki wanita lain di luar sana. Dia selalu bersikap manis dan mesra padaku.
Tidak ada wangi parfum wanita lain yang menempel di bajunya saat pulang kerja. Tidak ada noda bekas lipstik ataupun lipstik yang terbawa ke rumahku. Tidak ada pesan aneh yang masuk ke gawainya selama ini. Tidak pernah juga aku menemukan nota belanja atau makan malam romantis di restoran mewah.
Semuanya normal dan aku tidak pernah menaruh curiga sedikit pun pada Mas Mirza. Karena memang tidak ada yang mencurigakan. Namun, nyatanya aku telah tertipu. Dia begitu rapi menyimpan kebusukkannya.
"Kenapa diam? Ucapanku benar, 'kan?" ujar Reza membuatku geram.
"Aku akan mencari tahu semuanya sendiri," kataku dengan ketus.
Aku menyugar rambut. Sepertinya sudah cukup aku mencari-cari alasan kenapa Mas Mirza menceraikanku. Aku sudah tahu dan sangat menyakitkan.
Aku bangkit dari dudukku, mengambil tas dan pergi melenggang keluar dari rumah mertuaku. Percuma aku di sini, semuanya sudah usai. Aku telah kalah dari wanita yang baru saja dikenal Mas Mirza.
Aku duduk di belakang kemudi, menjalankan mobil untuk kembali ke rumah. Apa yang harus aku jelaskan pada Thalita, bahwa ayah yang selalu dirindukannya sudah tidak lagi peduli padanya. Kembali air mataku merembes keluar menghalangi pandangan. Cepat aku mengusapnya, agar bisa melihat dengan normal.
"Ya Tuhan ... sakit sekali." Aku berujar sendirian.
Saat aku tiba di rumah, Thalita sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia yang duduk di bangku TK, terlihat manis dan cantik. Senyumnya yang khas mengingatkanku pada Papanya.
‘Kenapa kamu tega, Mas. Apa kamu tidak mengingat Thalita?’ gumaku dalam hati.
“Mama, Mama dari mana, kok kayak nangis?”
Gadis kecilku memang pintar, dia selalu tahu kondisi hatiku.
“Iya, Sayang. Tadi, Mama habis jenguk teman yang sakit. Jadinya Mama sedih, deh. Thalita mau berangkat ke sekolah, ya? Jangan nakal, ya Sayang. Belajar yang baik, oke?” Aku menempelkan ibu jari dan telunjukku membentuk huruf O.
“Iya, Mama,” ujarnya dengan menangkup dan mengusap kedua pipiku.
‘Lihatlah, Mas. Putrimu sangat manis, sama sepertimu.’
Setelah kepergian Thalita yang diantar Niar, aku hanya berdiam diri di atas pembaringan. Sungguh, aku tidak memiliki gairah hidup. Aku memang terlalu mencintai suamiku. Aku menyerahkan seluruh hatiku untuknya.
Aku tidak pernah menyangka jika dia akan menjatuhkan hatiku dari ketinggian hingga menjadi hancur berkeping-keping.
*
Di sini aku sekarang, di kantor tempat Mas Mirza bekerja. Sebenarnya, ini adalah kantor peninggalan Papaku. Mas Mirza bisa menempati posisi sebagai direktur, atas rekomendasi dari Papa.
Papa meninggal dua tahun yang lalu, menyusul Mama yang telah berpulang terlebih dahulu. Aku memiliki saudara laki-laki yang tinggal jauh di luar kota. Sedangkan di sini, aku hanya tinggal seorang diri.
Aku selalu mengandalkan Mas Mirza dalam segala hal. Dari mulai perusahaan sampai perasaan. Aku sangat mempercayainya, tapi dia malah mengkhianatiku.
“Selamat siang, Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?” ucap seorang perempuan saat aku hendak masuk ke ruangan Mas Mirza.
Aku memindai dia dari atas hingga bawah. Sepertinya aku baru melihatnya di sini.
“Kamu siapa?” Aku balik bertanya pada wanita berusia sekitar dua puluh tahunan ini.
“Saya, sekertaris yang baru di sini, Bu.”
“Oh, pantas aku baru melihatmu. Cantika?” tanyaku.
Cantika adalah sekertaris lama suamiku. Dia sudah bekerja sangat lama di sini, dari mulai magang, sampai jadi sekertaris direktur.
“Oh, Mbak Cantika mengundurkan diri karena ikut suaminya ke luar kota,” ujar perempuan yang aku tahu bernama Sandra itu.
“Menikah? Kapan?” tanyaku pada Sandra.
Mas Mirza tidak pernah cerita kalau Cantika menikah dan memilih ikut dengan suaminya.
“Emm, hampir satu bulan yang lalu, Bu. Suaminya juga bekerja di perusahaan ini, tapi dia ditugaskan di kantor cabang yang berada di luar kota.”
Luar kota, satu bulan yang lalu? Ini aneh, Mas Mirza pergi ke luar kota satu bulan yang lalu. Dan Cantika menikah juga satu bulan yang lalu. Mas Mirza juga bilang akan berangkat dengan sekertarisnya. Apa mereka ...?
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menepis segala kemungkinan yang ada di depan mata. Jika dugaanku benar mereka berdua mengkhianatiku, aku tidak akan mengampuni mereka.
“Letta!”
Panggilan dari seseorang mengalihkan bayanganku dari Cantika dan Mas Mirza. Rupanya dia Dion—sahabat sekaligus wakil direktur yang membantu pekerjaan Mas Mirza di perusahaan ini.
“Dion, apa kabar?” tanyaku pada pria itu.
“Aku baik, kamu sendiri? Tumben mau main ke kantor, biasanya juga ogah-ogahan.”
“Aku baik juga,” kataku. “Ya ... mau liat-liat aja, sudah lama juga tidak main ke sini.” Dion manggut-manggut mendengarkan jawabanku.
Dion mengajakku ke ruangan Mas Mirza. Harum parfum Mas Mirza masih bisa tercium saat aku masuk ke dalam. Membuatku semakin merindukan pemiliknya. Namun, rinduku harus kukubur mengingat statusku yang sudah menjadi mantan.
“Mirza apa kabar?” tanya Dion.
Aku berdiam. Jangankan tahu kabarnya, dia makan atau tidak saja, aku tidak tahu. Aku menggeleng tanda tidak punya jawaban.
“Kok, geleng-geleng kepala. Oh, kebetulan nih kamu datang ke kantor ini. Aku mau tanya, kenapa Mirza bisa mengundurkan diri dari perusahaan?”
Deg!
Mengundurkan diri? Aku menatap lekat manik hitam Dion yang juga menatapku.
“Ma-maksud kamu apa, bilang kalau Mas Mirza mengundurkan diri?” tanyaku penasaran.
Dion memilih duduk di sofa tempat istirahat Mas Mirza. Sedangkanku, duduk di kursi kebesaran Mas Mirza.
“Loh, masa kamu gak tahu kalau Mirza, sudah mengundurkan diri satu bulan yang lalu. Aku sampai kebingungan mencari ganti dia dan pekerjaanku jadi sangat banyak. Mumpung kamu ada di sini, sekalian aja aku mau minta saranmu. Sebagai pemilik perusahaan ini, menurutmu siapa yang pantas menggantikan posisi suamimu itu?”
Aku bergeming, mencerna semua yang diucapkan Dion. Aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ini aku yang tidak konsen, atau Dion yang salah bicara? Aku tidak tahu.
Tubuhku tiba-tiba sangat lemas, hatiku kembali berdenyut. Banyak sekali rahasia yang disembunyikan Mas Mirza dariku.
“Aletta, are you ok?”
Aku tidak menjawab, menutup wajah dengan kedua tanganku.
“Aletta. Kenapa malah menangis?”
“Aku diceraikan suamiku.”
“What?!”
Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Dion. Tentang pesan terakhir yang dikirim Mas Mirza padaku.“Aku harus apa, Dion. Aku harus apa?” Aku tertunduk, kedua tanganku kugunakan untuk menyangga kepalaku yang pusing dan sakit.“Aku gak tau, Al. Apa kamu sudah bertanya pada keluarganya?” tanya Dion.“Sudah, Mama tidak bilang di mana Mas Mirza berada, dia hanya mengiyakan dugaanku tentang Mas Mirza yang berselingkuh.”Sebenarnya aku enggan menceritakan masalah pribadiku pada siapa pun, tapi aku tidak kuat jika harus memendamnya sendiri. Aku rapuh, aku tidak sekuat wanita di luar sana yang dengan mudah merubah cinta jadi benci. Apalagi sampai membalas perbuatan suaminya.Bagaimana aku bisa membalas sakit hatiku, aku saja tidak tahu keberadaan Mas Mirza. Apa aku harus ke kantor cabang untuk menemui Mas Mirza di sana? Sepertinya bukan ide yang buruk. Tapi, Thalita. Tidak mungkin aku akan meninggalkan putriku. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya."Aku tidak percaya jika Mirza pergi
“Apa yang membuatmu yakin kalau Cantika adalah wanita selingkuhan, Mirza?” Kak Melati bertanya dengan nada sedikit sinis. Apa mungkin Kak Melati juga punya pengalaman buruk dengan Cantika, atau mungkin ada hal lain yang membuat Kak Melati begitu tidak suka saat aku menyebut nama itu. “Aku menghubungkan waktu resign Cantika dengan waktu perginya Mas Mirza. Aku juga dengar, kalau bulan lalu Cantika menggelar pernikahan di luar kota dengan kekasihnya. Aku yakin, pria yang dimaksud kekasihnya Cantika, pasti Mas Mirza,” ucapku tertunduk.“Kamu punya bukti?” Kak Rasyid kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala dengan pelan. Aku tidak memiliki bukti apa-apa tentang perselingkuhan mereka. “Jangan menduga-duga, apalagi kamu tidak punya bukti, nanti jatuhnya fitnah, Dek,” ucap Kak Melati.Kak Rasyid pun membenarkan perkataan istrinya itu. Kakakku itu meraih gelas berisikan air, lalu menegaknya hingga habis. “Letta, bukan Cantika perempuan yang jadi pelakor dalam rumah tanggamu,” ujar Kak
“Mama ... seneng, deh kalau ada Papa. Aku mau main sama Papa, kayak Kak Naima tadi.”Aku belai rambut panjang putriku. Memberi kenyamanan dan ketenangan ditengah kerinduan dia pada Papanya.Melihat Naima yang bermain kuda-kudaan dengan Kak Rasyid tadi, membuat Thalita kembali merindukan sosok Papanya. Hampir setiap hari Thalita akan menghabiskan waktu dengan Mas Mirza.Mas Mirza tidak hanya bisa memikat hatiku, tapi hati Thalita juga. Dia selalu punya cara agar kedua wanitanya nyaman di sisinya. Tidak jarang, aku dan Thalita sering berebut tempat untuk bisa dekat dengan Mas Mirza.Namun, sayang sekarang hanya jadi angan saja. Jangankan kahadirannya, bayangannya pun enggan menyapa.“Ma, Papa kapan pulang, sih? Thalita, ‘kan kangen,” ujar putriku lagi.“Sabar, Sayang. Nanti kalau pekerjaan Papa sudah selesai, Papa pasti akan segera pulang,” kataku pada Thalita.Setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, akhirnya Thalita mau memejamkan matanya. Dia tidur dengan memeluk tubuhku.Sampa
“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.Bu
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe