“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.
Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.
“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.
Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.
“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.
“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.
Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku hormati.
“Kami, selaku orang tua Mirza, meminta maaf pada kalian. Khususnya pada Aletta. Kami tahu, cara Mirza yang menjatuhkan talak pada istrinya, memanglah tidak sopan. Dan terkesan, tidak punya adab. Memang benar, itu kesalahan anak kami. Kami tidak akan mengelak, karena anak kami memang salah.
Tapi, jika kalian meminta kami untuk memanggil Mirza ke sini, kami tidak bisa. Jangankan kalian, kami pun keluarganya tidak mengetahui keberadaan anak kami sekarang. Kami bahkan tidak bisa sekedar bertukar kabar dengannya.”
Aku lihat Mama mengusap matanya. Menangiskah dia? Apa yang Mama tangisi, perceraianku atau kepergian putranya yang tidak ada kabar? Aku tidak tahu.
Papa pun tertunduk setelah mengatakan hal itu. Wajah tuanya terlihat sendu. Apakah Papa menangis juga?
Sebenarnya aku yang sedang menahan tangis, rumah ini begitu banyak menyimpan kenanganku dengan Mas Mirza. Sebenarnya ke mana dia, kenapa harus bersembunyi?
Papa mengangkat kepalanya, matanya menatapku sendu. Tidak tahan aku melihat wajah Papa, karena di sana ada garis wajah Mas Mirza. Tanpa bisa aku tahan, satu tetes air mata jatuh dari sudut mataku.
Papa menghampiriku, mengelus kepalaku lalu menciumnya.
“Maafkan Mirza, Al. Maafkan Mirza ... dia telah menyakiti hatimu. Dia melukaimu begitu dalam,” ucap Papa dengan masih memeluk kepalaku.
Aku semakin tidak bisa menahan kepedihanku, akhirnya aku menangis di pelukan Papa mertua. Yang akhirnya membuat Papa pun ikut menangis.
“Apa salah Aletta, Pa? Kenapa Mas Mirza dengan tega meninggalkan Letta. Katakan pada Letta, di mana letak kekurangan Aletta, Papa?” Aku menangis dengan tergugu. Tidak peduli aku sedang berada di mana, dan dengan siapa aku menumpahkan air mataku.
“Tidak, Nak, kamu tidak salah. Sedikit pun kamu tidak pernah kurang dalam melayani kebutuhan Mirza. Mirza yang salah, anak Papa yang tidak bisa menjaga imannya.” Papa melepas rengkuhannya, mengusap air mata yang keluar dari mataku dan kembali ke tempat duduknya semula.
Hening. Kami saling diam dengan pemikiran masing-masing. Suasana yang tadinya tegang dan memanas, kini jadi haru dan canggung.
Mama Marta mengusap matanya dengan tisu. Kak Rasyid diam seribu bahasa. Hingga akhirnya, Papa kembali berucap menghilangkan kecanggungan.
“Thalita apa kabar, Al, kenapa tidak diajak ke mari?”
“Thalita dengan Kak Melati di rumah, Pa. Dia baik-baik saja,” kataku.
Kembali hening.
Sepertinya kedua orang tua Mas Mirza pun tidak mengetahui keberadaan anaknya. Terbukti, keduanya yang sangat merindukan dan mengharapkan kepulangan putranya itu.
“Maaf jika kedatangan kami ke sini telah mengganggu kalian, sebaiknya kita pamit untuk pulang. Tapi, jika nanti ada kabar dari Mirza, tolong beritahu Aletta. Bagaimanapun, Mirza punya anak yang selalu menunggu kepulangannya,” ujar Kak Rasyid.
“Iya, Nak Rasyid, tentu kami akan memberitahukannya. Doakan saja, agar Mirza cepat kembali,” jawab Papa.
Akhirnya aku dan Kak Rasyid pamit untuk pulang. Tidak ada jawaban atau pun titik terang yang kami dapat dari rumah ini. Semunya masih menjadi misteri.
“Aletta!” Aku yang hendak naik ke mobil, harus membalikan badan saat Reza memanggilku.
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.
‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.Bu
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Jika kemarin-kemarin aku diam saja dan pasrah, tapi tidak untuk sekarang. Apalagi setelah aku menemukan beberapa bukti yang berkaitan dengan perginya Mas Mirza. Aku menyimpulkan kalau Mas Mirza tidak pergi keluar negeri bersama kekasihnya. Melainkan masih ada di sini, di sekitarku.“Nah, itu dia.” Aku berbicara sendiri.Aku pakai kaca mata hitamku, memakai sabuk pengaman, dan siap tancap gas mengikuti laki-laki itu pergi.“Kau bisa membohongiku, aku pun bisa menangkap basah dirimu,” gumamku.Mobil yang ditumpangi seorang pria dengan gelar dokter itu kini memasuki halaman rumah sakit. Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari belakangnya. Untungnya aku sengaja memakai mobil kantor agar dia tidak curiga aku ikuti.Satu lagi, kejanggalan mengenai Reza. Dia seorang dokter yang sudah memiliki klinik sendiri, tapi kenapa dia harus pergi ke rumah sakit? Apa dia bekerja di dua tempat? Tidak masalah memang, tapi mungkin akan membuatnya lelah.Setelah Reza masuk ke dalam rumah sakit, aku pun tur
Ah, tidak mungkin Mas Mirza melakukan hal menjijikkan itu di kantor. Kalaupun iya, dengan siapa dia melakukannya? Karyawan di sini juga, kah? Aku benci pikiran burukku.Aku membawa pil itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sepertinya ini bukan sembarang obat.Setelah pulang dari kantor, aku mampir terlebih dahulu ke sebuah kafe tempat biasa aku menghilangkan penat sewaktu masih gadis dulu.“Aletta!”Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. Aku pun melambaikan tangan pada wanita yang berjalan anggun menghampiriku.“Hay, Ai. Apa kabar?” tanyaku, menyapanya terlebih dahulu.“Seperti yang kamu lihat, Al. Kabarku baik, kamu sendiri? Kalau dilihat dari penampilannya, sekarang kamu kembali bekerja?” Aira berucap dengan memindai penampilanku dari atas hingga bawah.“Heem, mari duduk.” Kami pun duduk berhadapan.“Ada hal apa, yang membuatmu ingin kita bertemu di sini? Kamu tidak sedang sakit, kan?” tanya Aira.“Ini.” Aku menyerahkan plastik kecil berisi satu pil yang aku bawa tadi.“Apa ka
“Aletta!”“Apa yang kau lakukan di sini?”Aku menggelengkan kepala. Air mata yang sedari tadi berjatuhan, kini berhenti dengan tiba-tiba. Aku mengusap pipiku dengan kasar.“Mana Mas Mirza?” Kening Reza berkerut, dia menatapku dengan penuh tanda tanya.“Apa maksudmu, menanyakan Mirza di sini?” tanyanya lagi.“Kata suster tadi, kamu masuk ke ruang di mana Mas Mirza di rawat, tapi di mana dia? Kenapa di sini tidak ada. Dan dia siapa?”Dadaku naik turun, mataku menatap Reza dengan tajam.“Dia, Mirza, pasienku. Lalu siapa yang kau cari?” Ucapan Reza membuat otakku bekerja lebih keras. Aku melihat pada orang yang terbaring di atas ranjang. Dia bukan Mas Mirza.Aku mengingat kembali ucapan suster di luar tadi. Aku tidak mungkin salah dengar kalau Reza memiliki pasien yang bernama Mirza. Tapi kenapa dia bukan Mas Mirzaku. Laki-laki yang tengah terbaring lemah di atas ranjang dengan tangan yang terpasang jarum infus, hanya melihatku dengan bingung.Mana mungkin aku salah lihat, dia bukan Mas M
Rapat yang aku pimpin sudah selesai. Untung saja aku bisa datang tepat waktu dan tidak membuat klien harus menunggu. Kalau saja itu terjadi, akan membuat citra perusahaan sedikit menurun.“Kamu tadi dari mana? Kenapa bisa datang siang ke kantor?” tanya Dion. Saat ini aku dan Dion sedang makan siang bersama di restoran yang tidak jauh dari kantor.“Aku mencari Mas Mirza,” jawabku tanpa menoleh pada Dion.“Bukannya kamu bilang, kalau Mirza berada di luar negeri bersama kekasih barunya? Lalu untuk apa kamu mencarinya di sini?”Aku menyimpan sendok dan mengambil gelas berisi jus mangga kesukaanku. Meminumnya sedikit, lalu menyimpannya kembali.“Aku menemukan beberapa bukti kejanggalan tentang perginya Mas Mirza. Entahlah, aku merasa kalau Mas Mirza tidak mengkhianatiku.”“Kamu terlalu mencintainya, Al.”Ya, benar yang dikatakan Dion. Aku sangat mencintai Mas Mirza. Dia tidak memiliki celah untuk aku membencinya. Selama hidup enam tahun dengannya, Mas Mirza tidak pernah meninggikan suara d
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe