Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Dion. Tentang pesan terakhir yang dikirim Mas Mirza padaku.
“Aku harus apa, Dion. Aku harus apa?” Aku tertunduk, kedua tanganku kugunakan untuk menyangga kepalaku yang pusing dan sakit.
“Aku gak tau, Al. Apa kamu sudah bertanya pada keluarganya?” tanya Dion.
“Sudah, Mama tidak bilang di mana Mas Mirza berada, dia hanya mengiyakan dugaanku tentang Mas Mirza yang berselingkuh.”
Sebenarnya aku enggan menceritakan masalah pribadiku pada siapa pun, tapi aku tidak kuat jika harus memendamnya sendiri. Aku rapuh, aku tidak sekuat wanita di luar sana yang dengan mudah merubah cinta jadi benci. Apalagi sampai membalas perbuatan suaminya.
Bagaimana aku bisa membalas sakit hatiku, aku saja tidak tahu keberadaan Mas Mirza. Apa aku harus ke kantor cabang untuk menemui Mas Mirza di sana? Sepertinya bukan ide yang buruk. Tapi, Thalita. Tidak mungkin aku akan meninggalkan putriku. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
"Aku tidak percaya jika Mirza pergi dengan wanita lain," tutur Dion dengan pandangan lurus ke depan.
"Aku pun tidak ingin percaya, tapi ... inilah kenyataannya, Yon. Aku tidak tahu harus bahagia sekarang," kataku seraya menelungkupkan wajah pada tangan yang dilipat di atas meja.
Setelah berbincang dengan Dion, aku keluar dari ruangan Mas Mirza. Tatapan heran terlihat dari semua orang yang aku lewati. Mungkin mereka kira ada yang tidak beres antara aku dan Dion.
Aku keluar dari ruangan suamiku dengan mata sembab dan wajah yang memerah karena menangis. Mas Mirza memang sangat keterlaluan, dia membohongiku hampir satu tahun ini. Setelah masuk ke dalam mobil, aku tidak langsung menghidupkan mesin.
Aku berdiam diri dengan menyandarkan punggung. Mengadahkan kepala ke atas menghirup udara yang akhir-akhir ini semakin kurang kurasakan. Pembicaraanku dengan Dion membuka satu persatu kebohongan yang dilakukan Mas Mirza.
“Mas Mirza ijin padaku untuk ke luar kota, dia bilang kantor cabang membutuhkannya di sana. Benar begitu, Dion?” tanyaku tadi.
“Sebentar, akan aku ambilkan beberapa berkas yang mencatat kegiatan apa saja dan pergi ke mana saja suamimu akhir-akhir ini.” Dion pergi sebentar, lalu kembali dengan beberapa kertas di tangannya.
“Menurut catatan di sini, Mirza tidak ada kunjungan kerja ke mana pun selama setahun ini. Dia juga tidak pernah datang ke kantor cabang. Karena memang, di sana juga semuanya sudah stabil dengan staf yang cukup kuat untuk menjaga kesetabilan dan kemajuan perusahaan.”
Keningku berkerut mendengarkan penjelasan dari Dion yang mengatakan jika Mas Mirza tidak pernah pergi ke luar kota. Lalu, ke mana dia jika bukan untuk bekerja?
“Jadi, Mas Mirza tidak pernah ke kantor cabang selama setahun ini?” tanyaku memastikan.
“Iya, tidak ada. Mirza memang setiap bulannya suka tidak masuk, kadang hanya dua hari, atau satu minggu. Aku kira, itu karena ada masalah keluarga atau hanya sekedar ingin berlibur. Secara, dia seorang direktur utama dan suami dari pemilik perusahaan. Menurutku itu tidak masalah. Aku tidak menyangka kalau kedudukannya malah dia salahgunakan.”
Kata-kata Dion tadi masih begitu sangat jelas di telingaku. Tidak ada kunjungan kerja, tapi selalu libur setiap bulan. Ke mana sebenarnya Mas Mirza pergi? Di rumah tak ada, di tempat kerja pun dia tidak ada.
Jahat sekali Mas Mirza. Dia berhasil telah menghancurkanku. Selama satu tahun dia membodohiku dan bersandiwara seolah tidak ada masalah dalam rumah tangga kami. Nyatanya, dia menusukku. Membunuhku perlahan dengan bayangannya.
“Aarrggh!” Aku memukul setir mobil berkali-kali. Menumpahkan kekesalanku terhadap mantan suami.
Dering ponsel menghentikan aksiku. Aku mengambil dan mengangkat panggilan.
“Halo, Aletta. Kamu di mana? Cepat pulang Kakak sudah di rumahmu!”
Rupanya Kak Rasyid, kakak kandungku yang menelpon. Aku pun mengiyakan kalau aku akan pulang sekarang. Sepertinya ada yang penting, hingga kakakku datang jauh-jauh ke rumahku.
Setelah sampai, ternyata benar saja sudah ada mobil Kak Rasyid yang terparkir di halaman rumah. Aku turun dan masuk menemui keluargaku satu-satunya itu.
“Kak, sudah lama?” Aku mencium takzim tangan kakakku. Berbasa-basi dengan menanyakan kabar mereka.
Rupanya Kak Rasyid tidak datang sendiri, melainkan dengan anak dan istrinya. Aku senang, karena bisa bertemu dengan Kak Melati dan Naima anak mereka.
“Al, kedatangan Kakak ke sini bukan tanpa alasan. Kakak dapat kabar yang amat sangat mengejutkan. Kakak dan Kak Mel, sampai tidak bisa tidur karena memikirkan ini.” Kak Rasyid mulai bicara pada inti alasannya berkunjung ke rumahku.
Aku tahu, Kak Rasyid bukan orang yang tidak punya pekerjaan. Dia juga mengurus perusahaan yang diwariskan Papa padanya. Kesehariannya sangat sibuk, dan susah untuk sekedar berlibur.
“Masalah apa yang membuat Kakak, sampai harus memikirkannya, terlebih sampai datang menemuiku ke mari?” tanyaku, kakakku dan istrinya saling pandang lalu Kak Rasyid kembali membuka suara.
“Masalah apa? Bukankah kamu yang punya masalah, Al?” Kini Kak Melati ikut bertanya.
Mungkinkah yang mereka maksud tentang perceraianku dengan Mas Mirza. Tapi, aku tidak pernah menceritakan tentang itu pada mereka. Terlebih, aku masih belum bisa menghubungi Mas Mirza untuk mengkonfirmasi tentang nasib pernikahanku ini.
“Aletta? Ah, tidak, Kak. Aku tidak punya masalah apa-apa,” kataku berbohong.
“Lalu, apa dengan semua ini, Letta?” Kak Rasyid menyerahkan ponselnya padaku.
Mataku terbelalak membaca tulisan yang ada dalam ponsel Kak Rasyid.
“Ceritakan semuanya pada Kakak. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Apa maksud Mirza memulangkanmu pada Kakak. Kalian punya masalah apa hingga harus berakhir dengan penceraian?”
Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ternyata, Mas Mirza bukan hanya mengirim pesan talak padaku. Rupanya dia juga telah mengembalikanku kepada kakakku.
[Kak, mulai hari ini saya kembalikan Aletta kepada Kakak selaku wali dari Aletta. Saya sudah bukan lagi suaminya dan saya kembalikan tanggung jawab saya pada Kakak kembali. Maafkan saya, Kak. Saya tidak bisa menjaga amanah dari almarhum Papa untuk selalu menjaga Aletta. Saya juga mengingkari janji yang dulu saya ucapkan sebelum melakukan akad.]
[Apa pun alasan saya, yang jelas tidak akan merubah kenyataan bahwa saya bukan lagi suami dari adiknya Kak Rasyid. Maaf, saya tidak bicara langsung dan malah bicara melalui pesan. Saya tidak mempunyai keberanian untuk bertemu dan megucapkannya langsung. Sekali lagi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.]
Seperti itulah bunyi dua pesan yang dikirim Mas Mirza pada kakakku. Waktu dia mengirim pesan pun, hanya selisih dua puluh menit sebelum dia mengirimkan pesan talak padaku.
Aku tidak bisa mengelak lagi. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya air mata yang kembali mewakili hati. Kak Melati berpindah duduk menjadi di sampingku. Mengusap pundakku yang bergetar karena menangis.
Nyatanya, sakitnya di campakkan jelas terasa sangat begitu pedih. Beruntung sekali wanita di luaran sana yang mampu menahan sakitnya dikhianati. Sedangkan aku, aku terlalu lemah untuk menerima semua ini.
“Menangislah, jika itu bisa membuat hatimu lega. Tapi, setelah itu bangkit dan berjalanlah lagi, tanpa harus kembali melihat ke belakang,” ujar Kak Rasyid.
Akhirnya dengan terbata, aku pun menceritakan semuanya tentang masalahku. Aku juga menceritakan tentang kebohongan Mas Mirza selama ini. Dia yang selalu ijin kerja ke luar kota, tapi nyatanya malah main gila dengan wanita lain.
Semuanya aku beberkan pada kakak dan kakak iparku. Kak Rasyid begitu sangat geram saat aku mengatakan bahwa adik ipar kebanggannya telah bermain api di belakangku, hingga akhirnya lebih memilih wanita lain dan mencampakkanku beserta Thalita.
“Sabar, Al. Mungkin akan ada kebahagiaan besar yang menanti di depanmu,” Kak melati mengusap kepalaku lembut. Wanita yang selalu tampil anggun dengan hijab lebarnya itu, selalu berkata dengan penuh kelembutan.
“Kurang ajar! Di mana lelaki pecundang itu sekarang berada? Akan aku patahkan kakinya, beraninya dia menduakan adikku!” Kak Rasyid berucap dengan penuh amarah.
“Sabar, Kak. Jangan terbawa emosi. Amarah tidak akan menyelesaikan masalah kita,” ucap Kak Melati pada suaminya.
Kak Rasyid mengusap wajahnya kasar seraya beristighfar.
“Siapa wanita yang kamu curigai sebagai simpanan si Mirza?” Kembali Kak Rasyid bertanya.
“Emh, mungkin Cantika, sekertaris lama Mas Mirza.”
“Cantika?”
“Cantika?”
Keduanya begitu kaget saat aku menyebut nama itu.
“Apa yang membuatmu yakin kalau Cantika adalah wanita selingkuhan, Mirza?” Kak Melati bertanya dengan nada sedikit sinis. Apa mungkin Kak Melati juga punya pengalaman buruk dengan Cantika, atau mungkin ada hal lain yang membuat Kak Melati begitu tidak suka saat aku menyebut nama itu. “Aku menghubungkan waktu resign Cantika dengan waktu perginya Mas Mirza. Aku juga dengar, kalau bulan lalu Cantika menggelar pernikahan di luar kota dengan kekasihnya. Aku yakin, pria yang dimaksud kekasihnya Cantika, pasti Mas Mirza,” ucapku tertunduk.“Kamu punya bukti?” Kak Rasyid kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala dengan pelan. Aku tidak memiliki bukti apa-apa tentang perselingkuhan mereka. “Jangan menduga-duga, apalagi kamu tidak punya bukti, nanti jatuhnya fitnah, Dek,” ucap Kak Melati.Kak Rasyid pun membenarkan perkataan istrinya itu. Kakakku itu meraih gelas berisikan air, lalu menegaknya hingga habis. “Letta, bukan Cantika perempuan yang jadi pelakor dalam rumah tanggamu,” ujar Kak
“Mama ... seneng, deh kalau ada Papa. Aku mau main sama Papa, kayak Kak Naima tadi.”Aku belai rambut panjang putriku. Memberi kenyamanan dan ketenangan ditengah kerinduan dia pada Papanya.Melihat Naima yang bermain kuda-kudaan dengan Kak Rasyid tadi, membuat Thalita kembali merindukan sosok Papanya. Hampir setiap hari Thalita akan menghabiskan waktu dengan Mas Mirza.Mas Mirza tidak hanya bisa memikat hatiku, tapi hati Thalita juga. Dia selalu punya cara agar kedua wanitanya nyaman di sisinya. Tidak jarang, aku dan Thalita sering berebut tempat untuk bisa dekat dengan Mas Mirza.Namun, sayang sekarang hanya jadi angan saja. Jangankan kahadirannya, bayangannya pun enggan menyapa.“Ma, Papa kapan pulang, sih? Thalita, ‘kan kangen,” ujar putriku lagi.“Sabar, Sayang. Nanti kalau pekerjaan Papa sudah selesai, Papa pasti akan segera pulang,” kataku pada Thalita.Setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, akhirnya Thalita mau memejamkan matanya. Dia tidur dengan memeluk tubuhku.Sampa
“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.Bu
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Jika kemarin-kemarin aku diam saja dan pasrah, tapi tidak untuk sekarang. Apalagi setelah aku menemukan beberapa bukti yang berkaitan dengan perginya Mas Mirza. Aku menyimpulkan kalau Mas Mirza tidak pergi keluar negeri bersama kekasihnya. Melainkan masih ada di sini, di sekitarku.“Nah, itu dia.” Aku berbicara sendiri.Aku pakai kaca mata hitamku, memakai sabuk pengaman, dan siap tancap gas mengikuti laki-laki itu pergi.“Kau bisa membohongiku, aku pun bisa menangkap basah dirimu,” gumamku.Mobil yang ditumpangi seorang pria dengan gelar dokter itu kini memasuki halaman rumah sakit. Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari belakangnya. Untungnya aku sengaja memakai mobil kantor agar dia tidak curiga aku ikuti.Satu lagi, kejanggalan mengenai Reza. Dia seorang dokter yang sudah memiliki klinik sendiri, tapi kenapa dia harus pergi ke rumah sakit? Apa dia bekerja di dua tempat? Tidak masalah memang, tapi mungkin akan membuatnya lelah.Setelah Reza masuk ke dalam rumah sakit, aku pun tur
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe