Apa mungkin Kak Melati juga punya pengalaman buruk dengan Cantika, atau mungkin ada hal lain yang membuat Kak Melati begitu tidak suka saat aku menyebut nama itu.
“Aku menghubungkan waktu resign Cantika dengan waktu perginya Mas Mirza. Aku juga dengar, kalau bulan lalu Cantika menggelar pernikahan di luar kota dengan kekasihnya. Aku yakin, pria yang dimaksud kekasihnya Cantika, pasti Mas Mirza,” ucapku tertunduk.
“Kamu punya bukti?” Kak Rasyid kembali bertanya.
Aku menggelengkan kepala dengan pelan. Aku tidak memiliki bukti apa-apa tentang perselingkuhan mereka.
“Jangan menduga-duga, apalagi kamu tidak punya bukti, nanti jatuhnya fitnah, Dek,” ucap Kak Melati.
Kak Rasyid pun membenarkan perkataan istrinya itu. Kakakku itu meraih gelas berisikan air, lalu menegaknya hingga habis.
“Letta, bukan Cantika perempuan yang jadi pelakor dalam rumah tanggamu,” ujar Kak Rasyid meletakkan kembali gelas di atas meja.
Aku mengerutkan kening. Seyakin itu kakakku dengan ucapannya. Kalau bukan Cantika, lalu siapa?
“Maksud Kakak apa? Kenapa Kakak yakin kalau Cantika bukan wanita simpanan Mas Mirza?” tanyaku.
“Karena Kakak tahu, siapa suami Cantika. Dan dia, masih kerabat dari kakak iparmu, Kak Mel.”
Pandanganku beralih melihat wanita berkaca mata itu. Kak Melati mengangguk pasti. Dia juga mengeluarkan ponsel miliknya, memperlihatkan gambar satu pasang pengantin.
“Itu Cantika?” Aku bertanya saat mata tertuju pada ponsel Kak Melati.
“Iya, Dek. Ini Cantika sama suaminya. Kakak sama Kak Rasyid memang tidak bisa hadir di pernikahannya. Kakak dapat foto ini dari postingan keluarganya di media sosial.”
Lantas siapa yang menjadi selingkuhan Mas Mirza? Mataku tidak mungkin salah, itu memang foto Cantika. Aku masih sangat mengenal jelas wajahnya.
“Suami Cantika memang bekerja di perusahan cabang milikmu. Dia menduduki jabatan yang sangat penting di sana. Manager keuangan. Kinerja dia bagus, Dirga namanya. Jarak perusahaan Kakak dan perusahaanmu memang jauh, tapi dunia bisnis selalu mengabarkan berita tentang perusahaan yang sedang merangkak naik, termasuk perusahaanmu yang selalu mengalami peningkatan,” ujar Kak Rasyid menjelaskan.
Tidak aku pungkiri, kinerja Mas Mirza dalam memajukan perusahaan memang patut diapresiasi. Setiap tahunnya, perusahaan Papa semakin maju ditangannya. Laba semakin naik, karyawan yang semakin sejahtera.
Aku menyandarkan punggungku pada kursi. Menghirup udara sebanyak mungkin. Otakku kembali bekerja mencari-cari siapa sekiranya yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.
“Jadi, Mirza sudah tidak pernah datang lagi ke kantor, selama satu bulan ini?” Setelah saling diam, Kak Rasyid kembali bertanya.
“Iya, bahkan dia sudah mengundurkan diri dari perusahaan.”
“Mengundurkan diri? Kau tahu dia mengundurkan diri, tapi tidak bertanya alasannya? Lalu, kenapa kamu mengira dia pergi bekerja ke luar kota kalau dia mengundurkan diri, Aletta?” Kak Rasyid memajukan tubuhnya sedikit. Matanya kembali menatapku tajam.
Aku semakin pusing dengan rentetan pertanyaannya. Aku memejamkan mata sejenak, lalu kembali membenarkan letak dudukku.
“Aku tidak tahu dia mengundurkan diri, Kak. Aku juga baru tahu tadi dari Dion.”
“Apa katamu? Tidak tahu?” Kak Rasyid mengusap wajahnya dengan kasar.
“Aletta, kamu itu ownernya. Pemilik perusahaan, mana mungkin kamu tidak tahu kalau ada salah satu direksi yang mengundurkan diri,” ujar Kak Rasyid. Wajahnya kembali menegang.
Aku semakin tidak paham. Aku memang buta tentang bisnis, tidak mengerti tentang perusahaan. Mendengar kata-kata Kak Rasyid, malah membuatkan semakin pusing.
“Aku memang tidak tahu, karena Mas Mirza memang tidak pernah memberi tahuku, Kak,” kataku dengan mengusap wajah.
“Bodoh. Kalau ada direktur yang resign itu harus atas persetujuanmu, ada tanda tanganmu. Tidak akan dia bisa keluar dari perusahaan tanpa adanya persetujuan darimu, Aletta Azzahra!” geram Kak Rasyid.
“Kak, tenang,” ujar Kak Melati.
Aku mencerna ucapan kakakku. Apa iya begitu, lantas kenapa Mas Mirza bisa dengan mudah keluar tanpa persetujuanku?
“Apa Mirza ada meminta tanda tanganmu sebelum dia pergi?” Kak Melati yang bertanya.
“Emm, iya ada. Dia bilang untuk surat ijin saja.”
“Nah, bisa jadi memang saat itu dia mendapatkan persetujuan dari Aletta, Kak.” Lagi, Kak Melati berucap.
Kak Rasyid manggut-manggut dengan kemungkinan yang dikatakan istrinya. Aku hanya diam melihat ekspresi kedua orang itu.
“Tapi ... apa Mirza tidak menyalahgunakan tanda tangan Aletta ya, Kak. Misalkan, mengalihkan perusahaan menjadi atas namanya gitu?”
Parnyataan Kak Melati membuatku dan Kak Rasyid tersentak. Kami saling pandang satu sama lain. Rasanya jantungku berdetak semakin cepat. Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Kalau Mas Mirza selingkuh, bisa saja dia juga melakukan hal itu untuk membiayai hidupnya dengan istri barunya.
“Iya, itu bisa juga terjadi. Tidak mungkin dia pergi dengan hanya tangan kosong. Apalagi dia yang bermain gila dengan wanita lain yang pastinya akan membutuhkan hartanya Aletta.”
Aku semakin khawatir dengan ucapan kakakku. Bagaimana jika itu memang terjadi? Aku akan kehilangan semuanya.
“Terus aku harus apa, Kak?” tanyaku khawatir.
“Diamlah! Ini juga karena kebodohanmu, dan kebucinanmu. Segalanya kau percayakan pada suamimu. Lihat, kau akan kehilangan semuanya!”
Kak Rasyid bangkit dari duduknya. Dia menyambar kunci mobil dan pergi ke luar rumah. Kak Melati mengikuti suaminya dengan sedikit berlari.
Aku hanya duduk diam, mengacak rambut dengan kasar. Sungguh, ini di luar pemikiranku. Suami yang aku sangkakan baik dan jujur, dia begitu tega melakukan banyak kebohongan untuk mendapatkan hartaku.
Kak Melati kembali dan duduk di dekatku.
“Kakak mau ke mana, Kak Mel?”
“Tenanglah, Al. Kak Rasyid akan pergi ke kantormu. Biarkan dia membantu menyelesaikan masalahmu ini,” ujar Kak Melati.
“Kak, aku bodoh ya, Kak?” tanyaku dengan wajah sendu.
“Tidak, Aletta. Kamu hanya terlalu percaya sama suamimu. Emh, di mana kamu menyimpan surat-surat berharga? Kita lihat, apa masih utuh semuanya atau ada barang berhargamu yang berkurang.”
Tanpa berpikir lagi, aku langsung mengajak Kak Melati ke kamarku. Memeriksa barang berharga yang aku simpan di dalam brankas.
“Periksa semuanya dengan benar, Letta. Apa surat kepemilikan perusahaan ada di sana atau tidak?” Kak Melati mengingatkan.
Aku memeriksa semua surat-surat berharga milikku. Ada. Semuanya masih lengkap dan tidak pernah berubah dari tempatnya. Perhiasan milikku dan warisan dari almarhum Mama pun masih utuh semua.
“Gimana, Al?”
Aku melihat Kak Melati dengan mata yang mengembun. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semuanya. Tidak ada yang Mas Mirza ambil dariku. Di pergi tanpa membawa sedikit pun hartaku.
“Kenapa, Al. Ada yang hilangkah?” Kak Melati kembali bertanya.
Aku menggeleng, dengan mata menatap kosong.
Kak Melati menghampiriku. Dia mengambil berkas satu persatu dan membacanya. Lalu menyimpannya kembali.
“Ini aneh, dia mengkhianatimu tapi tidak membawa hartamu.”
Kami sama-sama terdiam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing hingga dering ponsel Kak Melati berbunyi membuyarkan lamunan.
“Assalamualaikum, Kak.”
“....”
“Oh, syukurlah. Di sini juga aman, tidak ada yang hilang.”
“....”
“Baiklah, waalaikumsalam.”
Panggilan berakhir, Kak Melati menyimpan kembali ponselnya.
“Apa yang dikatakan Kak Rasyid, Kak?” tanyaku.
“Tidak ada kejanggalan yang mengarah pada kecurangan Mirza pada perusahaan. Semuanya sangat terkendali.”
Hening. Tidak ada lagi percakapan antara aku dan Kak Melati. Melihatku yang hanya diam, Kak Melati membereskan kembali surat-surat berhargaku dan menyimpannya di sisi ranjang. Lalu dia keluar untuk melihat putrinya yang sedang bermain dengan Thalita dan Niar.
Seperginya Kak Melati, bayanganku kembali pada sosok Mas Mirza. Setelah dia pergi, mentalakku karena wanita lain, kenapa tidak membuatku jadi membencinya. Kenapa justru aku malah semakin merindukannya. Apalagi, saat aku tahu dia pergi tanpa membawa sedikit pun barang berhargaku. Itu membuatku jadi teringat akan ucapannya waktu itu.
“Mas, kerja mulu, ih. Mentang-mentang sudah jadi direktur, kayaknya perusahaan lebih penting sekarang, yah?” kataku dengan cemberut.
Seketika dia menyimpan laptop yang sedari tadi berada di pangkuannya. Menggantinya dengan tubuhku yang dia tarik hingga terduduk di pangkuannya.
“Tidak ada yang lebih berharga bagiku, selain kamu. Aku tidak butuh semua hartamu, aku hanya menginginkanmu selalu ada untuk aku dalam keadaan apa pun.”
Mas Mirza memeluk pinggang rampingku. Mencium perutku yang mulai membuncit, karena pada saat itu aku tengah hamil muda. Dekapan hangatnya selalu mampu membuatku enggan beranjak. Seperti saat ini, aku sangat merindukan pelukan hangatnya.
“Mas Mirza ....”
“Mama ... seneng, deh kalau ada Papa. Aku mau main sama Papa, kayak Kak Naima tadi.”Aku belai rambut panjang putriku. Memberi kenyamanan dan ketenangan ditengah kerinduan dia pada Papanya.Melihat Naima yang bermain kuda-kudaan dengan Kak Rasyid tadi, membuat Thalita kembali merindukan sosok Papanya. Hampir setiap hari Thalita akan menghabiskan waktu dengan Mas Mirza.Mas Mirza tidak hanya bisa memikat hatiku, tapi hati Thalita juga. Dia selalu punya cara agar kedua wanitanya nyaman di sisinya. Tidak jarang, aku dan Thalita sering berebut tempat untuk bisa dekat dengan Mas Mirza.Namun, sayang sekarang hanya jadi angan saja. Jangankan kahadirannya, bayangannya pun enggan menyapa.“Ma, Papa kapan pulang, sih? Thalita, ‘kan kangen,” ujar putriku lagi.“Sabar, Sayang. Nanti kalau pekerjaan Papa sudah selesai, Papa pasti akan segera pulang,” kataku pada Thalita.Setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, akhirnya Thalita mau memejamkan matanya. Dia tidur dengan memeluk tubuhku.Sampa
“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.Bu
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Pagi ini sebelum aku pergi ke kantor, aku berniat akan mampir ke rumah Mama Marta terlebih dulu. Aku membawa semua barang milik Mas Mirza dan akan aku berikan pada keluarganya.Mungkin nanti mereka akan merasa sakit hati, karena kesannya aku telah mengusir putranya. Padahal, Mas Mirza sendirilah yang pergi terlebih dulu.Saat aku masuk ke dalam komplek perumahan Mama Marta, aku berpapasan dengan mobil ambulan yang melaju sangat cepat. Aku menghentikan laju mobilku, melihat mobil itu ke belakang yang sudah hilang membelah jalan.Aku meraba dadaku. Ada yang berdenyut saat aku berpapasan dengan ambulan itu. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Mungkin aku teringat Papa dulu, yang pulang ke rumah dengan kendaraan itu.Setelah sedikit tenang, aku kembali melajukan mobilku dan berhenti di halaman rumah Mama. Aku turun, kemudian menurunkan dua koper berisi pakaian Mas Mirza.Rumah Mama sepi, bak tek berpenghuni. Aku menekan bel dan mengucapkan salam.“Assalamualaikum.”“Wa
Jika kemarin-kemarin aku diam saja dan pasrah, tapi tidak untuk sekarang. Apalagi setelah aku menemukan beberapa bukti yang berkaitan dengan perginya Mas Mirza. Aku menyimpulkan kalau Mas Mirza tidak pergi keluar negeri bersama kekasihnya. Melainkan masih ada di sini, di sekitarku.“Nah, itu dia.” Aku berbicara sendiri.Aku pakai kaca mata hitamku, memakai sabuk pengaman, dan siap tancap gas mengikuti laki-laki itu pergi.“Kau bisa membohongiku, aku pun bisa menangkap basah dirimu,” gumamku.Mobil yang ditumpangi seorang pria dengan gelar dokter itu kini memasuki halaman rumah sakit. Aku menghentikan mobilku tidak jauh dari belakangnya. Untungnya aku sengaja memakai mobil kantor agar dia tidak curiga aku ikuti.Satu lagi, kejanggalan mengenai Reza. Dia seorang dokter yang sudah memiliki klinik sendiri, tapi kenapa dia harus pergi ke rumah sakit? Apa dia bekerja di dua tempat? Tidak masalah memang, tapi mungkin akan membuatnya lelah.Setelah Reza masuk ke dalam rumah sakit, aku pun tur
Ah, tidak mungkin Mas Mirza melakukan hal menjijikkan itu di kantor. Kalaupun iya, dengan siapa dia melakukannya? Karyawan di sini juga, kah? Aku benci pikiran burukku.Aku membawa pil itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sepertinya ini bukan sembarang obat.Setelah pulang dari kantor, aku mampir terlebih dahulu ke sebuah kafe tempat biasa aku menghilangkan penat sewaktu masih gadis dulu.“Aletta!”Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. Aku pun melambaikan tangan pada wanita yang berjalan anggun menghampiriku.“Hay, Ai. Apa kabar?” tanyaku, menyapanya terlebih dahulu.“Seperti yang kamu lihat, Al. Kabarku baik, kamu sendiri? Kalau dilihat dari penampilannya, sekarang kamu kembali bekerja?” Aira berucap dengan memindai penampilanku dari atas hingga bawah.“Heem, mari duduk.” Kami pun duduk berhadapan.“Ada hal apa, yang membuatmu ingin kita bertemu di sini? Kamu tidak sedang sakit, kan?” tanya Aira.“Ini.” Aku menyerahkan plastik kecil berisi satu pil yang aku bawa tadi.“Apa ka
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe