Namun, ternyata dia bukan suamiku.
“Bu, sebaiknya Ibu pindah tidur di kamar, di sini udara semakin dingin.” Niar mengelus kembali pundakku.
“Pukul berapa ini, Ni?”
“Sudah jam sembilan malam, Bu.”
Aku terhenyak dan mengumpulkan ingatanku. Tadi aku sedang menunggu suamiku dan aku malah ketiduran di sini?
“Apa, Mas Mirza sudah pulang saat aku tidur, Ni?” tanyaku pada wanita muda itu.
Niar menggeleng, itu artinya tidak ada Mas Mirza di rumah ini. Aku melihat kembali ponsel yang tergeletak di sampingku, tidak ada pesan atau panggilan dari Mas Mirza.
“Thalita sudah tidur?”
“Sudah, Bu.”
“Sudah makan?”
“Sudah, Bu. Apa Makanan ini perlu saya hangatkan kembali, Bu?” Niar menunjuk hidangan yang masih utuh di atas meja. Hanya berkurang sedikit, mungkin Niar yang mengambil waktu memberi Thalita makan.
Hatiku kembali seperti disayat pisau. Perih dan pedih merajai sanubari. Aku menggigit bibir, meredam sakit saat kembali mengingat pesan terakhir suamiku.
“Terserah, mau kamu apakan makanan itu,” ucapku sendu.
Aku berdiri dan pergi ke kamarku. Membanting tubuhku ke atas ranjang besar tempat ternyamanku jika bersama Mas Mirza. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan amarah lewat air mata.
Jadi pesan yang tadi pagi dia kirim untukku memang nyata dari Mas Mirza? Dia tidak sedang mengerjaiku dan bukan memberi kejutan padaku. Apa yang membuat Mas Mirza dengan berani menceraikanku? Mungkinkah di luar sana Mas Mirza memiliki wanita lain, dan aku tersisih oleh wanita yang baru?
“Tidak, ini tidak mungkin, TIDAK!!”
Aku menjambak rambutku frustrasi. Kembali aku mencoba menghubungi nomor Mas Mirza. Namun, hasilnya tetap sama. Hanya operator yang selalu menjawab panggilanku.
*
Pagi ini aku bangun dengan keadaan yang memprihatinkan. Mataku membengkak dan menghitam karena terlalu banyak menangis. Kepalaku berat dan sedikit sakit. Hal pertama yang aku lakukan, mengecek ponsel untuk melihat mungkin ada satu pesan dari suamiku. Masih sama, tidak ada pesan maupun panggilan darinya.
Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini, aku akan pergi ke rumah Mama mertua, untuk menanyakan putra pertamanya.
Setelah beberapa saat bersiap, aku turun ke bawah mencari Niar yang mungkin sedang di dapur. Benar, wanita muda itu masih berkutat dengan alat masak. Niar menghangatkan makanan yang kemarin aku masak.
“Ni, saya akan pergi ke rumah Mama. Titip Thalita, ya. Jangan bilang aku pergi ke rumah Oma-nya, dia akan ngambek jika aku pergi tanpa mengajaknya.”
“Iya, Bu. Apa sebaiknya Ibu sarapan dulu?” tawar Niar.
“Tidak usah, Ni. Saya harus buru-buru, takut Thalita keburu bangun.”
Setelah berucap demikian, aku berlalu dari hadapan Niar. Hari masih terlalu pagi untuk berkunjung. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain menemui Mama untuk mendapatkan penjelasan dari pesan yang dikirim Mas Mirza.
Aku menghela napas panjang saat tubuh ini duduk di belakang kemudi. Menyalakan mobil dan langsung melesat membelah jalan di pagi hari.
Tiga puluh menit berlalu, kini mobilku sudah terparkir di halaman rumah bernuansa pedesaan. Tumbuhan hias dan bunga menjadi pelengkap keasrian rumah yang sudah tua dimakan usia. Namun, tidak sedikit pun mengurangi keindahan dari tempat dilahirkannya suamiku.
“Eh, Non Aletta, silahkan masuk?” Bibi yang bekerja untuk Mama membukakan pintu dan menyuruhku masuk.
“Mama ada, Bi?”
“Ada, Non. Sedang sarapan. Silahkan duduk, biar saya panggilkan dulu,” ucap Bibi.
Aku menggelengkan kepala. Aku bukan tamu di rumah ini, melainkan menantu yang bisa masuk kapan saja.
“Gak papa, Bi. Biar saya temui Mama saja di ruang makan,” kataku dengan terus melangkah masuk.
“Tapi, Non ....”
“Kenapa?” tanyaku heran. Tidak biasanya si Bibi bersikap begini.
Biasanya aku selalu masuk dan menemui Mama di mana saja. Dia juga tahu itu. Tapi, sekarang dia aneh dan menunjukkan kekhawatiran di wajahnya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
“Aletta!” Mama memanggilku dari ambang pintu ruang makan. “Ada apa, Sayang pagi-pagi sudah ke sini. Apa Thalita sakit, mana cucu Mama?” tanyanya lagi penuh dengan kelembutan.
Melihat Mama, aku semakin merindukan sosok putra pertamanya. Mas Mirza mewarisi kelembutan dan rasa penuh kasih dari Mamanya ini.
Mama berjalan dari tempatnya berdiri, lalu menggiringku untuk duduk di sofa ruang tengah.
“Thalita tidak ikut, Ma. Ada yang ingin Letta tanyakan pada Mama.”
“Apa?”
“Ini tentang Mas Mirza, Ma. Apa dia ada menghubungi, Mama?” Aku menatap lekat mata indah wanita yang telah melahirkan suamiku.
Bibirku tertarik ke atas saat Mama menganggukkan kepala.
“Kapan, Ma? Apa yang dia katakan sama Mama?” tanyaku antusias.
“Hanya menanyakan tentang kesehatan Mama, Papa juga adiknya. Tidak ada yang terlalu serius dengan percakapan kami.”
Hatiku lega mendengar suamiku ada menghubungi keluarganya. Setidaknya, mungkin mereka akan bisa menjawab kegundahan hatiku.
“Kapan?” Lagi aku bertanya.
Mama seperti mengingat-ngingat lalu berkata, “Tadi malam.”
Deg!
Tadi malam Mas Mirza ada menghubungi Mama, tapi dia tidak menghubungiku yang selalu menunggunya untuk menjelaskan maksud dari kata talak yang dikirim padaku.
Itu artinya, Mas Mirza memang sengaja mendiamkanku setelah mengirim pesan singkat itu. Itu artinya juga, dia benar-benar menceraikanku?
“Kenapa, Letta?” tanya Mama melihat kebisuanku.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Membuka pesan Mas Mirza dan memperlihatkannya pada Mama.
“Dia menceraikanku lewat pesan, Ma.” Aku berkata dengan menahan tangis. Tidak, jangan menangis di sini, mungkin saja itu bukan dari Mas Mirza. Tapi, dari orang yang iseng.
“Jadi ... Mirza sudah mengatakannya?” Pertanyaan Mama bagaikan bongkahan batu yang mengimpit dadaku.
“Ma-maksud, Mama ... jadi benar, Mas Mirza menceraikanku, begitu?”
Mama menggenggam tanganku, matanya menatapku sendu.
“Maafkan, Mirza, Aletta. Mungkin ini yang terbaik buat kalian.”
“Maksud Mama apa, bicara seperti itu? Tidak mungkin Mas Mirza menceraikanku, kita tidak punya masalah, Ma. Kita baik-baik saja,” sergahku.
Mama hanya menatapku iba. Aku mencekal lengan Mama yang hendak pergi meninggalkanku.
“Ma, jangan pergi. Jelaskan dulu kenapa Mas Mirza menceraikanku. Apa dia juga cerita ke Mama untuk bercerai dariku?”
“Iya, Aletta iya. Dia bilang akan menceraikanmu, dan sekarang kamu sudah bukan istri dari putraku lagi. Puas kamu?!” Mama menghempaskan tanganku yang mencekalnya.
Mama pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya. Aku berusaha mengejarnya, aku butuh penjelasan kenapa Mas Mirza tega menceraikanku, sedangkan kita tidak punya masalah apa pun.
“Ma, tunggu! Aletta belum selesai, kenapa Mas Mirza menceraikanku, Ma? Setidaknya, beri satu alasan kenapa dia meninggalkan aku dan Thalita!” ujarku lagi memohon.
Mama tidak menggubris teriakanku. Dia berjalan setengah berlari menaiki anak tangga satu persatu.
“Ma, tolong jawab!” Aku tidak bisa membendung air mataku. Kini aku sudah menangis dengan terus memanggil Mama mertuaku.
“Ma ...!”
Setelah di ujung tangga paling atas, Mama berbalik dan melihatku yang berdiri penuh harap.
“Apakah Mas Mirza meninggalkanku karena wanita lain, dia memiliki—“
Tenggorokanku tercekat, tidak bisa aku selesaikan kata-kataku saat Mama menganggukkan kepala. Sebilah pisau kembali menggores luka hati yang masih basah. Lalu Mama berjalan dan hilang di balik pintu kamarnya.
Brukk!
Aku menjatuhkan bobot tubuhku ke lantai. Aku tertunduk bersimpuh. Air mataku kian deras berjatuhan ke pangkuan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis sesegukkan melepaskan kesakitan. Tapi, sayangnya semakin aku menangis, semakin sakit pula aku rasakan.
“Bangunlah, Letta. Tidak ada gunanya kamu menangis.”
Aku melihat ke samping, pada orang yang berdiri tidak jauh dariku. Dia ....
Reza, berdiri tidak jauh dariku. Dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana, seorang dokter muda itu melihatku dengan datar tanpa ekspresi.“Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan, Za. Makanya kamu bisa berkata seperti itu,” ucapku ketus. Aku mengusap pipiku yang basah dengan kasar. Berdiri dan duduk kembali di sofa.Reza pun melakukan hal yang sama. Dia duduk di sofa tepat di depanku.“Kamu itu terlalu manja, terlalu bucin, hingga diceraikan kakakku saja, kau anggap sebagai bencana besar.” Dengan melipat kedua tangannya di dada, dia terkekeh mengejekku.Perbedaan yang sangat kontras antara Mas Mirza dengan Reza adiknya. Mas Mirza orangnya supel, memiliki kelembutan yang mampu membuat siapa pun jatuh hati. Sedangkan Reza, dia laki-laki es yang menurutku sangat kaku. Itu juga yang membuat dia sampai hari ini belum memiliki kekasih.“Perceraian bagiku adalah bencana besar, karena aku tidak pernah berpikir menikah untuk berpisah. Aku selalu membayangkan akan hidup selaman
Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Dion. Tentang pesan terakhir yang dikirim Mas Mirza padaku.“Aku harus apa, Dion. Aku harus apa?” Aku tertunduk, kedua tanganku kugunakan untuk menyangga kepalaku yang pusing dan sakit.“Aku gak tau, Al. Apa kamu sudah bertanya pada keluarganya?” tanya Dion.“Sudah, Mama tidak bilang di mana Mas Mirza berada, dia hanya mengiyakan dugaanku tentang Mas Mirza yang berselingkuh.”Sebenarnya aku enggan menceritakan masalah pribadiku pada siapa pun, tapi aku tidak kuat jika harus memendamnya sendiri. Aku rapuh, aku tidak sekuat wanita di luar sana yang dengan mudah merubah cinta jadi benci. Apalagi sampai membalas perbuatan suaminya.Bagaimana aku bisa membalas sakit hatiku, aku saja tidak tahu keberadaan Mas Mirza. Apa aku harus ke kantor cabang untuk menemui Mas Mirza di sana? Sepertinya bukan ide yang buruk. Tapi, Thalita. Tidak mungkin aku akan meninggalkan putriku. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya."Aku tidak percaya jika Mirza pergi
“Apa yang membuatmu yakin kalau Cantika adalah wanita selingkuhan, Mirza?” Kak Melati bertanya dengan nada sedikit sinis. Apa mungkin Kak Melati juga punya pengalaman buruk dengan Cantika, atau mungkin ada hal lain yang membuat Kak Melati begitu tidak suka saat aku menyebut nama itu. “Aku menghubungkan waktu resign Cantika dengan waktu perginya Mas Mirza. Aku juga dengar, kalau bulan lalu Cantika menggelar pernikahan di luar kota dengan kekasihnya. Aku yakin, pria yang dimaksud kekasihnya Cantika, pasti Mas Mirza,” ucapku tertunduk.“Kamu punya bukti?” Kak Rasyid kembali bertanya. Aku menggelengkan kepala dengan pelan. Aku tidak memiliki bukti apa-apa tentang perselingkuhan mereka. “Jangan menduga-duga, apalagi kamu tidak punya bukti, nanti jatuhnya fitnah, Dek,” ucap Kak Melati.Kak Rasyid pun membenarkan perkataan istrinya itu. Kakakku itu meraih gelas berisikan air, lalu menegaknya hingga habis. “Letta, bukan Cantika perempuan yang jadi pelakor dalam rumah tanggamu,” ujar Kak
“Mama ... seneng, deh kalau ada Papa. Aku mau main sama Papa, kayak Kak Naima tadi.”Aku belai rambut panjang putriku. Memberi kenyamanan dan ketenangan ditengah kerinduan dia pada Papanya.Melihat Naima yang bermain kuda-kudaan dengan Kak Rasyid tadi, membuat Thalita kembali merindukan sosok Papanya. Hampir setiap hari Thalita akan menghabiskan waktu dengan Mas Mirza.Mas Mirza tidak hanya bisa memikat hatiku, tapi hati Thalita juga. Dia selalu punya cara agar kedua wanitanya nyaman di sisinya. Tidak jarang, aku dan Thalita sering berebut tempat untuk bisa dekat dengan Mas Mirza.Namun, sayang sekarang hanya jadi angan saja. Jangankan kahadirannya, bayangannya pun enggan menyapa.“Ma, Papa kapan pulang, sih? Thalita, ‘kan kangen,” ujar putriku lagi.“Sabar, Sayang. Nanti kalau pekerjaan Papa sudah selesai, Papa pasti akan segera pulang,” kataku pada Thalita.Setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, akhirnya Thalita mau memejamkan matanya. Dia tidur dengan memeluk tubuhku.Sampa
“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku
Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.“Aletta, ada apa?” Aku tersadar saat Kak Rasyid memanggilku. Dia turun kembali dari mobil dan menghampiriku yang mematung.“Itu milik siapa, punya Mirza? Kenapa ada padamu?” tanya Kak Rasyid pada Reza.“Seminggu yang lalu dia mengirimnya lewat ekspedisi. Aku tidak tahu kalau akhirnya dia akan meninggalkan Aletta,” ucap Reza.“Kenapa dikembalikan? Bukankah ini akan sangat berguna untuk menghidupi wanita simpanannya?” Aku bertanya dengan sinis.“Oh, simpanan ya? Ok, karena simpanan Mirza jauh lebih tajir darimu. So, dia sudah tidak membutuhkan itu lagi. Bawalah, dan jangan pernah terus mencari Kakakku. Aku harap, kamu segera mengurus perceraianmu ke pengadilan. Agar Kakakku bisa menikahi simpanannya secara negara.” Reza menekankan kata ‘simpanan’ pada setiap ucapannya.Bu
Selama satu minggu ini Kak Rasyid terus mendampingiku yang kembali bekerja di perusahaan. Dia terus mendorong dan mengajariku agar lebih tahu tugas dari seorang direktur.Sulit, lelah, takut, itu yang aku rasakan saat tahu semua kendali ada di tanganku. Aku adalah nahkoda untuk perusahaan ini. Aku pemimpin untuk seluruh karyawanku. Nasib mereka dan nasib perusahaan ada pada diriku.“Al, besok Kakak harus pulang. Kakak bukan tidak ingin mendampingimu, tapi Kakak juga punya tanggung jawab di sana. Kakak harap, kamu bisa bekerja dengan baik di sini.”“Secepat itu? Terus aku gimana, Kak? Aku belum siap memegang kendali perusahaan sebesar ini. Aku takut kalau aku gagal dan—““Aletta. Kamu tinggal menjalankan tugasmu sesuai dengan apa yang telah Kakak arahkan kemarin. Kamu tidak sendiri. Kamu punya tim kerja yang sangat bagus. Para staf yang sangat kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Karyawan yang berdedikasi tinggi pada perusahaan. Apa yang kamu takutkan? Kebangkrutan? No Aletta. J
Perasaanku berkata kalau sebenarnya Reza tahu di mana Mas Mirza berada. Atau, hanya perasaanku saja?“Perlihatkan?” Aku memiringkan kepala dan menatap Reza penuh selidik.Raut wajah Reza berubah dari yang tadinya santai menjadi sedikit tegang. Namun, dia pandai menyembunyikan ketegangannya.“Iya, jika Om, ketemu nanti.” Dia membalas tatapanku dengan lebih tajam.Sepertinya aku harus menyelidiki Reza juga. Apa mungkin kepergian Mas Mirza ada kaitannya dengan Reza, atau Reza yang membantu kakaknya untuk pergi.Setelah hampir dua jam lamanya Reza berada di rumahku, dan bermain dengan putriku, akhirnya dia pamit pulang setelah Thalita tertidur karena kelelahan setelah bermain.Sepertinya ini kesempatanku untuk menginterogasi dia. Mencari tahu tentang Mas Mirza melalui adiknya.“Za, tunggu!” Aku menghentikan langkah kakinya yang hampir mendekati pintu.“Ada apa?” tanyanya jutek.“Sebenarnya, kamu tahu, ‘kan di mana Mas Mirza berada? Tapi kamu menutupi semuanya dariku. Iya, ‘kan?”Reza mena
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay
“Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam
“Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam
Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe