All Chapters of Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku: Chapter 101 - Chapter 110
170 Chapters
Bab 101
"Husna, sudah belum?"Gegas kubersihkan diri. Tak mau membuat Ibu menunggu lebih lama. Aku masih tak berani melihat benda mungil ini."Gimana?" tanya ibu tak sabar, begitu pintu kubuka lebar."Ini, Ibu saja yang lihat, ya, Husna mau sholat dulu," ujarku sambil menyerahkan tespack pada Ibu."Lho, kamu, belum lihat hasilnya?"Ibu terlihat bingung melihatku kembali masuk ke kamar mandi dan mengambil wudhu."Belum, Bu, nggak berani. Udah, ya, aku sholat dulu, keburu siang nanti."Aku tak menunggu jawaban Ibu. Sudah hampir setengah enam, sudah kesiangan ini aku. Duh.Kukerjakan dua rakaat yang kesiangan ini dengan iringan suara ramai di luar kamar. Entah apa yang terjadi di sana. Gegas kukembalikan mukena dan sajadah ke tempat semula, lantas berniat ke luar, ingin tau ada apa.Aku baru akan melangkah ke dapur, saat Ibu menyambutku di depan pintu kamar dan memelukku. "Yang sabar ya, Nak ... ,"
Read more
Bab 102
Muncul lagi pertanyaan itu, benarkah kabar kehamilanku ini? Jika benar, tentu bertambahlah rasa syukurku. Jika pun tidak, ya aku bisa apa, ini semua di luar kuasaku bukan? Harapanku, semoga saja ini benar, supaya aku bisa terus melihat wajah bahagia yang terlihat di depan mata saat ini, dan seterusnya."Sudah-sudah, ayo sarapan, biar cucu Ibu nggak kelaparan di dalam sana. Nanti periksa biar tau sudah usia berapa, biar kita buat selamatan untuk mendo'akan calon cucu Ibu," ujar Ibu sambil meraih tanganku."Ayo, Nan, ajak istrimu sarapan," pungkas Ibu."Iya, Bu."Ia merangkul pundakku, mengajakku duduk."Bu Husna," bisiknya."Pak Hanan," balasku, lantas kami tertawa kecil bersamaan.Alhamdulillah, terima kasih ya, Allah, sudah menghadirkan kebahagiaan di rumah ini. Semoga saja, calon bayi ini sehat sampai lahir nanti. Aamiin ... .."Periksa ke bidan depan itu aja, Husna," pinta Ibu. Beliau mengambil tempat duduk di sampingku."Gi
Read more
Bab 103
Rezeki itu luas, seluas prasangka baikmu. Demikian yang selalu ia tanamkan dan sampaikan. Aku mengamini apa yang sering meluncur dari lisannya.Ia telah melewati banyak hal pahit dalam hidup. Mungkin itu pula yang membuat pemikirannya jauh melampaui usianya, termasuk melampaui aku.Beberapa waktu belakangan ini, prasangka baik itu mulai terwujud satu-persatu. Buah cinta kami, nampaknya memang dihadirkan sesuai dengan prasangka yang ia bangun sendiri. Meski ia masih terlihat tak percaya dengan kehamilannya, aku harap, ia tetap akan sehat dan menjalani kehamilannya dengan baik."Bu Husna," panggilku."Pak Hanan.""Ada susu buat ibu hamil, mau?"Kami sedang membeli kebutuhan dapur, kebetulan ada beberapa yang habis. Ia tak segera menjawab, malah menatapku, seakan sedang bingung dengan pertanyaanku."Aku, nggak suka susu, Mas," jawabnya, kemudian menundukkan kepala."Tapi suka es krim, ya? Bukann
Read more
Bab 104
"Ayah, aku mau main perosotan, ya?" pamit Arsy begitu es krimnya telah habis tak bersisa."Iya, hati-hati, ya, Nak. Adik, nggak ikut?" tawarnya pada Arkan."Enggak, Yah, adik mau di sini saja, main sama adik ini."Pernyataan Arkan, membuat kami bertiga saling pandang. Tak ada anak kecil di sekitar kami, selain dirinya sendiri. Arkan pun sudah beranjak besar, sebab sudah kelas dua SD sekarang."Dia di samping Tante, itu lagi pegangan sama baju Tante," jawabnya lagi.Husna terlihat bingung kali ini. Ia menatapku seakan minta tolong."Adik, kita beli es krim lagi, yuk?" ajak Pak Mirza, seakan mengurai ketegangan yang ada. Syukurlah Arkan menurut."Sayang, kamu nggak papa, kan?" tanyaku setelah kuraih tubuhnya."Enggak, Mas, aku cuma bingung, kok bisa ada anak kecil yang ikut aku, sedangkan aku tak bisa melihatnya.""Sudah, nggak usah dipikirin, habis ini kita jenguk Bu Lisa, ya? Apa masih mau di sini?
Read more
Bab 105
POV Husna"Mau Mas bantu, nggak?"Aku masih asyik mengetik, mengerjakan revisian hari ini. Kualihkan pandang sejenak dari layar monitor, demi melihat pasangan hidup yang penuh cinta di depanku."Boleh, Mas. Duduk sini temani aku, ya, itu sudah cukup, Mas," jawabku sambil mengulas senyum."Hmm ... , iya, deh. Apa masih banyak? Sudah jam delapan ini, kamu apa nggak capek, habis sibuk seharian?"Wajah khawatirnya tak dapat ia sembunyikan. Selalu seperti ini, saat aku masih sibuk di jam segini."Tadi, sih, iya, capek sedikitt. Tapi, sekarang udah hilang begitu lihat kamu, Mas." Aku terkikik sendiri, saat sadar dengan apa yang baru saja meluncur dari lisan ini."Cie, Mas digombalin," ujarnya, lantas mendaratkan bibirnya di keningku. "Ini jus sayurnya, diminum dulu, ya?""Siap, Mas. Makasih, ya. Pasti enak, deh."Kunikmati perlahan jus sayur ini, sambil beberapa saat menahan di dalam mulut, supaya b
Read more
Bab 106
Mama terlihat mengernyitkan keningnya. Dilihatnya aku dan suami bergantian, seakan mencari jawab atas kebenaran yang kusampaikan."Iya, Ma. Dia ngambil semester pendek, jadi, sudah mau selesai," timpal suami."Tuh, Ma, hebat kan, menantu kamu, sampai ngebut selesaikan kuliah demi menuruti maumu," ujar Papa menimpali."Semester pendek?" Mama bertanya seakan tak percaya."Iya, Ma. Hampir nggak ada hari libur, kecuali Minggu. Jadi, maaf ya, kalau lama nggak ke rumah Mama," ujar calon ayah Wijaya kecil, dengan memegang tangan Mama. Nampaknya ada sesal di sana, sebab memang sudah lama sekali kami berdua tidak ke sana.Kulihat sosok mungil itu di sana, di dekat pagar pembatas ruangan ini. Ia sedang tersenyum, manis sekali. Wajahnya tak asing lagi."Kusuma … ," gumamku lirih, saat ia tak terlihat lagi."Sayang, kamu kenapa?" Calon ayah Wijaya kecil sudah memegang lenganku, lantas mengikuti arah pandanganku.
Read more
Bab 107
POV DirgaRasa rindu, membawaku mendatangi beberapa tempat yang pernah kudatangi bersama Husna.Di pesisir pantai ini, aku berdiri tegak. Masih teringat jelas dalam ingatan, hari di mana kami berdua berada di sini. Hari di mana ia berlari setelah menyatakan tak mau hidup berdua denganku. Hari di mana ia meminta waktu satu bulan untuk berpikir.Selarik senyum, tercipta begitu saja saat teringat dirinya. Sebuah kenangan manis, setelah beberapa waktu lamanya kami tak bersua, kemudian dipertemukan kembali oleh untaian takdir bernama kebetulan.Kutinggalkan tempat ini, sebab hari telah gelap. Ke rumah lama aku melajukan kendaraanku. Semakin dekat dengan rumah, semakin banyak pula bayang-bayang yang hadir di dalam benakku.Memasuki halaman rumah, semakin mata ini berembun. Pandangan mataku terhalang oleh kaca-kaca bening yang siap meluncur.Seorang perempuan yang sedang bergerak cepat, menuju bunga yang tumbuh subur di halaman, membuat
Read more
Bab 108
"Sudah cukup Dirga!"Pekik Ibu suatu ketika."Tolong hentikan keto lolan ini. Kamu masih muda, Dirga, masih sangat pantas untuk hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga.Sudah cukup waktu yang kau habiskan untuk meratapi Husna. Ia sudah hidup bahagia bersama suaminya, Nak. Sekarang, ibu minta, menikahlah Nak. Semoga dengan kamu menikah, kamu bisa melupakan Husna. Hidup ibu tak akan lama lagi. Ibu sudah tua. Ibu ingin melihat kamu hidup bahagia, bukan hidup dengan terjerat masa lalu. Mau, ya, Nak?"Ibu berkata dengan suara lirih, dan memohon. "Bagaimana bisa, Bu? Hatiku seakan sudah terikat pada Husna. Bagaimana aku bisa hidup bersama orang lain, sedangkan aku tak bisa berpaling darinya, meski aku tau dia sudah hidup bahagia," ujarku, tak kalah menyedihkan. Aku, seorang lelaki. Sejak kecil, telah dididik dan disiapkan untuk menjadi pemimpin, setidaknya dalam keluarga sendiri. Tapi kenyataannya, aku selemah ini, sebab me
Read more
Bab 109
Ada sisi hatiku yang tercubit kali ini. Yakni ketika mendapati kenyataan, bahwa kedua anak tersebut adalah keponakan Rahmi. Alam semesta seakan masih menjalankan perannya, membuat untaian kebetulan kian bertambah, antara aku dan Husna."Hai Om, aku Arsy, dan ini adikku, Arkan," ujarnya dengan mengulurkan tangan yang segera kusambut. "Yang itu, adek Najwa," tambahnya lagi, memperkenalkan saudaranya satu persatu.Suara ini, tentu saja sama dengan suara yang kudengar di taman beberapa kali. Hal ini membuat bayang-bayang Husna kembali hadir, memenuhi sudut hati.Bagaimana aku bisa menjalani hidup setelah ini? Bagaimana aku menjalani hidup dengan bayang-bayangmu wahai Husna? Ke mana kakiku melangkah, seakan kamu ikut serta. Seakan tak kau biarkan aku menjalani sedikit pun waktu tanpamu.Apa hukuman untukku belum usai, meski telah kulafalkan akad pada seseorang yang kini ada di sampingku?"Mas, itu, Arsy ngajak salaman," bisik Rahmi s
Read more
Bab 110
Kubawa ia ke rumah ini, di hari kedua ia menjadi istri. Ia menemani Ibu tinggal di sini, demi terwujudnya tujuan dilaksanakan pernikahanku dengan Rahmi.Aku berusaha menjadi suami yang baik menurut versiku. Meski tak mudah, tapi tetap harus kujalani, demi baiknya hubungan semua orang. Kuhabiskan sarapanku segera. Aku bergegas pamit bekerja setelahnya."Hati-hati di rumah, ya," pamitku, dengan mendaratkan kecupan di keningnya.Aku akan bekerja seharian, dan baru beranjak pulang saat menjelang makan malam. Aku tak bisa berlama-lama berada di rumah dan bertemu lebih lama dengannya."Dirga, bisakah kamu pulang lebih awal? Bukankah, kamu telah memiliki istri sekarang, Nak?" protes Ibu suatu ketika. Aku tertegun untuk beberapa saat lamanya, mencari alasan masuk akal yang bisa diterima oleh Ibu. Rahmi pun tak pernah protes, karena ia juga punya kesibukan sendiri meski di rumah saja. Ia mulai ikut jejak kakaknya, menjual bebe
Read more
PREV
1
...
910111213
...
17
DMCA.com Protection Status