"Sudah cukup Dirga!"
Pekik Ibu suatu ketika."Tolong hentikan keto lolan ini. Kamu masih muda, Dirga, masih sangat pantas untuk hidup bahagia dalam sebuah rumah tangga.Sudah cukup waktu yang kau habiskan untuk meratapi Husna. Ia sudah hidup bahagia bersama suaminya, Nak.Sekarang, ibu minta, menikahlah Nak. Semoga dengan kamu menikah, kamu bisa melupakan Husna. Hidup ibu tak akan lama lagi. Ibu sudah tua. Ibu ingin melihat kamu hidup bahagia, bukan hidup dengan terjerat masa lalu. Mau, ya, Nak?"Ibu berkata dengan suara lirih, dan memohon."Bagaimana bisa, Bu? Hatiku seakan sudah terikat pada Husna. Bagaimana aku bisa hidup bersama orang lain, sedangkan aku tak bisa berpaling darinya, meski aku tau dia sudah hidup bahagia," ujarku, tak kalah menyedihkan.Aku, seorang lelaki. Sejak kecil, telah dididik dan disiapkan untuk menjadi pemimpin, setidaknya dalam keluarga sendiri. Tapi kenyataannya, aku selemah ini, sebab meAda sisi hatiku yang tercubit kali ini. Yakni ketika mendapati kenyataan, bahwa kedua anak tersebut adalah keponakan Rahmi. Alam semesta seakan masih menjalankan perannya, membuat untaian kebetulan kian bertambah, antara aku dan Husna."Hai Om, aku Arsy, dan ini adikku, Arkan," ujarnya dengan mengulurkan tangan yang segera kusambut. "Yang itu, adek Najwa," tambahnya lagi, memperkenalkan saudaranya satu persatu.Suara ini, tentu saja sama dengan suara yang kudengar di taman beberapa kali. Hal ini membuat bayang-bayang Husna kembali hadir, memenuhi sudut hati.Bagaimana aku bisa menjalani hidup setelah ini? Bagaimana aku menjalani hidup dengan bayang-bayangmu wahai Husna? Ke mana kakiku melangkah, seakan kamu ikut serta. Seakan tak kau biarkan aku menjalani sedikit pun waktu tanpamu.Apa hukuman untukku belum usai, meski telah kulafalkan akad pada seseorang yang kini ada di sampingku?"Mas, itu, Arsy ngajak salaman," bisik Rahmi s
Kubawa ia ke rumah ini, di hari kedua ia menjadi istri. Ia menemani Ibu tinggal di sini, demi terwujudnya tujuan dilaksanakan pernikahanku dengan Rahmi.Aku berusaha menjadi suami yang baik menurut versiku. Meski tak mudah, tapi tetap harus kujalani, demi baiknya hubungan semua orang. Kuhabiskan sarapanku segera. Aku bergegas pamit bekerja setelahnya."Hati-hati di rumah, ya," pamitku, dengan mendaratkan kecupan di keningnya.Aku akan bekerja seharian, dan baru beranjak pulang saat menjelang makan malam. Aku tak bisa berlama-lama berada di rumah dan bertemu lebih lama dengannya."Dirga, bisakah kamu pulang lebih awal? Bukankah, kamu telah memiliki istri sekarang, Nak?" protes Ibu suatu ketika. Aku tertegun untuk beberapa saat lamanya, mencari alasan masuk akal yang bisa diterima oleh Ibu. Rahmi pun tak pernah protes, karena ia juga punya kesibukan sendiri meski di rumah saja. Ia mulai ikut jejak kakaknya, menjual bebe
POV HananAku mensyukuri segala hal baik yang terjadi belakangan ini. Membaiknya hubungan antara Mama dan menantunya itu salah satunya.Mama lebih sering berkunjung sejak hari itu. Bermacam buah tangan beliau bawa untuk menantu yang sedang mengandung cucunya. Mulai dari asupan makanan sehari-hari, hingga pakaian longgar untuk ibu hamil. Tak jarang juga, diajaknya menantu satu-satunya itu mengunjungi salon kecantikan. Hal yang jarang dilakukan, sebab Husna memang kurang suka. Tapi menurut juga, demi baiknya hubungan dengan Mama mertua.Ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun masih perlu waktu beberapa lama lagi untuk wisuda, sebab ia telah selesai lebih awal. Ia jadi lebih banyak waktu luang di rumah. Hal ini juga yang membuat Mama leluasa mengajak ia sekedar jalan dan makan di luar. Yah, meski jarak rumah kami tak bisa dibilang dekat, tak juga membuat niat Mama surut untuk datang berkunjung.
Hampir jam sepuluh saat kami sampai di kediaman Bu Lisa dan Pak Mirza. Sambutan hangat dari mereka, membuat hubungan kami semakin akrab sebagai satu keluarga.Seperti yang dipinta sebelumnya, Arsy sudah meno dongkan buku gambar dan pensil pada Tantenya. Tak butuh waktu lama, kertas kosong itu kini telah berisi bermacam bentuk, seakan menjadi satu cerita yang tertuang dalam gambar."Makasih, ya, Tante," ucap Arsy dengan mata berbinar."Sama-sama, sayang."Arsy telah sibuk dengan gambar tersebut. Ditunjukkan pada kedua orang tuanya bergantian, lantas diambilnya pensil warna dan mulai menggoreskan perlahan pada bidang gambar.Sementara itu, Arkan mengajakku bermain sepeda di jalan depan rumah. Aku hanya diminta melihat, sementara ia sibuk mondar-mandir dengan sepeda kecilnya.Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa, hingga keduanya terlihat kelelahan, lantas terbaring di kamar masing-masing."Maaf, ya, Mbak Husna
Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Pandangannya masih mengarah ke arah kursi yang berbaris rapi di teras minimarket. Aku mencoba memahami sesuatu, bahwa ia, mungkin saja sedang bergumul dengan pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala. Mungkin orang yang ia lihat sebagai Dirga, tadi sedang duduk di sana.Apa sebaiknya kukatakan padanya, bahwa Dirga telah kutemukan keberadaannya, tapi tak punya keberanian menunjukkan wajah di depannya?"Kita masuk aja, beli sesuatu, yuk."Aku berharap, dengan menikmati makanan kesukaannya, moodnya akan kembali membaik.Lagi-lagi ia patuh, saat kuraih bahunya, kemudian mengajak ia memasuki area indoapril."Udah, ya, jangan sedih-sedih, nanti Wijaya kecil ikut sedih," ujarku sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit."Iya, Mas," jawabnya sambil melangkah masuk.Kami telah berada di depan box besar berisi es krim. Aku baru akan membuka tutupnya ketika tangannya menc
Ia mengernyitkan keningnya. Lantas memeriksa keningku dengan punggung tangannya. Gegas kuraih tangan itu, lalu kugenggam sambil mengulas senyuman."Nggak panas. Kamu nggak papa kan, Mas?" ia terlihat khawatir. Ekspresinya justru menambah kadar kecantikannya di mataku."Mas nggak papa, Sayang. Udah selesai? Kita pulang, ya?" ajakku, dengan tetap menggenggam erat tangannya. Ia mengangguk menyetujui.Beriringan kami meninggalkan minimarket ini, untuk melanjutkan perjalanan pulang.Di dalam kendaraan roda empat ini, aku terdiam sejenak. Kugenggam erat tangannya, hingga ia menolehkan wajah. Sekarang wajah kami berhadapan. Kutatap matanya dengan tatapan hangat yang kupunya."Husna, terima kasih, ya, sudah menjadi istri yang baik buat Mas selama ini."Awalnya ia sedikit membesarkan mata, lalu ia mulai tersenyum."Kamu kenapa, sih, Mas?""Mas sayang sama kamu, Husna. Tetap jadi istri Mas, ya?" ujarku lirih. Te
POV DirgaApa yang diharapkan oleh hati yang menanggung rindu, selain bertemu? Tak peduli meski rasa itu telah tabu. Begitu juga dengan aku.Aku ingin bertemu, untuk memuaskan rasa rindu yang menyiksaku. Sayangnya, hatiku tak sebesar itu, untuk menunjukkan apa yang bergejolak di dalam dada.Pikiranku sudah tak ada di tempat sejak kulajukan kembali kendaraan roda empat ini. Wajahnya mengikuti kemana pun langkahku pergi.Rahmi masih asyik bercerita mengenai kedua keponakannya. Sampai tiba di rumah Mbak Lisa, nampaknya anak-anak sedang dibujuk ketika aku menginjakkan kaki di teras rumah."Kenapa mereka, Mbak, kok sepertinya lagi rewel?" tanya Rahmi begitu selesai melepas rindu pada kakaknya."Iya, mereka nyariin om sama tantenya yang udah nggak ada waktu mereka bangun.""Om sama Tante?" tanya Rahmi terlihat mengernyitkan dahi."Iya, tadi mereka sedang tidur waktu Mbak Husna sama suaminya pulang dari sini. Sudah dip
Lepas Isya', barulah kami berdua pamit meninggalkan kediaman keluarga Mbak Lisa. Keluarga yang hangat dan saling support. Baru kuketahui kalau Mas Mirza ayah sambung bagi Arsy dan Arkan."Terima kasih, ya, Mas, sudah mengajakku mengunjungi Mbak Lisa. Terima kasih juga, sudah membaur dengan baik pada anak-anak.""Sama-sama. Mau langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu?" ujarku menawarkan."Pulang saja, ya. Kita belikan dulu sesuatu buat Ibu.""Siap Nyonya."Ia kembali terkekeh kecil. Di sebuah penjual martabak ia meminta berhenti. Aku menurut.Ibu senang sekali saat melihat kami pulang bersamaan."Maaf, ya, Bu. Sampai malam begini kami baru pulang," ujar Rahmi setelah menyalami ibu."Tidak apa-apa. Ibu malah seneng lihat kalian begini. Semoga kalian rukun terus seperti ini, saling melengkapi satu sama lain," jawab ibu sambil merangkul menantunya. Rahmi bergegas ke dapur untuk mengambil piring, meninggalkan aku berdua dengan ibu."Bagus