POV Dirga
Apa yang diharapkan oleh hati yang menanggung rindu, selain bertemu? Tak peduli meski rasa itu telah tabu. Begitu juga dengan aku.Aku ingin bertemu, untuk memuaskan rasa rindu yang menyiksaku. Sayangnya, hatiku tak sebesar itu, untuk menunjukkan apa yang bergejolak di dalam dada.Pikiranku sudah tak ada di tempat sejak kulajukan kembali kendaraan roda empat ini. Wajahnya mengikuti kemana pun langkahku pergi.Rahmi masih asyik bercerita mengenai kedua keponakannya. Sampai tiba di rumah Mbak Lisa, nampaknya anak-anak sedang dibujuk ketika aku menginjakkan kaki di teras rumah."Kenapa mereka, Mbak, kok sepertinya lagi rewel?" tanya Rahmi begitu selesai melepas rindu pada kakaknya."Iya, mereka nyariin om sama tantenya yang udah nggak ada waktu mereka bangun.""Om sama Tante?" tanya Rahmi terlihat mengernyitkan dahi."Iya, tadi mereka sedang tidur waktu Mbak Husna sama suaminya pulang dari sini. Sudah dipLepas Isya', barulah kami berdua pamit meninggalkan kediaman keluarga Mbak Lisa. Keluarga yang hangat dan saling support. Baru kuketahui kalau Mas Mirza ayah sambung bagi Arsy dan Arkan."Terima kasih, ya, Mas, sudah mengajakku mengunjungi Mbak Lisa. Terima kasih juga, sudah membaur dengan baik pada anak-anak.""Sama-sama. Mau langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu?" ujarku menawarkan."Pulang saja, ya. Kita belikan dulu sesuatu buat Ibu.""Siap Nyonya."Ia kembali terkekeh kecil. Di sebuah penjual martabak ia meminta berhenti. Aku menurut.Ibu senang sekali saat melihat kami pulang bersamaan."Maaf, ya, Bu. Sampai malam begini kami baru pulang," ujar Rahmi setelah menyalami ibu."Tidak apa-apa. Ibu malah seneng lihat kalian begini. Semoga kalian rukun terus seperti ini, saling melengkapi satu sama lain," jawab ibu sambil merangkul menantunya. Rahmi bergegas ke dapur untuk mengambil piring, meninggalkan aku berdua dengan ibu."Bagus
POV Husna"Mas, ayo bangun, sarapan dulu."Kukecup pipi kanannya. Ia malah tersenyum senang dengan mata masih terpejam."Mas baru akan bangun kalau istri Mas mau mencium pipi sebelahnya," katanya dengan tersenyum dan mata tertutup."Baiklah kesayangan." Aku mencium pipi kirinya. "Apa masih kurang?" tanyaku dengan berbisik.Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir.Aku terkekeh, kemudian menurut. Cup."Udah."Ia membuka mata. Wajahnya semringah. Nampaknya ia mengawali hari dengan lebih berwarna.Ia bangkit, lantas mengajakku ke halaman di samping kamar. Di kursi santai itu kami duduk berdampingan."Mas bisa makan sendiri, Sayang, nggak usah kamu suap. Cukup duduk di sini menemani.""Baiklah suamiku sayang."Aku mengambil piring berisi potongan buah-buahan segar. Ia mulai menyuap menggunakan garpu yang telah kusiapkan."Tumben sekali tidur lagi, Mas? Masih capek, ya?"
Melihat jam di tangan, sudah jam makan siang. Aku bergegas menuju food court untuk mengisi perut. Jangan sampai aku terlambat memberi nutrisi untuk janinku. Ia sudah mulai bergerak-gerak sejak aku meninggalkan ruangan Bu Lutfi. Kuelus perlahan tempat ia berada, berharap ia bersabar sebentar lagi."Sabar, ya, Nak. Sebentar lagi kita makan," ucapku sambil berjalan menuju deretan menu.Membawa satu piring berisi nasi merah, perkedel kentang, tumis sawi putih, serta timun segar sebagai lalapan, aku menuju meja yang masih kosong. Tak lupa memberi kabar pada calon ayah Wijaya kecil sebelum memulai menyantap makan siangku.Menikmati makan siang kali ini, sambil bertukar kabar melalui ponsel pada beberapa teman kerja dan juga kuliah. Ada yang masih sibuk ngumpulin data, ada yang ngejar-ngejar dosen buat konsultasi, ada yang printernya rusak sebab diajak ngebut ngeprint tulisan. Dan masih banyak lagi.Aku tersenyum membaca chat mereka. Tak menyangka juga k
"Jadi begini, kelakuan kamu? Apa tak malu? Suamimu kerja banting tulang, dan kamu enak-enakan di sini, berdua entah dengan siapa!"Wanita ini, kenapa bisa ada di sini dan membuat tuduhan yang tak ada kebenaran di dalamnya sama sekali? Kenapa sibuk sekali mengurusi yang bukan urusannya?"Apa yang kamu lakukan di sini, Husna? Berdua saja dengan laki-laki, di tempat umum seperti ini?"Mama sudah muncul di belakang Tante Wanda. Entah sejak kapan mereka berada di dekat sini. Mama menatapku dengan pandangan entah, sementara Tante Wanda tersenyum sinis menatapku. Aku semakin dibuat takjub dengan kehadiran Mama di tempat ini. Bagaimana bisa kebetulan begini berada di tempat yang sama, di waktu yang sama?"Kenapa masih bertanya? Sudah berkali-kali kukatakan, kalau perempuan ini bermuka dua. Lihat saja dirinya, sudah berbadan dua pun, masih saja mencari lelaki lain. Tak bersyukur!"Lagi-lagi ia tersenyum miring, sementara Mama memandangku
Ia meraih bahuku, lantas merapatkan badan. Terima kasih, Mas. Setidaknya, aku berharap, Mama mau mendengarkan anak lelakinya, bukan adiknya yang hampir selalu julid kalau bertemu denganku."Maaf, Mas terlambat," bisiknya di telingaku."Benar begitu, Husna?""I-iya, Ma."Mama masih menatapku dengan tatapan bertanya, kemudian terlihat menghembuskan napas panjang."Nah, bener, kan. Jadi Mama nggak usah mikir macem-macem. Oke?""Baiklah, Mama percaya sama kamu, Hanan.""Semudah itu kamu percaya, Sekar?" tanya Tante dengan menaikkan alis. Ia terlihat keberatan melihat Mama tak terpengaruh lagi oleh ucapannya."Sudahlah Tante, ibu dan anak ini sudah lengket, tak bisa kamu kompori kalau sudah seperti sekarang," bisikku dalam hati."Eh, iya, Mama, udah makan siang apa belum? Mumpung di sini, kita makan sama-sama, yuk. Ayo, Ma, pilih menu yang Mama pengen. Yuk."Ia tak menanggapi ucapan Tante Wanda, beg
Siang ini, rintik hujan membasahi bumi. Udara yang kering dan panas matahari yang menyengat kulit, sirna begitu saja seiring dengan hadirnya. Aroma petrikor ini, kuhirup sedalam yang aku bisa. Aroma ini, yang selalu disukai olehnya."Aroma ini selalu unik, saat tanah yang kering kerontang bertemu dengan rintik air hujan. Seperti hatiku yang merana menanggung rindu, lantas disirami oleh hadirmu," ujarnya, kala itu.Aku membaui aroma tanah kering yang tersiram air hujan dengan hati yang penuh. Hujan pertama ini, selalu mengingatkan aku, saat pertama kali aku peduli akan hadirnya. Saat pertama kali aku menyadari, bahwa ada seseorang yang begitu dalam menyimpan rasa untukku.Hujan kali ini, membuat aku termangu. Berkelebat dalam ingatan, semua kenangan tentang dia.Alam semesta seakan mengerti, bahwa ada hati yang ikut gembira, menyambut hujan pertama. Pun ada hati yang gerimis, sebab menyadari bahwa ia harus tau diri dengan kondisi sekarang ini."Bolehkah aku m
Hatiku pun ikut hangat menyaksikan pemandangan di depanku. Melihat betapa peduli dan sayangnya Hanan pada Husna, membuat aku ikut bahagia. Yah, meski tak dapat kupungkiri, kalau ada sisi hatiku yang terbakar cemburu."Terima kasih, Mas. Nah, yang di dalam sini juga mau Kak Dirga sama ibu ikut menikmati, mau, ya?" ucapnya sambil menyerahkan masing-masing satu pada kami.Apa lagi yang bisa kami lakukan, selain menuruti inginnya?.Aku pikir, setelah pertemuan hari itu, semua akan baik-baik saja. Nyatanya, tidak demikian. Rasa cintaku semakin besar, begitu juga dengan rindu.Aku tak bisa berhenti mencintai, meski telah mengucapkan kata selesai pada hubungan kami berdua. Hatiku tak bisa berdusta, bahwa masih ada tempat istimewa di dalamnya, untuk satu nama.Ia telah menjelma menjadi wanita yang matang, seiring dengan bertambahnya usia. Ia juga menjelma menjadi udara yang senantiasa kuhirup, yang tanpa adanya, aku tak bisa bernapas dengan bebas. Ia telah menj
POV HananKonon katanya, cinta pertama akan tetap tersimpan di hati, entah bagaimana kehidupan baru yang telah dijalani. Itu juga yang membuat rasa cemas terus menghantuiku.Aku percaya bahwa mereka sudah dewasa, bisa mengendalikan perasaan masing-masing. Tapi, siapa yang bisa membaca isi hati seseorang? Meski sudah meyakinkan hati berkali-kali bahwa semua akan baik-baik saja, tetap saja ada yang menggelitik sisi hati, supaya aku tetap waspada.Ada rasa yang tak bisa diucapkan, saat kami bertiga bisa berkumpul kembali, setelah sekian lamanya saling mencari dan bersembunyi.Masih kulihat tatapan hangat di mata Dirga, saat berhadapan dengan Husna. Aku harap, dia memegang ucapannya kali ini. Mereka berdua telah selesai. Aku harap, tak hanya di lidah, tapi demikian juga di hati.Masih ada sisa air mata saat aku telah tiba. Terlebih lagi, kehadiran Tante Wanda dan Mama yang membuat argumen menyesatkan, bisa saja Dirga menduga bahwa Husna terintimidasi selama ini.Semua pikiran buruk itu kus