POV Husna
"Mas, ayo bangun, sarapan dulu."Kukecup pipi kanannya. Ia malah tersenyum senang dengan mata masih terpejam."Mas baru akan bangun kalau istri Mas mau mencium pipi sebelahnya," katanya dengan tersenyum dan mata tertutup."Baiklah kesayangan." Aku mencium pipi kirinya. "Apa masih kurang?" tanyaku dengan berbisik.Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir.Aku terkekeh, kemudian menurut. Cup."Udah."Ia membuka mata. Wajahnya semringah. Nampaknya ia mengawali hari dengan lebih berwarna.Ia bangkit, lantas mengajakku ke halaman di samping kamar. Di kursi santai itu kami duduk berdampingan."Mas bisa makan sendiri, Sayang, nggak usah kamu suap. Cukup duduk di sini menemani.""Baiklah suamiku sayang."Aku mengambil piring berisi potongan buah-buahan segar. Ia mulai menyuap menggunakan garpu yang telah kusiapkan."Tumben sekali tidur lagi, Mas? Masih capek, ya?"Melihat jam di tangan, sudah jam makan siang. Aku bergegas menuju food court untuk mengisi perut. Jangan sampai aku terlambat memberi nutrisi untuk janinku. Ia sudah mulai bergerak-gerak sejak aku meninggalkan ruangan Bu Lutfi. Kuelus perlahan tempat ia berada, berharap ia bersabar sebentar lagi."Sabar, ya, Nak. Sebentar lagi kita makan," ucapku sambil berjalan menuju deretan menu.Membawa satu piring berisi nasi merah, perkedel kentang, tumis sawi putih, serta timun segar sebagai lalapan, aku menuju meja yang masih kosong. Tak lupa memberi kabar pada calon ayah Wijaya kecil sebelum memulai menyantap makan siangku.Menikmati makan siang kali ini, sambil bertukar kabar melalui ponsel pada beberapa teman kerja dan juga kuliah. Ada yang masih sibuk ngumpulin data, ada yang ngejar-ngejar dosen buat konsultasi, ada yang printernya rusak sebab diajak ngebut ngeprint tulisan. Dan masih banyak lagi.Aku tersenyum membaca chat mereka. Tak menyangka juga k
"Jadi begini, kelakuan kamu? Apa tak malu? Suamimu kerja banting tulang, dan kamu enak-enakan di sini, berdua entah dengan siapa!"Wanita ini, kenapa bisa ada di sini dan membuat tuduhan yang tak ada kebenaran di dalamnya sama sekali? Kenapa sibuk sekali mengurusi yang bukan urusannya?"Apa yang kamu lakukan di sini, Husna? Berdua saja dengan laki-laki, di tempat umum seperti ini?"Mama sudah muncul di belakang Tante Wanda. Entah sejak kapan mereka berada di dekat sini. Mama menatapku dengan pandangan entah, sementara Tante Wanda tersenyum sinis menatapku. Aku semakin dibuat takjub dengan kehadiran Mama di tempat ini. Bagaimana bisa kebetulan begini berada di tempat yang sama, di waktu yang sama?"Kenapa masih bertanya? Sudah berkali-kali kukatakan, kalau perempuan ini bermuka dua. Lihat saja dirinya, sudah berbadan dua pun, masih saja mencari lelaki lain. Tak bersyukur!"Lagi-lagi ia tersenyum miring, sementara Mama memandangku
Ia meraih bahuku, lantas merapatkan badan. Terima kasih, Mas. Setidaknya, aku berharap, Mama mau mendengarkan anak lelakinya, bukan adiknya yang hampir selalu julid kalau bertemu denganku."Maaf, Mas terlambat," bisiknya di telingaku."Benar begitu, Husna?""I-iya, Ma."Mama masih menatapku dengan tatapan bertanya, kemudian terlihat menghembuskan napas panjang."Nah, bener, kan. Jadi Mama nggak usah mikir macem-macem. Oke?""Baiklah, Mama percaya sama kamu, Hanan.""Semudah itu kamu percaya, Sekar?" tanya Tante dengan menaikkan alis. Ia terlihat keberatan melihat Mama tak terpengaruh lagi oleh ucapannya."Sudahlah Tante, ibu dan anak ini sudah lengket, tak bisa kamu kompori kalau sudah seperti sekarang," bisikku dalam hati."Eh, iya, Mama, udah makan siang apa belum? Mumpung di sini, kita makan sama-sama, yuk. Ayo, Ma, pilih menu yang Mama pengen. Yuk."Ia tak menanggapi ucapan Tante Wanda, beg
Siang ini, rintik hujan membasahi bumi. Udara yang kering dan panas matahari yang menyengat kulit, sirna begitu saja seiring dengan hadirnya. Aroma petrikor ini, kuhirup sedalam yang aku bisa. Aroma ini, yang selalu disukai olehnya."Aroma ini selalu unik, saat tanah yang kering kerontang bertemu dengan rintik air hujan. Seperti hatiku yang merana menanggung rindu, lantas disirami oleh hadirmu," ujarnya, kala itu.Aku membaui aroma tanah kering yang tersiram air hujan dengan hati yang penuh. Hujan pertama ini, selalu mengingatkan aku, saat pertama kali aku peduli akan hadirnya. Saat pertama kali aku menyadari, bahwa ada seseorang yang begitu dalam menyimpan rasa untukku.Hujan kali ini, membuat aku termangu. Berkelebat dalam ingatan, semua kenangan tentang dia.Alam semesta seakan mengerti, bahwa ada hati yang ikut gembira, menyambut hujan pertama. Pun ada hati yang gerimis, sebab menyadari bahwa ia harus tau diri dengan kondisi sekarang ini."Bolehkah aku m
Hatiku pun ikut hangat menyaksikan pemandangan di depanku. Melihat betapa peduli dan sayangnya Hanan pada Husna, membuat aku ikut bahagia. Yah, meski tak dapat kupungkiri, kalau ada sisi hatiku yang terbakar cemburu."Terima kasih, Mas. Nah, yang di dalam sini juga mau Kak Dirga sama ibu ikut menikmati, mau, ya?" ucapnya sambil menyerahkan masing-masing satu pada kami.Apa lagi yang bisa kami lakukan, selain menuruti inginnya?.Aku pikir, setelah pertemuan hari itu, semua akan baik-baik saja. Nyatanya, tidak demikian. Rasa cintaku semakin besar, begitu juga dengan rindu.Aku tak bisa berhenti mencintai, meski telah mengucapkan kata selesai pada hubungan kami berdua. Hatiku tak bisa berdusta, bahwa masih ada tempat istimewa di dalamnya, untuk satu nama.Ia telah menjelma menjadi wanita yang matang, seiring dengan bertambahnya usia. Ia juga menjelma menjadi udara yang senantiasa kuhirup, yang tanpa adanya, aku tak bisa bernapas dengan bebas. Ia telah menj
POV HananKonon katanya, cinta pertama akan tetap tersimpan di hati, entah bagaimana kehidupan baru yang telah dijalani. Itu juga yang membuat rasa cemas terus menghantuiku.Aku percaya bahwa mereka sudah dewasa, bisa mengendalikan perasaan masing-masing. Tapi, siapa yang bisa membaca isi hati seseorang? Meski sudah meyakinkan hati berkali-kali bahwa semua akan baik-baik saja, tetap saja ada yang menggelitik sisi hati, supaya aku tetap waspada.Ada rasa yang tak bisa diucapkan, saat kami bertiga bisa berkumpul kembali, setelah sekian lamanya saling mencari dan bersembunyi.Masih kulihat tatapan hangat di mata Dirga, saat berhadapan dengan Husna. Aku harap, dia memegang ucapannya kali ini. Mereka berdua telah selesai. Aku harap, tak hanya di lidah, tapi demikian juga di hati.Masih ada sisa air mata saat aku telah tiba. Terlebih lagi, kehadiran Tante Wanda dan Mama yang membuat argumen menyesatkan, bisa saja Dirga menduga bahwa Husna terintimidasi selama ini.Semua pikiran buruk itu kus
"Kamu kecapekan kayaknya ini. Besok, kita periksa, ya? Mudahan nggak papa," pungkasku. Aku tak mau membuat ia khawatir, yang akan berpengaruh pada janinnya.Ia mengangguk, lantas terbatuk. Ia selalu begini, setelah mandi hujan hingga basah kuyup. Meski wajahnya bahagia sekali saat diguyur air yang tercurah dari langit. Hal itu juga yang membuat ibunya selalu keberatan setiap kali ia minta ijin mandi hujan. Terlebih lagi sekarang kondisinya sedang berbadan dua. Jika dibiarkan, bisa-bisa nanti berpengaruh pada janinnya. Gerakan yang terjadi akibat batuk, bukan tak mungkin akan menimbulkan gerakan berulang pada rahimnya. Riwayat keguguran spontan yang pernah ia alami, menambah daftar panjang ketakutanku akan sesuatu yang bahkan tak ingin kubayangkan.Kuperiksa keningnya dengan punggung tanganku. Benar, kan, suhunya mulai naik. "Nah, ini mulai efeknya habis main hujan. Tunggu di sini Mas buatkan wedang jahe, biar lega tenggorokannya. Ini juga mulai anget badannya," ujarku, bersiap bera
"Mas, lagi ngapain?" sapanya, yang sukses membuat aku terperanjat.Duh, kamu bikin jantungan aja, Husna. Mana dini hari begini.Ia kembali terbatuk. Buku kecil kuletakkan kembali ke tempatnya, lantas mengambil air minum untuknya."Sekarang nurut sama Mas, ya. Tunggu Mas buatkan minuman hangat," ujarku setelah ia meneguk air mineral. Ia mengangguk setuju."Makasih, ya, Mas. Maaf, kalau aku, ngerepotin kamu," ujarnya lirih. Nampaknya ada mendung di wajahnya. Kuraih bahunya, kemudian kusandarkan kepalanya di dada. Ia akan lebih tenang kalau begini. Biasanya."Mas nggak repot, kok. Kamu tenang aja, ya. Tunggu di sini, mumpung batuknya baru mulai, jangan sampai nanti makin menjadi, kasihan Wijaya kecil nanti. Sebentar ya, Sayang."Ia mengangguk juga. Gegas kulangkahkan kaki ke dapur dan mulai membuat minuman pereda batuk yang biasa kubuat untuknya. Tak lama kemudian, semua telah siap. Ia segera menghabiskan wedang
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba