"Mas, lagi ngapain?" sapanya, yang sukses membuat aku terperanjat.
Duh, kamu bikin jantungan aja, Husna. Mana dini hari begini.Ia kembali terbatuk. Buku kecil kuletakkan kembali ke tempatnya, lantas mengambil air minum untuknya."Sekarang nurut sama Mas, ya. Tunggu Mas buatkan minuman hangat," ujarku setelah ia meneguk air mineral. Ia mengangguk setuju."Makasih, ya, Mas. Maaf, kalau aku, ngerepotin kamu," ujarnya lirih.Nampaknya ada mendung di wajahnya. Kuraih bahunya, kemudian kusandarkan kepalanya di dada. Ia akan lebih tenang kalau begini. Biasanya."Mas nggak repot, kok. Kamu tenang aja, ya. Tunggu di sini, mumpung batuknya baru mulai, jangan sampai nanti makin menjadi, kasihan Wijaya kecil nanti. Sebentar ya, Sayang."Ia mengangguk juga. Gegas kulangkahkan kaki ke dapur dan mulai membuat minuman pereda batuk yang biasa kubuat untuknya.Tak lama kemudian, semua telah siap. Ia segera menghabiskan wedangIa masih diam, meski badannya telah kubingkai dengan kedua lenganku. Kini tanganku beralih pada perutnya yang kian tinggi dari hari ke hari."Sini duduk, yuk, kita ajak ngobrol yang di dalam sini."Ia menurut juga. Aku mulai mengelus dan mengetuk perutnya dengan penuh rasa sayang. Tak lama kemudian, gelombang-gelombang cinta dari janin yang berada di dalam, sukses membuat Husna tertawa renyah."Lihat, kan, tinggi sekali dia menendang. Ini cowok kayaknya, deh" celetukku."Enggak, cewek ini," sanggahnya."Cowok aja, biar kamu tetap jadi yang paling cantik buat Mas," pungkasku."Kalau dua aja, gimana?""Dua, maksud kamu kembar?" "He em, asyik dan seru pastinya, kalau punya anak kembar, bisa dipakein baju kembar, bisa sekalian juga momongnya."Hatiku mencelos mendengar penuturannya. Di keluarga kami, memang tak ada keturunan anak kembar. Tapi kemungkinan itu tetap bisa saja terjadi. Meski kemungkinannya ke
POV RahmiJika untuk mendapatkan perhatianmu bisa didapatkan dengan sakitnya aku, aku rela, Mas..Ia masih setia menyuapkan bubur yang masih tersisa beberapa sendok lagi. Kondisiku kian lemah seiring bertambahnya tahapan penyakitku. Meski aku telah berusaha memperbaiki asupan yang masuk ke dalam tubuhku, ternyata tak semudah itu menaklukkan ginjal yang terlanjur cedera."Sudah cukup, Mas. Terima kasih, ya," ucapku tulus.Ia telah meluangkan banyak sekali waktu untukku belakangan ini. Termasuk memantau apa saja yang kukonsumsi."Sama-sama. Sekarang istirahat ya, Mas bereskan ini dulu."Ia usap kepalaku dengan lembut. Aku mengangguk, lantas ia segera meninggalkan aku yang masih terbaring lemah.Pandanganku menerawang ke luar jendela kamar. Sinar matahari menerobos masuk melalui celah rimbunnya pohon mangga di luar sana. Bibirku melengkungkan senyum, mengingat semua hal baik yang kudapat di rumah ini, rumah yang kutempati bersama suami dan juga mer
Aku baru akan melewati bibir pintu dan mengajak ia masuk serta, saat kulihat ia bagai terpaku. Kuikuti arah pandangan matanya, terlihat dua orang lelaki perempuan, yang nampaknya suami istri.Perempuan itu, terlihat bahagia dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Tangan kanannya melingkar di lengan kiri lelaki berkaos putih bersih, sementara tangan kirinya, terlihat mengelus-elus perutnya yang membuncit. Meski ia mengenakan gamis longgar, tetap saja tak bisa ia sembunyikan perutnya yang besar itu. Sementara lelaki di sampingku, terlihat memandangnya dengan sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Sorot mata itu, yang selalu ingin kulihat, semenjak aku menjadi istrinya. Tapi kenapa, kini ia berikan pada seseorang yang baru kali ini kutemui? Pun pertemuan ini tak sengaja, sebab ini berada di sebuah toko perlengkapan bayi. Siapa dia sebenarnya?Ada yang menghentak-hentak di dalam sini, melihat pemandangan itu. Mas Dirga masih tak berkedip, sampai wanita denga
Hatiku damai ...Jiwaku tentram di sampingmu ...Hatiku damai Jiwaku tentram bersamamu ...Iringan tepuk tangan pengunjung, menyambut berakhirnya lagu yang kami bawakan berdua. Ditatapnya lekat ke dalam mataku selama ia membawakan lagu. Ia pun melabuhkan sebuah kecupan, sebelum mengembalikan microphone dan mengucapkan terima kasih, pada grup band yang memberikan waktu kepada kami.Aku pun mengucapkan terima kasih, sebab ia telah membuat hatiku tak lagi menduga-duga. Kami berdua mengayunkan kaki menuju meja yang telah berisi beberapa menu yang kami pesan."Nggak usah mikir aneh-aneh lagi, ya," pintanya. Aku mengangguk. Bagaimana aku bisa berprasangka kalau ia semanis ini padaku?Senyumku belum juga usai, hingga kami berdua kembali bergabung bersama Mbak Husna dan suaminya. Mereka pun menyambut dengan senyum lebar."Ayo minum dulu, pasti haus kan, habis nyanyi," sambut Mbak Husna, sambil memberikan satu botol air mineral padaku. Mas Dirg
Aku berusaha memungut peristiwa yang berserakan di kepala. Saat sadar ternyata telingaku ini telah akrab dengan nama Mbak Husna dan Pak Hanan sejak lama, membuat aku tak mengalihkan pandangan dari kedua pasangan yang terlihat serasi. Pun pada suamiku, yang sejak beberapa saat tadi tak banyak bicara.Ia pun sama sepertiku, asyik memperhatikan mereka yang sibuk menjawab celoteh demi celoteh anak-anak yang kian ramai, sambil bercerita dan menikmati cemilan sesekali."Gimana, Dek? Udah lebih seger kayaknya ya, Mas Dirga?" tanya Mbak Lisa yang kini sibuk di rumah saja.Ia hanya menengok sesekali ke toko dan warung catering, sebab telah memiliki karyawan yang bisa diandalkan."Iya Mbak, udah rekor ini, sejak pagi nggak ada mual. Iya kan, Dek?" tanyanya sambil mengelus kepalaku. Aku mengangguk.Isi kepalaku telah penuh dengan bermacam pertanyaan yang belum bertemu jawabannya. Aku memilih menikmati apa yang disuguhkan oleh Mbak Lisa."Ini besok kayak A
POV HananHatiku ikut mekar, melihat Husna dan Rahmi nampak akrab. Meski di awal terlihat canggung untuk beberapa saat lamanya. Aku rasa, Rahmi pun menyadari sesuatu saat menyaksikan tatapan mata Dirga pada Husna. Untung saja, Dirga segera menetralkan semuanya. Ia terlihat berhasil meyakinkan Rahmi, bahwa tak ada hubungan khusus sebelumnya, antara ia dengan Husna."Aku rasa, mereka bukan sekedar teman lama."Terdengar suara dari arah dapur. Aku yang sedang menuntun Najwa di halaman samping rumah Bu Lisa, menghentikan langkah seketika. "Apa maksudmu, Dek?" terdengar suara Bu Lisa menimpali."Cara Mas Dirga menatapnya, terlihat lain, Mbak."Aku mendengar suara serak dari Rahmi. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan. Ada apa ini?"Hem, adikku yang cantik sedang cemburu, ya? Mbak Husna memang cantik, tapi cantiknya beda. Mbak saja waktu pertama melihat sudah m
Hampir jam tujuh malam saat kami sampai di rumah. Sempat mampir dulu di angkringan, sebab bumil sedang ingin menikmati nasi kucing.Ia bersemangat sekali, saat mengeluarkan satu persatu pakaian bayi dari bagasi."Ini besok dicuci dulu semua, habis itu baru disimpan," ujarnya setelah semua selesai."Hai, Wijaya kecil. Kamu dengar, kan, pakaian kamu sudah disiapkan sama ibu, sekarang. Sehat-sehat ya, Nak," ujarku pelan, sambil mensejajarkan kepala pada perut Husna. Kuusapkan tangan, lalu melabuhkan kecupan di sana. Sambutan hangat segera didapat, berupa tendangan yang membuat kami terasa kian dekat."Aku tak sabar ingin bertemu dengannya, Mas," ujarnya begitu saja. Ia kembali mengusap perutnya dengan sayang."Sabar ya, sebentar lagi, insya Allah kita semua akan bertemu dengan anak kita.""Iya, Mas. Semoga semuanya lancar dan sehat. Gerah sekali, Mas, aku mandi dulu, ya?" Aku mengiyakan. Ia bisa mandi hingga enam
Aku tak bisa bekerja dengan tenang hari ini. Berkali-kali kedua mataku basah, hingga memerah. Semua ucapan Husna, berdengung-dengung memenuhi isi kepala. Jika saja hari ini tak ada rapat direksi, ingin rasanya aku membawa Husna ke suatu tempat. Aku hanya ingin menghabiskan hari bersamanya."Pak, ngelamun aja!" tegur Yoga, saat aku ikut duduk di ruangannya. Rapat baru saja selesai, giliran aku ngadem sejenak di ruang desain ini. Ruang yang pernah ditempati Husna meski tak lama."Eh, kenapa, Yo?" tanyaku setelah mengerjapkan mata beberapa kali."Biasanya rame, ini nggak ada suaranya dari tadi, Pak," selorohnya."Mbak Husna, gimana kabarnya, Pak? Sudah lama, ya, nggak main ke sini," tambahnya lagi.Mendengar namanya disebut, aku kembali teringat wajahnya yang tenang saat kutinggalkan tadi pagi."Kabar Mbak Husna baik. Iya, Yo, dia sedang istirahat di rumah.""Udah lahiran, ya, Pak?""Belum. Masih beberapa Minggu lagi. Kenapa, kangen k