POV HananHatiku ikut mekar, melihat Husna dan Rahmi nampak akrab. Meski di awal terlihat canggung untuk beberapa saat lamanya. Aku rasa, Rahmi pun menyadari sesuatu saat menyaksikan tatapan mata Dirga pada Husna. Untung saja, Dirga segera menetralkan semuanya. Ia terlihat berhasil meyakinkan Rahmi, bahwa tak ada hubungan khusus sebelumnya, antara ia dengan Husna."Aku rasa, mereka bukan sekedar teman lama."Terdengar suara dari arah dapur. Aku yang sedang menuntun Najwa di halaman samping rumah Bu Lisa, menghentikan langkah seketika. "Apa maksudmu, Dek?" terdengar suara Bu Lisa menimpali."Cara Mas Dirga menatapnya, terlihat lain, Mbak."Aku mendengar suara serak dari Rahmi. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan. Ada apa ini?"Hem, adikku yang cantik sedang cemburu, ya? Mbak Husna memang cantik, tapi cantiknya beda. Mbak saja waktu pertama melihat sudah m
Hampir jam tujuh malam saat kami sampai di rumah. Sempat mampir dulu di angkringan, sebab bumil sedang ingin menikmati nasi kucing.Ia bersemangat sekali, saat mengeluarkan satu persatu pakaian bayi dari bagasi."Ini besok dicuci dulu semua, habis itu baru disimpan," ujarnya setelah semua selesai."Hai, Wijaya kecil. Kamu dengar, kan, pakaian kamu sudah disiapkan sama ibu, sekarang. Sehat-sehat ya, Nak," ujarku pelan, sambil mensejajarkan kepala pada perut Husna. Kuusapkan tangan, lalu melabuhkan kecupan di sana. Sambutan hangat segera didapat, berupa tendangan yang membuat kami terasa kian dekat."Aku tak sabar ingin bertemu dengannya, Mas," ujarnya begitu saja. Ia kembali mengusap perutnya dengan sayang."Sabar ya, sebentar lagi, insya Allah kita semua akan bertemu dengan anak kita.""Iya, Mas. Semoga semuanya lancar dan sehat. Gerah sekali, Mas, aku mandi dulu, ya?" Aku mengiyakan. Ia bisa mandi hingga enam
Aku tak bisa bekerja dengan tenang hari ini. Berkali-kali kedua mataku basah, hingga memerah. Semua ucapan Husna, berdengung-dengung memenuhi isi kepala. Jika saja hari ini tak ada rapat direksi, ingin rasanya aku membawa Husna ke suatu tempat. Aku hanya ingin menghabiskan hari bersamanya."Pak, ngelamun aja!" tegur Yoga, saat aku ikut duduk di ruangannya. Rapat baru saja selesai, giliran aku ngadem sejenak di ruang desain ini. Ruang yang pernah ditempati Husna meski tak lama."Eh, kenapa, Yo?" tanyaku setelah mengerjapkan mata beberapa kali."Biasanya rame, ini nggak ada suaranya dari tadi, Pak," selorohnya."Mbak Husna, gimana kabarnya, Pak? Sudah lama, ya, nggak main ke sini," tambahnya lagi.Mendengar namanya disebut, aku kembali teringat wajahnya yang tenang saat kutinggalkan tadi pagi."Kabar Mbak Husna baik. Iya, Yo, dia sedang istirahat di rumah.""Udah lahiran, ya, Pak?""Belum. Masih beberapa Minggu lagi. Kenapa, kangen k
"Tinggal di sini saja dulu, Husna. Nanti kalau ada apa-apa, lalu suami kamu nggak di rumah, gimana?"Kami baru sampai di rumah beliau, setelah memeriksa kandungan. Masih perlu satu kali lagi, sebagai periksa terakhir sebelum anak kami lahir. Tinggal menunggu hari."Lihat, perut kamu semakin besar, sudah di bawah ini, sebentar lagi cucu ibu lahir. Iya, kan?"Ia hanya menatapku, seakan minta tolong, supaya diselamatkan dari situasi ini.Teringat perdebatan kemarin, yang sempat juga membahas ini. Husna berkeras tak mau meninggalkan rumah, meski kandungannya semakin besar. Sedangkan aku juga berpikiran sama dengan ibu mertua. Rasanya aku lebih tenang kalau ia untuk sementara tinggal di sini, menunggu hari persalinan yang masih dua minggu lagi.Di sini masih ada orang tua yang lengkap, ada Mas Dika juga. Mereka pasti sigap jika misalnya saat tiba Husna akan melahirkan, sedangkan aku tak berada di tempat."Nanti Kusuma nggak ada temannya, Mas," alasa
POV Husna"Kamu lagi lihat apa?"Aku menoleh ke arahnya yang baru membuka mata. Ia segera melingkarkan tangannya di perutku yang besar ini.Ia terlihat keheranan melihat tampilan di layar ponsel yang belum selesai. Terlihat video ibu yang sedang menunggu anaknya lahir, sementara perutnya terlihat jelas menampilkan jejak kaki dan tangan yang mungil."Aduh, itu apa nggak sakit, kok sampai kaya gitu?" tanyanya terlihat miris."Ya pasti sakit, Mas. Ibunya saja meringis begitu menahan sakit. Tapi lihat, si ibu tetap tertawa bahagia, kan?" tanyaku yang segera dijawab dengan anggukan.Memang miris melihat video tersebut. Nyerinya seakan menular pada yang melihat. Aku sengaja menontonnya, selain video proses persalinan, demi mengurangi rasa takut yang mulai datang mengendap-endap, seiring bertambah dekat hari perkiraan lahir anak ini.Semua dilakukan demi mempersiapkan diri menghadapi hari besar yang akan datang sebentar lagi."Yang ini, suka g
Malam ini, cuaca sedang sangat cerah. Bulan sedang bulat sempurna.Sedikit awan yang menutupi sinarnya, membuat cahayanya sedikit terhalang. Tapi tak mengurangi keindahan malam ini.Aku sedang sendiri sejak setengah jam yang lalu. Ia yang menjadi imam dalam rumah tanggaku, sedang menghadiri undangan hajatan di rumah tetangga.Kedua kakiku mulai menapaki tangga menuju lantai dua rumah ini. Tempat favoritku jika cuaca cerah. Aku akan betah berlama-lama di sana, tak jarang tertidur juga."Kalau nggak penting sekali, nggak usah ke atas dulu, ya?" Ia selalu mengulang pesan yang sama. Aku telah patuh sejak lama. Tapi tidak kali ini, sebab keinginan yang tak lagi terkendali.Ia selalu takut terjadi sesuatu padaku dan kandunganku. Aku memaklumi, sebab terlihat cintanya yang begitu besar padaku dan calon anak kami selama ini.Aku telah sampai, lantas bersandar pada beberapa bantal yang kususun di sudut kursi, sambil tersenyum sendiri. Di depanku, tampil
"Nangis ini anaknya, kasih ASI dulu, Na," ujar Mama."Iya, Ma," jawabku singkat, lalu mengambil alih sang bayi ke dalam pangkuan, lalu kuberikan asiku yang segera ia sesap hingga terlelap.Kuelus pipi lembutnya. Ikut merasa damai melihat wajahnya yang mungil tanpa dosa. Kubaui aroma harum yang menguar dari tubuhnya.Kuletakkan ia di atas kasur imutnya, saat yakin ia telah benar-benar terlelap. Tak ada rasa bosan sama sekali melihat dan mengikuti setiap gerak geriknya.Tangisnya pun, terdengar merdu di telinga. Rumah ini menjadi ramai oleh hadirnya. Perhatian semua orang, telah tertuju pada bayi itu.Mereka semua mulai sibuk dengan bayi kecil nan lucu dan menggemaskan itu.Ia diajak bicara, seakan mengerti dengan apa yang mereka ucapkan.Ia dianggap mirip dengan si A atau si B. Lalu terdengar tawa berderai. Saling sahut satu sama lain. Aku tersenyum melihat itu semua.Ia juga digendong ke sana sini bergantia
Ia telah kembali mengenakan kaos putihnya. Aku yang telah selesai, terdiam di tempatku. Pelan tapi pasti, bulir bening itu mengalir begitu saja, lalu isakan itu mulai terdengar, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga supaya tak ada suara yang keluar.Aku merasa asing dengan suamiku sendiri. Ia telah seperti orang asing. Hampir tak ada pembicaraan selama beberapa hari. Memulai bicara pun aku tak berani.Ia yang hendak beranjak dari duduknya, menoleh seketika. Mungkin terdengar olehnya isakanku ini. Direngkuhnya badan ini. Lalu tangis itu pun pecah tanpa bisa dicegah."Kamu kenapa?"Ia mengusap air yang mengalir di pipiku. Ia bahkan lupa menambahkan kata 'sayang' yang selalu ia sebut saat memanggilku.Aku tak bisa menjawab sebab sibuk dengan pikiranku sendiri..Hampir jam 12 malam saat aku terbangun oleh rengekannya. Gegas aku membuka mata, lalu memberikan ASI untuk ia sesap segera."Aku tak mau ia menangis saat malam
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba