"Nangis ini anaknya, kasih ASI dulu, Na," ujar Mama."Iya, Ma," jawabku singkat, lalu mengambil alih sang bayi ke dalam pangkuan, lalu kuberikan asiku yang segera ia sesap hingga terlelap.Kuelus pipi lembutnya. Ikut merasa damai melihat wajahnya yang mungil tanpa dosa. Kubaui aroma harum yang menguar dari tubuhnya.Kuletakkan ia di atas kasur imutnya, saat yakin ia telah benar-benar terlelap. Tak ada rasa bosan sama sekali melihat dan mengikuti setiap gerak geriknya.Tangisnya pun, terdengar merdu di telinga. Rumah ini menjadi ramai oleh hadirnya. Perhatian semua orang, telah tertuju pada bayi itu.Mereka semua mulai sibuk dengan bayi kecil nan lucu dan menggemaskan itu.Ia diajak bicara, seakan mengerti dengan apa yang mereka ucapkan.Ia dianggap mirip dengan si A atau si B. Lalu terdengar tawa berderai. Saling sahut satu sama lain. Aku tersenyum melihat itu semua.Ia juga digendong ke sana sini bergantia
Ia telah kembali mengenakan kaos putihnya. Aku yang telah selesai, terdiam di tempatku. Pelan tapi pasti, bulir bening itu mengalir begitu saja, lalu isakan itu mulai terdengar, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga supaya tak ada suara yang keluar.Aku merasa asing dengan suamiku sendiri. Ia telah seperti orang asing. Hampir tak ada pembicaraan selama beberapa hari. Memulai bicara pun aku tak berani.Ia yang hendak beranjak dari duduknya, menoleh seketika. Mungkin terdengar olehnya isakanku ini. Direngkuhnya badan ini. Lalu tangis itu pun pecah tanpa bisa dicegah."Kamu kenapa?"Ia mengusap air yang mengalir di pipiku. Ia bahkan lupa menambahkan kata 'sayang' yang selalu ia sebut saat memanggilku.Aku tak bisa menjawab sebab sibuk dengan pikiranku sendiri..Hampir jam 12 malam saat aku terbangun oleh rengekannya. Gegas aku membuka mata, lalu memberikan ASI untuk ia sesap segera."Aku tak mau ia menangis saat malam
Rumah telah kembali sepi, setelah kepulangan Mama, dan juga ibu.Acara akikah sekaligus khitan Fajar telah dilaksanakan. Kini, menyisakan kami bertiga, setelah rangkaian acara selesai. "Mama harus kembali, sebab tak bisa meninggalkan Papa lebih lama lagi. Nanti kalau waktunya longgar, Mama ke sini lagi," pamit Mama sore tadi.Ibu juga baru saja dijemput Mas Dika, sebab ada tetangga yang meninggal."Ibu pulang dulu ya, Na. Nggak enak kalau nggak datang. Belakang rumah ini," ujar ibu. Aku mengiyakan."Besok atau lusa ibu ke sini lagi. Nggak tega ibu lihat kamu nggak ada keluarga habis lahiran," tambahnya lagi.Meski berat, beliau pulang juga. Tak lupa memberi banyak wejangan, nggak boleh ini nggak boleh itu. Harus begini harus begitu.Aku patuh pada nasehat beliau. Selama aku nyaman, ya kukerjakan, seperti saat beliau berada di rumah ini.Kini, nyaris tak ada suara, selain detak jarum jam di kamar ini, di mana ak
Kondisi baik ini mulai stabil, sejak hari itu. Ia telah kembali menjadi suami dan ayah yang hangat dan peduli.Ibu datang lagi keesokan harinya, tapi tak lama, sebab masih perlu bantu-bantu di rumah tetangga yang baru kehilangan anggota keluarga.Beliau seakan memastikan kalau aku bisa mengurus cucunya dengan baik.Mama masih sering berkunjung. Tak jarang datang seorang diri, kadang juga datang berdua bersama Papa.Beliau menawarkan untuk menambah satu asisten lagi untuk menjaga bayiku, tapi aku tak setuju. Bagiku, anak ini tanggung jawabku, dan akan kubersamai tumbuh kembang Fajar dengan penuh cinta dan kasih sayang."Baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, jangan sungkan beritahu Mama, ya," jawab beliau menanggapi penolakanku. Aku mengangguk tanda setuju.Tak terasa tiga bulan berlalu. Aku sedang mengajak putraku bermain sambil menunggu kepulangan sang ayah sore itu. Lalu bergegas beranjak saat mendengar deru mesin mobil mema
Hari masih terang benderang, meski matahari telah bergeser ke arah barat.Terdengar deru mesin mobil memasuki halaman, lalu berhenti sempurna di garasi. Pintu depan dibuka, diikuti langkah tergesa memasuki rumah."Ayah pulang itu, Nak," ujarku. Dan benar saja, wajah lelah itu muncul kemudian."Apa kabar kesayangan Ayah?" sapanya, lalu mendaratkan kecupan di kening kami bergantian."Sehat, Yah. Ayah mandi dulu, ya," jawabku, mewakili bocah kecil yang berada dalam gendonganku.Kuambil tas laptop warna hitam yang ia jinjing, lalu meletakkannya di meja kamar.Ia sendiri bergegas mengambil handuk dan segera berlalu ke kamar mandi.Kini aku melakukan tugasku, menyiapkan pakaian untuk sang Ayah. Fajar kuletakkan di atas baby bouncer. Ia akan bermain di sana dengan sang ayah sebentar lagi."Mana anak ayah yang ganteng. Sini, main dulu ya?"Ia ciumi pipi sang anak dengan penuh sayang. Jiwa kebapakannya selalu t
Jarum jam menunjuk angka sebelas, saat terdengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah.Aku yang sedang menemani fajar bermain di teras rumah, sontak menoleh ke arah datangnya suara. Bibirku tersenyum melihat siapa yang datang. Mas Dika duduk manis di atas motornya, tapi ia tak sendiri. Ia datang dengan seorang wanita berkerudung warna salem, serta gamis warna senada.Ada tahi lalat kecil di ujung bibir sebelah kanan. Dua buah cekungan kecil di kedua pipinya saat ia tersenyum padaku, menambah kesan manis pada wajahnya. Jika tak salah ingat, rasanya aku pernah melihat wajah ini sebelumnya. Tapi, di mana?"Pakdhe datang, Sayang," ujarku, lantas kuambil ia ke dalam dekapanku."Hallo anak ganteng," sapanya, begitu turun dari atas motor. Wanita tersebut, menyusul di belakangnya.Fajar segera diambil alih oleh Mas Dika, seperti sebelumnya jika ia berkunjung ke sini. "Hallo Pakdhe. Masuk, yuk," ajakku.
"Sayang, siap-siap, ya. Sebentar lagi Mas jemput."Suara di seberang telepon, membuatku mengernyitkan kening. Masih jam dua siang. Ia akan menjemput untuk membawaku ke mana?"Mau ke- ."Sambungan telepon telah terputus. Aku tak bisa bertanya lagi sekarang. Baiklah, aku akan bersiap. Dia hanya ingin aku taat kan?Kuganti pakaian anakku dengan yang lebih baik. Kuperiksa juga tas yang selalu dibawa saat kami bepergian bertiga. Masih komplit, tinggal angkut.Anakku telah siap, tinggal aku yang belum. Cuaca panas hari ini membuat badanku terasa gerah. Kurasa aku harus mandi sekarang.Kupanggil Bu Siti untuk menemani Fajar sementara aku mandi dan berganti pakaian."Mbak, ada yang ngirim paket," ujar Bu Siti di depan pintu kamarku. Aku baru saja selesai mengenakan kerudungku."Paket apa, Bu? Dari siapa?" tanyaku bingung. Aku tak merasa memesan apa pun dalam waktu dekat ini."Saya kurang tau. Cuma kardusnya besar. Ayo Mbak, ditunggu Pak kurir di
"Ibu … ibu bicara apa?"Kususut dengan cepat air mata yang mengalir di pipi. "Tetap jadi satu keluarga sama Rahmi, Dirga, juga Wahyu anaknya ya, Nak. Wahyu, sudah jadi anakmu juga, kan?""Iya, Bu, saya sudah menganggap Wahyu sebagai anak saya. Semua penyakit ada obatnya. Saya do'akan semoga ibu lekas pulih. Yakinlah ibu akan sembuh," tambahku lagi. Kuelus lengannya yang menampilkan kerutan serta terlihat urat-uratnya. Beliau tak menjawab. Wajahnya terlihat mendung, meski ia tutupi dengan senyum."Mana cucu ibu, Fajar? Apa boleh ibu bertemu?" tanyanya dengan suara lemah."Baik Bu, tunggu sebentar, ya, Fajar ada di depan."Kuambil alih Fajar dari gendongan sang Ayah, setelah menjelaskan, lalu bergegas membawa kepada Bu Ndari."Salim dulu sama nenek, ya, Nak," ujarku. Dielusnya kening hingga pipi Fajar setelah dicium tangan beliau."Jadi anak sholeh ya, Nak," ujar beliau dengan mata berkaca-kaca. Aku mengaminkan ucapan beliau."Apa ibu mau